“Anak? Aku tak pernah berharap memiliki seorang anak denganmu!”
Dunia seolah berhenti kala kalimat tajam itu keluar dari mulut suaminya.
.
.
Demi melunasi hutang ayahnya, Kayuna terpaksa menikah dengan Niko — CEO kejam nan tempramental. Ia kerap menerima hinaan dan siksaan fisik dari suaminya.
Setelah kehilangan bayinya dan mengetahui Niko bermain belakang dengan wanita lain. Tak hanya depresi, hidup Kayuna pun hancur sepenuhnya.
Namun, di titik terendahnya, muncul Shadow Cure — geng misterius yang membantunya bangkit. Dari gadis lemah, Kayuna berubah menjadi sosok yang siap membalas dendam terhadap orang-orang yang menghancurkannya.
Akankah Kayuna mampu menuntaskan dendamnya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SooYuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11
Hari-hari berikutnya teramat menyiksa bagi Kayuna. Ia melewati masa berkabung dengan perasaan bersalah yang teramat — merasa gagal melindungi anaknya.
Seminggu berlalu, tapi luka itu masih menganga lebar di dadanya.
“Nak, ayo bangun, makan dulu.” Ibu Harni dengan raut sendu terus merayu putrinya agar beranjak dari kasurnya.
Di meja sebelah ranjang sudah tersedia nampan berisi bubur dan susu hangat, yang sengaja Bu Harni siapkan dengan penuh kasih sayang untuk Kayuna.
Wanita muda itu tak menjawab. Ia hanya berbaring dengan tatapan kosong ke arah tembok berwarna pucat — seolah mencerminkan kondisinya saat ini.
“Aku nggak lapar, Bu.” Akhirnya ia menjawab dengan lirih.
“Sudah dua hari kamu nggak makan, nanti bisa sakit.” Wanita paruh baya itu terus memohon agar si bungsu mau makan walau hanya sesuap.
“Tinggalkan saja, Bu!” Suara berat Niko terdengar dari luar kamar. “Nggak mau makan ya sudah, biarkan saja.”
“Tapi, Nak Niko —”
Niko berjalan masuk dengan langkah malas. “Ibu boleh keluar,” perintahnya pada mertuanya.
Kayuna menghela napas. “Keluarlah, jangan ganggu aku,” ujarnya pelan tapi menusuk, ia kembali merapatkan selimutnya.
“Makanlah, jangan merepotkan banyak orang. Apa kau sesedih itu, kehilangan bayi yang bahkan belum nampak wujudnya?” Niko terus berkata seenak jidatnya.
Kayuna menoleh pelan, sorot matanya dingin tanpa emosi. “Jaga bicaramu, enyahlah.”
“Kau semakin berani, rasanya baru kemarin kau bahkan tak sanggup menatap mataku.” Niko bergumam seorang diri, karena Kayuna pun jelas tak sudi mendengarkan. “Terserahlah, aku malas mengurusmu.”
“Niko.” Suara tajam Bu Harni menyela.
Pria bermata bengis itu menoleh, menyorot — menantang. Alisnya terangkat satu, sikap tanya arogan.
“Kayuna sedang berduka, sungguh tak pantas ucapanmu barusan. Apa kau sama sekali tak merasa kehilangan?” Bu Harni berkaca-kaca. Memberanikan diri di hadapan menantu kejamnya.
Niko memutar bola matanya malas. “Kalian … berlebihan sekali. Bayi belum jelas kelaminnya, ditangisi berhari-hari.”
Tring! Ponsel Niko berdering.
‘Airin?’ Mata beringas pria itu langsung berbinar kala nama Airin muncul di layar ponselnya. Tanpa kata ia langsung beralih pergi meninggalkan istri dan ibu mertuanya yang masih berkalut duka.
Kayuna bergeming. Sudah berhari-hari ia menghabiskan waktu mengurung diri di kamarnya, seakan seluruh gairah hidupnya terkuras habis. Kini, hidup baginya tak lebih sekadar bernapas tanpa tujuan.
Sepulang dari rumah sakit. Bu Harni menemani Kayuna di rumah besar Niko.
“Astaghfirullahaladzim ….” Bu Harni hanya bisa mengelus dada.
Sambil tertidur miring, bibir Kayuna mengatup rapat. Air mata pilu mengalir membasahi bantal.
“Bu … Yuna ingin bercerai! Yuna udah nggak sanggup hidup dengan Niko. Selain menyiksa, dia juga selingkuh, Bu. Bahkan … dia membunuh anakku. Anakku mati karena ulahnya, Bu.”
