Arkan itu cowok baik—terlalu baik malah. Polos, sopan, dan sering jadi sasaran empuk godaan Elira, si gadis centil dengan energi tak terbatas.
Bagi Elira, membuat Arkan salah tingkah adalah hiburan utama.
Bagi Arkan, Elira adalah sumber stres… sekaligus alasan dia tersenyum tiap hari.
Antara rayuan iseng dan kehebohan yang mereka ciptakan sendiri, siapa sangka hubungan “teman konyol” ini bisa berubah jadi sesuatu yang jauh lebih manis (dan bikin deg-degan)?
Cinta kadang datang bukan karena cocok—tapi karena satu pihak nggak bisa berhenti gangguin yang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QueenBwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Enam Belas
Lira nyaris meledak seperti panci kukus ketika Ayana terus-terusan mengiriminya foto Arkan dengan si “rambut gulali” itu.
Oh ya… Lira memanggil Salva “rambut gulali” karena rambut pink pastel bocah itu mencolok seperti permen kapas di pasar malam.
Balik ke topik… entah apa niat Ayana, tapi satu hal pasti: Lira sudah emosi tingkat nasional. Ia bahkan menggigiti ponselnya sendiri saking kesal. Kalau ponsel itu hidup, mungkin sudah minta cuti.
Padahal, kalau diperhatikan baik-baik, foto yang dikirim Ayana itu normal-normal saja. Arkan hanya tampak sedang mengajari Salva mengetik sesuatu di komputer. Tapi Ayana—dengan jiwa iseng level dewa—mengedit foto itu dan menambahkan balon percakapan aneh.
Salah satu tulisannya:
“Salvaaa~ kamu lucu banget~”
“Ehe~ Kak Arkan bikin aku meleleh~~”
Dan dengan segala kebodohan karena terbakar api cemburu, Lira percaya editan itu mentah-mentah. Foto polos itu langsung berubah di matanya jadi drama sinetron berseri bunga-bunga.
“Keselll… kesel… hiks… Arkaaan punyakuu!! huweeee…!!!” teriak Lira sambil memberontak di jok belakang mobil.
Farhan, sopir dan asisten pribadi yang sudah khatam menghadapi kelakuan Lira, hanya meliriknya datar.
Anak ini memang susah ditebak. Kadang lucu, kadang dramatis, kadang bikin migrain.
Lalu terdengar suara—
“DUUUGH!”
“HUWEEEEEEEE!! KEPALAKUUUUU!!!” jerit Lira yang ternyata kepalanya barusan kebentur pintu mobil gara-gara gelut sama perasaan sendiri.
Farhan menghela napas seperti pahlawan tua yang lelah hidup. Ia berhenti di minimarket, beli air es buat mengompres jidat majikannya yang terlalu aktif.
Beberapa jam kemudian, mobil berhenti di depan kantor Arkan di pusat kota. Lira langsung melompat turun dari mobil, seperti pasukan khusus siap sergap target.
Begitu sampai di depan lift, ia menekan tombol berkali-kali seperti sedang main arcade. Tapi lift tak kunjung terbuka juga.
“Ugh… kita pakai tangga darurat aja, Farhan!”
Farhan melotot.
Tangga… 16 lantai?
Yang benar saja.
“Nona yakin? Lantai enam belas loh,” tanya Farhan datar.
“YAKIN!” seru Lira dramatis.
Namun ketika ia membuka pintu tangga darurat dan mendongak…
Tangga itu menjulang seperti jalur pendakian Gunung Semeru.
Glek.
“Farhan, tangganya banyak banget ya…” gumamnya lirih.
“Ya, namanya juga gedung perkantoran.”
Lira langsung berputar dan kembali berdiri depan lift dengan muka sok kalem.
“Naik lift aja.”
Farhan tertawa kecil sambil mengelus kepalanya.
***
Sementara itu, di ruangan Arkan…
“Begini, Kak Arkan?” tanya Salva sambil menunjuk layar Laptopnya.
