Viora Zealodie Walker, seorang gadis cantik yang memiliki kehidupan nyaris sempurna tanpa celah, namun seseorang berhasil menghancurkan segalanya dan membuat dirinya trauma hingga dia bertekad untuk mengubur sikap lemah, lugu, dan polosnya yang dulu menjadi sosok kuat, mandiri dan sifat dingin yang mendominasi.
Bahkan dia pindah sekolah ke tempat di mana ia mulai bangkit dari semua keterpurukan nya dan bertemu dengan seseorang yang diam-diam akan mencoba merobohkan tembok pertahanan nya yang beku.
Sosok dari masa lalu yang dia sendiri tidak pernah menyadari, sosok yang diam-diam memperhatikan dan peduli pada setiap gerak dan tindakan yang di ambilnya.
Agler Emilio Kendrick ketua geng motor besar yang ada di jakarta selatan sana... Black venom.
Dia adalah bad boy, yang memiliki sikap arogan.
Dan dia adalah sosok itu...
Akankah Agler berhasil mencairkan hati beku Viora dan merobohkan dinding pertahanan nya, atau cintanya tak kunjung mendapat balasan dan bertepuk sebelah tangan??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARQ ween004, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kantin starlight
Kantin Starlight School siang itu penuh riuh. Suara obrolan bercampur aroma mie, roti, dan kopi yang menguar lembut. Meja-meja panjang diisi kelompok-kelompok kecil, dan di pojok paling mencolok — meja besar dekat dinding kaca — duduk empat sosok yang membuat sebagian besar siswa menahan napas.
The Untouchables.
Valesya dengan ekspresi datarnya yang khas, Arcelyn si queen bee dengan tawa renyah dan gerak tubuh percaya diri, serta Claudy yang paling ekspresif di antara mereka, memancarkan pesona alami.
Dan hari ini, di antara mereka, duduk satu sosok baru — Zealodie.
Gadis yang belum genap sehari di Starlight itu kini menjadi pusat perhatian seluruh kantin.
“Tumben banget nih, bad girl sekolah kita masih bertahan sampai jam istirahat tiba. Biasanya juga setelah jam pertama langsung ngibrit pergi entah ke mana,” komentar Arcelyn sambil menatap Valesya yang sedang mengisap rokok elektriknya dengan gaya santai.
“Kebetulan aja hari ini gue punya alasan buat nggak buru-buru,” jawab Valesya datar.
Claudy mencondongkan badan ke arah Zea.
“Dan alasannya… lo?”
“Mungkin,” sahut Valesya santai. “Anggap aja ini bentuk penyambutan buat anggota baru kita.”
Zea mengangkat alis samar, lalu kembali menyesap jus alpukat di depannya.
“Wow, keren juga. Jadi The Untouchables nambah personil nih ceritanya?” timpal Arcelyn.
“Ya. Berhubung Zea udah gabung di sekolah ini, sekalian aja dia masuk ke circle kita,” jawab Valesya.
“Yes! Welcome di lingkungan dan circle baru lo, Zee.” Claudy mengangkat gelasnya tinggi, seolah mengajak bersulang.
Mereka serempak mengangkat gelas.
“Thanks, karena kalian nerima gue dengan baik di circle ini,” ujar Zea dengan nada tenang.
Tawa ringan terdengar. Suasana di meja itu cair — tidak kaku, dan lebih memikat.
Semua yang melihat dari jauh, hanya bisa menatap penuh tanda tanya, dan rasa iri yang tak bisa di sembunyikan.
"Sejak kapan the Untouchables membuka ruang buat orang baru?"
“Dan siapa tuh anak baru yang bisa bikin mereka serame itu?”
“Cocok sih. Circle mereka jadi makin lengkap — Valesya si bad girl, Arcelyn si queen bee, Claudy yang cerah dan ceria kayak mentari, dan sekarang Zealodie, ice princess-nya. Lengkap banget.”
“Setuju. Gila, ini pemandangan langka!”
Tapi sebelum suasana benar-benar tenang, suara langkah berat terdengar dari arah pintu kantin. Obrolan yang tadinya ramai perlahan mereda, berubah jadi bisik-bisik kecil.
Tiga sosok memasuki ruangan dengan aura yang kontras dari semua orang di sana.
Black Venom.
Ketiganya dikenal sebagai inti geng motor besar di Jakarta Selatan. Tapi di Starlight, nama mereka terkenal karena karisma dan reputasi masing-masing.
Langkah mereka santai tapi penuh wibawa, seolah udara ikut menyingkir memberi jalan.
Arcelyn yang pertama kali menyadari kehadiran mereka langsung bersiul pelan.
“Well, well… lihat siapa yang datang.”
Claudy menoleh cepat.
“Gila akhirnya, tiga pilar sekolah ini datang juga.”
"Zee... Lo harus tau siapa mereka." Arcelyn merapat sebelum mulai menunjuk satu per satu dari ketiga cowo di sana.
“Liat itu... cowo yang berjalan paling depan, dia Elvatir Vincenio Walker — ketua OSIS, kapten basket, panutan sejuta siswi."
“Yang di sebelahnya, si rambut sedikit acak itu, Arvin Armada Virendra. Jenius olimpiade — menang nasional, internasional, pokoknya semua ajang dia libas.”
“Dan terakhir, yang paling kanan…” Arcelyn menurunkan suaranya sedikit.
