NovelToon NovelToon
Darah Di Tanah Hujan

Darah Di Tanah Hujan

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Roh Supernatural
Popularitas:359
Nilai: 5
Nama Author: Siti Nuraida

Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.

Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.

Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.

Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:

“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”

Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.

Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 32 — Nyai Melati Terakhir

Rendra, yang kini dijuluki "Pembawa Tenang" oleh penduduk Waringin, semakin tenggelam dalam peran barunya. Setiap kali warga berlutut di tepi Sumur Tua, setiap kali mereka meninggalkan persembahan, ia merasakan lonjakan energi dingin yang merasukinya. Ia telah menjadi perwujudan damai dari Yang Basah, sebuah entitas yang disembah, bukan ditakuti.

Nyai Melati, yang tubuhnya disemayamkan dengan upacara sederhana di tepi hutan, adalah satu-satunya yang tahu bahaya yang mengintai di balik kedamaian baru ini. Jiwanya, yang kini berada di alam batas, mencoba berkomunikasi dengan Rendra.

Rendra menghabiskan sebagian besar waktunya di Balai Desa, yang kini berfungsi sebagai tempat peribadatan informal. Warga datang, memohon berkah agar panen mereka melimpah dan agar air tetap murni.

Suatu pagi, Rendra duduk di mimbar kayu yang sudah kering, matanya yang hitam menatap keluar jendela. Hujan murni turun dengan lembut, membasuh desa.

Ia mendengar suara. Bukan bisikan Laras, tetapi suara yang dikenalnya, suara yang lembut dan penuh peringatan.

“Pergilah, Nak Rendra. Sebelum kau tidak bisa kembali.”

Rendra berbalik. Ia melihat sesosok bayangan transparan, melayang di sudut ruangan. Itu adalah Nyai Melati.

Bukan Nyai Melati yang marah, tetapi arwahnya, yang tampak lemah dan bercahaya tipis.

“Nyai,” kata Rendra, suaranya mengandung gema air yang dalam. “Aku tidak bisa pergi. Aku adalah penebus mereka. Aku adalah penjaga air.”

Arwah Nyai Melati bergerak perlahan, mendekati Rendra.

“Kau bukan penebus, Nak. Kau pintu. Kau telah membuka pintu air yang baru. Laras telah beristirahat, tetapi kekosongan dendamnya harus diisi. Dan kau, dengan darah keturunan saksi, adalah wadah yang sempurna.”

Nyai Melati menunjuk ke luar jendela, di mana warga berlutut di lumpur, menyambut hujan.

“Mereka tidak lagi takut. Mereka menyembahmu. Setiap kali mereka menyentuh air, setiap kali mereka memohon, mereka memanggil namamu. Nama Rendra kini memiliki kuasa, Nak. Kuasa untuk menarik arwah lain yang haus.”

“Arwah yang haus?”

“Semua arwah yang terperangkap di Kuburan Air, arwah korban yang disembunyikan. Laras menenangkan mereka dengan dendamnya. Tapi sekarang dendamnya hilang. Mereka haus akan pengakuan dan pembalasan. Dan mereka menggunakanmu sebagai pintu, karena kau adalah penjaga air.”

Rendra merasakan kebenaran dalam kata-kata Nyai Melati. Ia memang merasakan lonjakan energi, tetapi ia juga merasakan ratusan suara lain yang kini mengalir melalui dirinya, suara-suara yang haus.

Nyai Melati memohon, arwahnya bergetar hebat.

“Pergilah dari desa ini. Pergi dan keringkan dirimu. Jika kau tetap di sini, kau akan menjadi dewa yang mereka sembah, dan penyembahan itu akan menuntut pengorbanan yang tidak bisa kau hentikan.”

Rendra mencoba meraih arwah Nyai Melati, tetapi tangannya menembusnya.

“Aku tidak bisa, Nyai. Aku berjanji pada Rani dan Dimas. Aku berjanji untuk menjaga desa ini.”

