NovelToon NovelToon
Batas Yang Kita Sepakati

Batas Yang Kita Sepakati

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Princess Saraah

Apakah persahabatan antara laki-laki dan perempuan memang selalu berujung pada perasaan?

Celia Tisya Athara percaya bahwa jawabannya adalah tidak. Bagi Tisya, persahabatan sejati tak mengenal batasan gender. Tapi pendapatnya itu diuji ketika ia bertemu Maaz Azzam, seorang cowok skeptis yang percaya bahwa sahabat lawan jenis hanyalah mitos sebelum cinta datang merusak semuanya.

Azzam: "Nggak percaya. Semua cewek yang temenan sama gue pasti ujung-ujungnya suka."
Astagfirullah. Percaya diri banget nih orang.
Tisya: "Ya udah, ayo. Kita sahabatan. Biar lo lihat sendiri gue beda."

Ketika tawa mulai terasa hangat dan cemburu mulai muncul diam-diam,apakah mereka masih bisa memegang janji itu? Atau justru batas yang mereka buat akan menghancurkan hubungan yang telah susah payah mereka bangun?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princess Saraah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menjenguk

Aku berjalan cepat menuju kantin tempat Mira, Salsa, Erina, dan Yumna lagi makan siang bareng. Mereka duduk di bangku panjang.

Begitu melihat aku datang, Yumna langsung bertanya, "Gimana, Sya? Udah ketemu Yoga?"

"Udah," jawabku sambil duduk. Kutarik napas panjang dulu sebelum lanjut bicara.

"Apa katanya?" tanya Yumna lagi, penasaran.

"Ya benar Nizan sakit."

Reaksi mereka langsung beragam. Mira yang tadi lagi nyuap nasi, langsung berhenti. "Jadi lo mau jenguk, Sya?"

"Iya sih. Rencananya abis pulang sekolah. Kalian ada yang mau ikut?" tanyaku sambil menatap mereka satu persatu.

"Gue mau," jawab Mira cepat, matanya berbinar.

"Emang di mana, Sya?" Erina ikut nimbrung.

"Di rumah sakit," jawabku.

"Sakit apa Nizan sampai masuk RS?" Mira mencondongkan badan ke arahku, penasaran banget.

Aku diam. Bingung harus jawab apa. Mau jujur? Tapi bisa-bisa Nizan malu kalau mereka tahu dia masuk rumah sakit cuma gara-gara alergi air hujan. Alergi yang menurut sebagian orang sepele, tapi buat Nizan bisa bikin badannya bengkak kayak disuntik lebah.

Akhirnya aku cuma jawab seadanya dengan senyum tipis, "Yang jelas bukan penyakit menular kok."

"Jadi mau pada ikut nggak nih?" tanyaku mengalihkan topik.

"Gue tanya Raka dulu deh," kata Yumna sambil ngeluarin ponsel dari saku rok.

"Iya, gue juga mau tanya Khalif," timpal Salsa.

"Gue bareng lo ya, Mir," ucap Erina sambil menepuk bahu Mira.

Mira melirikku. "Hmm, terus Tisya sama siapa?"

Aku nyengir kecil, lalu menjawab santai, "Gue mah gampang. Tinggal keluarin pintu Doraemon."

Sontak mereka tertawa. Salsa sampai nutup mulutnya sambil bilang, "Gila lo Sya. Kalau punya pintu Doraemon mah langsung ke Jepang kali, ngapain ke RS doang."

"Kalau gue sih langsung ke Korea," celetuk Erina.

Tawa kami pun meledak di meja itu.

Bel pulang berbunyi, menandakan waktu pulang yang selalu kutunggu-tunggu di jam 4 sore. Kelas langsung ramai. Suara kursi diseret, tas digendong, anak-anak ribut soal piket kelas atau janjian bersama pacar di depan kelas masing-masing.

Aku keluar kelas bersama Mira dan Erina. Kami berjalan santai, ngobrolin buah tangan apa yang akan kami bawa untuk menjenguk Nizan.

Tapi langkahku terhenti saat melihat Azzam berdiri di depan kelasku, bersandar di dinding dengan tangan menyilang di dada. Ekspresinya datar seperti biasa.