“Agler Emilio Kendrick. Ketua Black Venom. Orang yang bisa bikin semua orang bergetar cuma lewat tatapannya. Dia adalah cowo yang paling misterius di sekolah ini. Jadi jangan pernah lo coba-coba buat berurusan sama dia."
Claudy meneguk mengangguk setuju.
Zea memperhatikan mereka dengan tatapan tenang, keningnya sedikit berkerut. Wajah-wajah itu bukan wajah asing baginya.
Elvatir — jelas, kakaknya sendiri.
Arvin — partner-nya saat olimpiade fisika di Jepang beberapa bulan lalu.
Dan Agler… ya, ia juga pernah melihatnya di sana bersama Arvin.
Kesan pertamanya pada cowok itu persis seperti yang dikatakan Arcelyn barusan — misterius.
Nama Black Venom pun tak asing di telinganya; ia pernah melihat logo itu di jaket milik
Elvatir.
“Ya Tuhan, aura mereka tebel banget. Gue sampe ngerasa suhu di ruangan ini turun.” Gumam Claudy.
Zea, yang sejak tadi diam memperhatikan, hanya menatap ketiganya dari balik gelas jusnya. Pandangan matanya berhenti sejenak pada sosok terakhir — Agler.
Dan saat itu juga, dunia di sekitarnya terasa melambat.
Tatapan mereka bertemu.
Tajam. Hening. Penuh makna yang tak terucap.
Satu detik… dua detik… lalu... tiga detik.
Zea tidak menunduk. Ia membalas pandangan itu tanpa gentar, seolah berkata lewat pandangan matanya. Who are you? Kenapa lo menatap gue kayak, gitu?"
Agler tidak segera mengalihkan pandangan. Namun ada sesuatu di sorot matanya — sesuatu yang tidak bisa ditutupi.
Mungkin pengakuan.
Mungkin rasa lega.
Atau... Mungkin luka lama yang belum selesai.
Dan saat Arcelyn menyenggol lengannya, Zea hanya berdeham kecil, kembali menatap mangkuknya.
“Eh,” suara Arvin terdengar, melambaikan tangan. “Vio?”
Zea menoleh pelan.
“Ka Arvin?”
“Astaga, gue nggak salah lihat! Lo beneran Vio? Dari tim olimpiade Jepang beberapa bulan lalu?!” serunya senang bukan main.
Claudy dan Arcelyn langsung menatap Zea dengan ekspresi kaget bercampur tidak percaya.
“Tunggu… kalian kenal?” tanya Arcelyn.
“Kita dulu satu tim,” jelas Arvin, matanya berbinar. “Gue nggak nyangka bakal ketemu lo di sini!”
“Udah lama nggak ketemu,” sahut Zea tenang. “Tapi tolong panggil gue Zea.”
“Oh… oke.” Arvin tampak sedikit terkejut dengan perubahan sikap gadis itu — terasa lebih dingin dibanding beberapa bulan yang lalu. “Senang bisa ketemu lo lagi.”
Zea mengangguk, tersenyum tipis.
"Boleh kita gabung di sini?" Lanjut Arvin bertanya.
Zea menoleh ke Valesya dan dua temannya, seolah meminta persetujuan.
Valesya mengangguk singkat.
“Silakan,” ujar Zea akhirnya.
“Thanks.” Arvin menarik kursi kosong dan duduk di samping Zea, yang sedikit menggeser posisinya.
Elvatir mengambil tempat di pojok berhadapan dengan Valesya, disusul Agler yang duduk tepat di hadapan Zea — yang tampak santai menikmati bakso di depannya.
"Omg, ini gila! The Untouchables satu meja bareng tiga pilar sekolah ini! Gue harus foto ini buat kenang-kenangan!”
“Berani coba, dan HP lo bakal disita,” sela Arcelyn dengan nada setengah bercanda, setengah serius.
Namun tak bisa dipungkiri — seluruh kantin memperhatikan mereka. Tatapan iri, kagum, bahkan takut bercampur jadi satu.
Bagaimana tidak, pemandangan langka tepat ada di hadapan mereka. Dua kubu paling terkenal di Starlight duduk dalam satu meja, berbagi makanan, dan di tengah semua itu — gadis baru bernama Zealodie adalah gravitasi utamanya.
Arcelyn mencondongkan tubuhnya, berbisik di dekat telinga Zea.
“Gokil, pengaruh lo bener-bener kuat di sini.”
Zea tak menanggapi. Hanya mengangguk kecil, meniup kuah baksonya pelan.
Namun di sebrangnya, Agler masih mempertahtikan nya diam-diam. Tatapannya tetap tajam — bukan sekadar mengamati, tapi seolah mencoba mencari sesuatu dalam ketenangan gadis itu.
Dan untuk sesaat, Zea bisa merasakan aura yang sama seperti beberapa bulan yang lalu.
Tatapan yang pernah menembus dirinya di balik dinginnya salju Jepang — saat semua rahasia belum terbuka.
Namun kali ini, perannya terbalik.
Dialah yang tetap tenang, sementara Agler-lah yang lebih dulu mengalihkan pandangan. Senyap, tapi sarat makna. Seolah masa lalu yang mereka tinggalkan di negeri seberang baru saja mengetuk pintu masa yang akan datang.
****
yg menatap nya secara dlm...
lanjut thor ceritanya
sosok misterius itu???
lanjut thor
love u sekebon buat para readers ku🫶🫶