Arkan mendorong kacamatanya sedikit ke atas, menunduk, lalu menunjuk layar. “Ini salahnya di sini. Coba tekan ini… terus enter. Nah, gitu.”
“Ahh, iya ya. Hehe, maaf Kak, aku masih belajar.”
“Tidak apa-apa. Semua orang juga mulai dari nol.”
Salva tersenyum malu, pipinya memerah tipis. Arkan menoleh sekilas ke ponselnya. Sudah sejam lebih ia menelpon Lira, tapi anak itu tak mengangkat.
Kemana gadis itu?
“Kenapa Kak? Kayak gelisah,” tanya Salva polos.
“Sebenarnya aku—”
“ARKAAAANNNNN!!” suara Lira menggema seperti komandan pasukan bar-bar datang perang.
Semua karyawan menoleh. Ayana memasang kacamata hitam, nyeruput soda, dan mengeluarkan popcorn yang sudah ia siapkan dari tadi.
“Drama dimulai,” katanya bahagia.
“Lira?! Kok kamu di sini?!” tanya Arkan kaget.
“Kenapa memang? Aku tidak boleh datang? Kau SELINGKUH kan?!” serang Lira tanpa jeda napas.
Arkan mengerjap. Bocah satu ini datang-datang langsung marah dan menuduhnya.
Sebelum Arkan sempat menjelaskan, Salva menyodorkan tangannya dan tersenyum lebar. “Halo Kak. Namaku Salva. Kakak cantik banget~”
Lira membeku sepersekian detik. Ditatap dengan kagum begitu bikin hatinya copot separuh.
“UGHHHHH GEMEEEEESS BANGET, SIH!” jeritnya dan langsung berlari kecil lalu memeluk Salva seperti guling.
Salva kaget, mukanya merah merona seperti stroberi segar.
Arkan bengong.
Ayana tersedak popcorn.
Raka Terbahak puas.
Lira akhirnya melepas pelukan, tersenyum lebar. “Aku Elira. Panggil Kakak cantikmu ini Kak Lira aja, oke?”
Salva tersenyum kikuk. “O-oke Kak Lira~”
Lira mengusap pundak Salva. “Dengar ya, Arkan itu punya aku. Jadi jangan naksir, oke adik manis?”
Salva mengangguk patuh seperti murid teladan. “Oke, Kak Lira~”
“Good girl.”
Lira langsung melotot ke Arkan. “Kau. Ikut aku.”
Dan menarik Arkan ke ruang istirahat karyawan.
Cklek. Pintu dikunci.
Elira bersedekap dengan ekspresi kesal.
“Lira, ada apa? Dan kenapa kau tidak angkat telponku?” tanya Arkan.
“Harusnya aku yang tanya! Kau itu… terlalu baik sama semua orang! Mereka jadi salah paham! Termasuk rambut gulali itu!”
Hening panjang.
Kalau Lira sudah tak memanggil Arkan dengan nada manja, artinya dia serius.
“Lira… aku tidak selingkuh,” Arkan mencoba mendekat. “Aku bahkan tidak ngapa-ngapain.”
“Pokoknya aku tidak suka! Kau senyum ke orang lain juga bikin aku panas dingin,” kata Elira sambil merapat ke dada Arkan dan menubruknya seperti koala marah. “Jangan terlalu baik, nanti aku makin cemburu.”
Arkan mengelus rambut gadis itu pelan. “Oke… aku mengerti.”
Lira mendongak, menatap tajam. “Tapi kau tetap salah.”
“Kenapa salah?”
“Karena bikin aku cinta setengah mati.”
Arkan terpaku. Tapi ia tersenyum samar tanpa sadar.
Di luar ruangan, para karyawan kepo nungguin di depan pintu.
Lira dan Arkan keluar dengan wajah memerah, dengan Lira yang memeluk lengan Arkan.
Lira mengangkat dagu dan senyum jail, “Tenang semua… kami cuma klarifikasi status hubungan~”
Raka nyaris keselek air minum.
Ayana menyeringai puas.
Dan Arkan hanya bisa menutup wajahnya malu.