Aku meliriknya sekilas, lalu cuek sambil berjalan melewatinya.

"Sya!"

Tiba-tiba dia menarik lenganku. Aku tersentak.

"Eh? Ngapa, Zam?" tanyaku kaget.

Azzam mendengus kesal.

Aku langsung berbalik dan menyuruh Mira dan Erina untuk pergi lebih dulu. Erina langsung menarik Mira sambil berbisik cepat, "Okey Sya, kami tunggu di parkiran ya!"

Mira sempat menoleh ke arah kami sebelum akhirnya mengikuti Erina. Tatapannya nggak bisa bohong, ada rasa penasaran, atau mungkin sedikit cemburu?

"Lo lupa?" Azzam menatapku tajam.

"Hah? Lupa apaan?"

"Kan hari ini lo janji mau temenin gue edit film," katanya datar, tapi sorot matanya seperti menuntut jawaban serius.

Aku memutar otak cepat. "Eh iya? Lupa gue, Zam. Gimana kalau nanti malem aja?"

"Ngga bisa. Nanti malam gue futsal."

Aku menggigit bibir. " Yah gimana dong. Sekarang gue mau jenguk Nizan."

"Besok aja," potongnya.

"Besok Nisannya udah pulang lah," jawabku cepat.

"Kalau besok udah pulang, ya ketemunya besok aja. Ngapain repot-repot dijenguk," Azzam kelihatan makin kesal.

"Ya udah gini aja. Lo temenin gue jenguk Nizan dulu, baru abis itu gue temenin lo edit film."

Azzam mengerutkan alis. "Ogah."

Tanpa basa basi, aku langsung menarik lengannya. "Udah ayuk, nanti kesorean."

Meskipun baru tiga bulan bersahabat dengan Azzam, namun aku mulai memahaminya. Dia selalu saja ngedumel jika aku minta tolong, tapi ga pernah benar-benar nolak jika sudah kupaksa.

Sampai di parkiran, kami bertemu Mira dan Erina yang sedang asik bermain ponsel.

"Eh, lo sama Azzam Sya?" tanya Mira dengan alis terangkat.

"Iya," jawabku cepat, berusaha santai. "Kami mau edit film, jadi sekalian aja."

Mira mengangguk, tapi tatapannya sempat berhenti agak lama ke arah Azzam. Baru setelah itu dia tersenyum tipis.

"Mana yang lain?" tanyaku.

"Salsa masih di kelasnya. Lo duluan aja, nanti kami nyusul," jawab Erina.

"Oh, okey kalau gitu." Aku mengangguk, lalu berjalan bersama Azzam meninggalkan mereka.

...****************...

Sampai di rumah sakit, aku langsung bergegas menuju kamar yang tadi disebutkan Yoga, Ruangan Melati kamar nomor 3.

Di depan pintu, Azzam menghentikan langkah. "Gue tunggu di sini aja."

Aku menoleh. "Lo nggak mau masuk?"

"Ngga," katanya datar. "Gue kan bukan temennya."

Aku mengangguk pelan. "Ya udah. Tapi jangan kabur ya Zam. Ntar gue malah pulang jalan kaki."

Dia tidak menjawab, hanya mengangguk kecil dan menyandarkan punggungnya ke dinding koridor, tangan disilangkan di dada, tatapan lurus ke lantai rumah sakit yang dingin.

Aku mengetuk pintu pelan.

Tok Tok

Dari dalam terdengar suara TV menyala dan gumaman pelan. Pintu kubuka perlahan dan pandanganku langsung bertemu dengan mata Nizan.

"Eh?" gumamnya terkejut.

Dia sedang duduk bersandar di ranjang rumah sakit, menonton TV sambil makan potongan buah dari wadah plastik. Wajahnya sudah jauh lebih baik, bengkak-bengkak kemarin sepertinya sudah menghilang. Ia bahkan terlihat sehat. Tapi juga terkejut melihatku.

"Kamu sama siapa?" tanyanya seraya meletakkan garpu plastiknya.

Aku tidak langsung menjawab. Hanya berjalan masuk dan duduk di kursi samping ranjangnya. Diam. Menatapnya. Tak satu pun kata keluar dari mulutku.

Hening.