Nyai Melati tersenyum pahit. “Kau bukan manusia lagi, Nak. Kau pintu bagi arwah yang haus. Kau adalah kutukan baru yang mereka ciptakan karena kepengecutan mereka.”

Tiba-tiba, arwah Nyai Melati bergejolak. Ia menatap ke sudut Balai Desa, di mana ada baskom air yang digunakan warga untuk mencuci tangan sebelum beribadah.

“Mereka sudah tahu,” bisik Nyai Melati, matanya yang transparan menunjukkan kengerian. “Mereka tahu kau adalah pintu.”

Arwah Nyai Melati menghilang, tertarik ke arah baskom air itu.

Rendra berlari ke baskom itu. Ia menatap ke air yang jernih.

Di permukaan air, ia melihat pantulan wajahnya sendiri, tetapi pantulan itu beriak, dan di belakangnya, ia melihat wajah-wajah samar yang tak terhitung jumlahnya. Arwah-arwah yang haus itu kini menggunakan air sebagai cermin untuk mengawasinya.

Rendra memukul baskom itu, airnya tumpah.

Ia merasakan amarah yang dingin mengalirinya, bukan amarahnya sendiri, tetapi amarah dari ratusan arwah yang kini ia tampung.

Malam itu, Rendra tidak bisa berdiam diri. Peringatan Nyai Melati menghantuinya.

Ia berjalan ke gubuk kecil di tepi hutan, tempat Nyai Melati dimakamkan.

Namun, di sana, ia tidak menemukan makam. Ia menemukan gubuk yang ditinggalkan.

Di dalam gubuk itu, di lantai kayu, ia melihat baskom air yang ia tumpahkan di Balai Desa. Baskom itu kini berada di sini, dan airnya penuh.

Dan di dalam baskom itu, yang hanya sedalam dua jari, terendamlah kepala Nyai Melati.

Tubuh Nyai Melati terbaring di samping baskom, pakaiannya kering. Hanya kepalanya yang tenggelam sempurna di dalam air murni itu.

Rendra merasakan dingin yang menusuk. Nyai Melati tidak mati tenggelam karena airnya banyak, tetapi karena ia dipaksa tenggelam oleh air itu sendiri. Arwah yang haus itu, yang dimarahi Rendra di Balai Desa, telah menggunakan sedikit air itu untuk menyeret arwah Nyai Melati dan memaksanya menjadi bagian dari Kuburan Air, sebagai hukuman karena mencoba memperingatkan Pembawa Tenang.

Rendra berlutut, menatap wajah Nyai Melati yang damai. Matanya terpejam.

Ia merasakan arwah Laras tersenyum tipis di dalam dirinya.

“Satu lagi yang mencoba melawan Air. Tidak ada yang bisa menentang kesepakatan baru ini, Pembawaku. Bahkan dia.”

Rendra tidak bisa menahan kesedihan dan kengeriannya. Ia menyadari, setiap tindakannya, bahkan tindakan penebusannya, kini hanya memperkuat rantai kekuasaan spiritual yang baru.

Ia adalah dewa yang baru, dan para dewa menuntut pengorbanan.

Dan korban pertamanya adalah Nyai Melati, orang yang paling berjasa membebaskannya.

Rendra memeluk tubuh dingin Nyai Melati. Ia tahu, ia harus pergi. Tetapi ke mana ia bisa pergi, jika ia kini adalah manifestasi air itu sendiri?

Ia merasakan kehausan yang membakar jiwanya. Kehausan untuk darah. Kehausan untuk pembalasan.

Ia bukan lagi Rendra. Ia adalah Pembawa Tenang. Dan Pembawa Tenang harus mengendalikan arwah-arwah yang haus itu, atau mereka akan merobek desa ini berkeping-keping.

Rendra berdiri. Matanya yang hitam menatap ke langit.

Ia tahu, satu-satunya cara untuk mengendalikan arwah yang haus adalah dengan memberi mereka apa yang mereka inginkan. Tetapi bukan darah manusia.

Ia harus mengendalikan air.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!