Bu Harni mengusap kasar pipinya, lalu bersimpuh di tepi ranjang dekat putrinya. “Iya, Nak. Ibu paham. Kita melangkah pelan-pelan, ya. Kak Anita sudah membantu mencari pengacara yang sanggup menangani kasusmu ini.”
Sebenarnya, Kayuna dibantu Kakaknya sudah kelimpungan mencari pengacara yang benar-benar bisa diandalkan. Setelah kedua pengacara sebelumnya mengundurkan diri tiba-tiba, karena merasa berat melawan kuasa hukum kondang keluarga Niko.
Bertahun-tahun Kayuna bertahan. Karena memang tak ada tempat pelarian. Dimanapun dia bersembunyi, Niko dengan mudah akan menemukannya. Berulang kali mengajukan gugatan perceraian, pengacaranya akan selalu mundur tiba-tiba, kala mengetahui siapa lawannya.
Rumah, keluarga ataupun hukum, sama sekali tak punya power untuk menjadi pelindungnya.
***
Cahaya purnama malam itu jatuh lembut di antara pepohonan, menggantung indah mirip lentera raksasa di langit malam.
Kayuna duduk sambil memeluk lututnya di bawah ranjang. Wajah pucatnya tersorot samar oleh sinar rembulan, keningnya mengerut.
Tatapannya seketika liar, menoleh ke kiri dan ke kanan. Telinganya berdengung, kencang, semakin kencang.
Napasnya terasa berat, tapi mendadak berpacu hebat. Di antara suara riuh yang mendengung di telinga, ia mendengar bisikan lirih, samar, tapi kian jelas.
“Bu … Ibu ….”
Kayuna mengerjap. Meneguk ludah kasar.
Sssttttt …. Angin mendesir pelan, masuk melalui jendela yang terbuka lebar.
“Ibu … Bu ….” Bisikan itu terus mengusik dirinya.
Semakin terdengar, semakin dekat. Terus berulang, lagi … dan lagi. Amat terdengar jelas, hingga Kayuna kelabakan mencari sumber suara itu.
“Anakku?” lirihnya, menjawab panggilan kecil yang terus menderu di telinganya.
Matanya terpejam, kepalanya terus menoleh cepat — bergantian.
“Anakku? … Anakku? … Anakku?!”
Kayuna tersentak. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Matanya membelalak, ia menoleh ke arah jendela. Tapi tertutup rapat.
Jantungnya berdegup hebat.
Ia mengalihkan pandangan, tapi hanya mendapati ibunya yang duduk dengan raut cemas di sampingnya.
“Kamu bermimpi, Nak? Mimpi buruk?” suara Bu Harni bergetar.
“Hah?” Kayuna tampak linglung.
“Kayuna … ada apa? Kamu mimpi buruk ya?” tanya Bu Harni lagi.
Bibir Kayuna bergetar, tatapannya diliputi kebingungan. “Bu … Anakku memanggilku. Dia terus memanggilku, Bu. Dia … dia—”
“Putriku ….” Bu Harni langsung mendekap anak perempuannya yang malang itu.
Erat-erat ia memeluknya. Bahunya bergetar. Tangisnya merobek keheningan tengah malam.
“Malang sekali nasibmu, Nak. Ikhlaskan ya, Sayang. Ikhlaskan Anakmu, kuatkan hatimu.”
Kayuna membeku dalam pelukan sang Ibu. Wajahnya datar seolah tak memahami ucapan ibunya.
“Apa maksud, Ibu? Anakku … dia baru saja memanggilku, Bu. Dia—”
“Kayuna!” bentak Bu Harni.
Kemudian ia melepas rangkulannya. “Sadarlah, Nak! Anakmu sudah tiada, dia belum sempat terlahir ke dunia.”
Kayuna tertegun. Pandangannya menyapu seisi ruangan. Lantas ia tersadar, ingatannya berkelebat ke kejadian yang menimpanya — sehingga membuatnya kehilangan bayinya.
“Ibu benar. Anakku … Anakku ….”
Kayuna mengerutkan dahinya. Kedua tangannya meremas kuat kepala, lalu menjambak rambutnya sendiri dengan erat.
Bahunya berguncang, tubuhnya menggelegak di atas kasur. Kayuna menjerit pedih, sambil memukul keras dadanya, seolah ada sebongkah batu besar yang menggumpal di dalam sana.
Bu Harni tak kuasa menahan tangis. Dirinya semakin terpukul melihat kehancuran putri bungsunya.
Sementara di luar kamar. Anita berdiri — menguping percakapan ibu dan adiknya. Tangannya mengepal kuat di sisi tubuh.
“Kayuna … Kakak akan berusaha mencari cara untuk membebaskanmu dari cengkraman laki-laki bajingan itu.”
*
*
Bersambung.