Enam mahasiswa—Raka, Nando, Dimas, Citra, Lala, dan Novi—memutuskan untuk menghabiskan libur semester dengan mendaki sebuah bukit yang jarang dikunjungi di pinggiran kota kecil. Mereka mencari petualangan, udara segar, dan momen kebersamaan sebelum kembali ke rutinitas kampus. Namun, yang mereka temukan bukanlah keindahan alam, melainkan kengerian yang tak terbayangkan.
Bukit itu ternyata menyimpan rahasia kelam. Menurut penduduk setempat, kawasan itu dijaga oleh makhluk halus yang disebut “penunggu hutan”, sosok jin yang berwujud manusia tampan dan wanita cantik, yang gemar memperdaya manusia muda untuk dijadikan teman di alam mereka. Awalnya, keenamnya menertawakan cerita itu—hingga malam pertama di hutan tiba.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juan Darmawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akibat Melanggar Peraturan
Belum sempat Lala melangkah lagi, tiba-tiba kakinya tersangkut akar besar yang menjalar di antara semak.
“Aduh!” seru Lala pelan, tubuhnya oleng ke depan.
Refleks, Nando langsung meraih bahunya, dan dalam sekejap tubuh Lala jatuh tepat ke dalam pelukan Nando.
Beberapa helai rambut Lala menyentuh wajah Nando, dan jarak mereka begitu dekat hingga Nando bisa mendengar detak jantungnya sendiri berpacu cepat. Udara hutan yang dingin terasa mendadak hangat di antara keduanya.
“La… lu gak apa-apa?” tanya Nando dengan suara agak bergetar.
Lala menatap wajah Nando dari jarak yang nyaris hanya beberapa sentimeter. Pipinya memerah, mungkin karena malu, mungkin juga karena kaget.
“Aku—aku gak apa-apa, Ndo…”
Lala menatap Nando, pipinya memerah. Detik-detik itu terasa begitu lama, heningnya hutan seperti menahan napas bersama mereka. Nando juga menunduk, ragu tapi ingin tetap dekat.
Di tengah kabut dan suara angin yang berdesir, adegan itu terjadi tapi Mimin sensor di sini
Begitu mereka sadar, mereka saling mundur sedikit, nafas berat tapi ada senyum tipis di wajah masing-masing.
“Uh… maaf, La… gak sengaja,” kata Nando sambil menggaruk kepala.
“Iya… gak papa,” jawab Lala pelan, mencoba menenangkan diri.
Mereka saling menatap sebentar lagi, tapi dari arah hutan terdengar suara ranting patah, lebih dekat dan jelas. Kabut mulai turun udara dingin mulai terasa, langit tampak mendung.
“Ndo… kita harus cepat balik ke pos, aku gak suka ini,” gumam Lala.
Nando mengangguk, menepuk bahu Lala.
“Iya, ayo. Kita balik sekarang.”
Dari kejauhan, Raka menatap ke arah jalur setapak yang mulai dilalui Nando dan Lala sambil membawa potongan kayu bakar.
“Nah, itu mereka balik juga,” gumam Raka sambil tersenyum tipis.
Leo menepuk bahu Raka.
“Akhirnya… gue pikir mereka bakal nyasar di hutan itu.
Mereka segera berjalan pelan sambil membawa beberapa potong kayu.
Raka langsung melangkah maju untuk membantu membawa kayu yang dibawa Nando dan Lala.
“Biar cepet beres, kita masukin semua kayu ke tempat api unggun. Abis itu kita bisa istirahat beneran.”
Novi menatap Lala dengan mata khawatir, sambil menunjuk bagian baju yang kusut dan sedikit kotor.
“La… baju lu kenapa berantakan gitu? Tadi perasaan nggak kayak gini,” tanyanya pelan.
Lala menoleh sebentar, menatap bajunya sendiri, lalu tersenyum canggung.
“Ah… ini… ya… tadi gue tersangkut akar pas jalan pulang, jadi agak robek dikit. Gak apa-apa kok, cuma ngerusak penampilan aja,” jawab Lala sambil tertawa tipis, mencoba menutupi apa yang ia dan Nando lakukan tadi.
Nando yang berdiri di sampingnya langsung menatap Lala, sedikit gelagapan.
“Iya… tapi untung gue bisa nangkep lu, La… gak jadi jatuh ke tanah,” gumamnya sambil tersenyum malu-malu.
Novi mengerutkan dahi, masih khawatir.
“Tapi hati-hati ya… jalur di sini banyak akar dan batu. Nanti ntar malah ada yang cedera lagi.”
Lala mengangguk, menepuk bahu Novi.
“Santai, Nov. Gue udah lebih hati-hati sekarang.”
Tiba-tiba angin bertiup kencang dari arah hutan, membawa aroma tanah basah yang semakin tajam. Daun-daun bergesekan dengan suara gaduh, ranting patah beterbangan. Dari arah barat, suara guntur bergemuruh, disusul kilatan cahaya yang menyambar langit meski waktu baru sekitar jam lima sore.
“Eh… kok gelap banget sih padahal masih sore?” gumam Leo sambil menatap langit yang berubah kelam.
Hujan mulai turun deras, tetesan air menghantam tenda dan tanah dengan keras. Kayu bakar yang baru saja mereka kumpulkan basah seketika, membuat rencana menyalakan api unggun mendadak tertunda.
Raka dan Dimas segera berlari menutup sebagian tenda dan menutupi kayu bakar yang tersisa dengan kain terpal. Angin semakin kencang, meniup kabut hingga terlihat menebal dan bergerak seperti bayangan yang hidup.
Di luar, suara hujan, guntur, dan angin membuat suasana semakin mencekam. Dari balik pepohonan, terdengar suara ranting patah lagi, lebih dekat, seolah ada sesuatu yang bergerak mengikuti mereka dari hutan.
“Siapa di luar sana?!” gumam Dimas setengah panik, tapi tidak ada satupun yang mengetahuinya