Sampai akhirnya, Nizan berbicara, suaranya pelan.

"Maaf ya bawel, aku nggak ngabarin kamu. HP aku berenang waktu kita hujan-hujanan itu." Dia tertawa kecil, kikuk. "Saking senangnya aku lupa kalau HP aku masih di saku celana. Jadinya basah kuyup juga dia. Mati total deh. Jadi aku nggak bisa hubungin kamu."

Ia menatapku, mendekat sedikit, wajahnya nyaris sejajar denganku. Tatapan matanya jujur, namun sedikit takut.

"Aku sempat mau pinjam HPnya Jevan. Tapi aku takut kamu makin khawatir. Maaf ya. Jangan marah, oke?"

Dan aku tidak bisa menahannya lagi.

Mataku berkaca-kaca. Air mata menetes begitu saja. Aku menutup wajah dengan kedua tanganku, tak sanggup menahan isak yang menyayat tapi pelan. Rasanya seperti semua rasa khawatir yang tertahan tumpah sekaligus.

"Eh Sya," Nizan panik, suaranya gelisah. "Kok malah nangis sih? Kamu kesel ya? Mau marah? Marah aja. Nih, aku udah sembuh. Aku nggak papa. Jangan nangis dong."

Aku mengusap air mataku, masih tersedu. "Abisnya kamu sih. Sakit kok nggak bilang aku. Kalau tahu, aku nggak akan mau diajak main hujan sama kamu."

Nizan menggeleng. "Bukan salah kamu. Aku yang maksa. Aku cuma pengen jadi cowok yang bisa bikin kamu senang. Jadi cowok impian kamu, biar kamu mau nerima aku."

Lalu, dia tersenyum kecil, canggung. "Gimana? Aku udah idaman belum buat kamu terima?"

"Ngga," jawabku cepat.

Tapi wajahku memerah, sangat tidak sejalan dengan kata-kataku. Dan tentu saja, Nizan langsung menertawakan reaksiku.

"Hahaha, yaelah, jawabnya ngga tapi mukanya kaya udang rebus."

Aku mendengus sambil menyembunyikan senyum.

"Kamu kapan pulang?" tanyaku menenangkan diri.

"Nunggu dokter. Paling nanti malam. Tapi aku udah minta Yoga cariin HP baru buat aku. Nanti kalau udah ada HP baru, aku langsung kabarin kamu ya."

"Oke. Kalau gitu, aku pulang dulu ya. Nanti yang lain juga mau jenguk," kataku sambil berdiri.

"Kok cepet banget?" protesnya. "Aku masih kangen nih sama kamu."

Aku hanya tersenyum simpul. "Aku mau edit film."

"Sama Azzam?"

"Iya."

"Kamu ke sini sama dia?"

"Iya." Jawabku jujur, meskipun bisa kulihat wajah Nizan langsung berubah. Hanya sebentar, tapi cukup terlihat. Ia berusaha menutupinya, tapi gagal. Sorot cemburu itu tidak bisa dibohongi.

"Kalau gitu, besok sekolah sama aku ya?"

Lagi? Dalam hati aku menghela napas. Mampus. Dia pasti mulai kepancing lagi.

"Iya, tapi kalau kamu masih sakit, nggak usah maksa ya. Kan ada Mami yang bisa antar aku."

"Udah sembuh lah aku. Udah dijenguk sama obatnya kok."

Aku memutar bola mata. "Dih, lama-lama bisa diabetes aku."

Aku pun pamit keluar dari kamar, menghampiri Azzam yang berdiri di ujung lorong, bersandar seperti sebelumnya. Tatapannya padaku sedikit berubah. Masih tenang, tapi ada sesuatu yang lain. Mirip tatapan Mira.

Nggak mungkin kan dia cemburu juga?

"Yuk, Zam," ajakku.

Azzam hanya mengangguk dan mulai melangkah bersamaku. Masih tanpa suara, tapi kini langkahnya sedikit lebih berat dari sebelumnya.

1
Asseret Miralrio
Aku setia menunggu, please jangan membuatku menunggu terlalu lama.
Daina :)
Author, kita fans thor loh, jangan bikin kita kecewa, update sekarang 😤
Saraah: Terimakasih dukungannya Daina/Heart/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!