Gunawan, penjual rujak bumbu yang pendiam, dan Dewi, pemilik seblak pedas yang independen, terjebak dalam perjodohan paksa setelah gerobak mereka bertabrakan, menciptakan kekacauan di lapak. Warga, di bawah arahan Pak RT, menghukum mereka dengan pernikahan untuk menjaga reputasi lapak. Awalnya, mereka sepakat untuk menjalani 'kontrak pacaran palsu', penuh kecanggungan dan konflik komedi. Namun, seiring waktu, serangkaian tantangan publik—mulai dari "Love Brigade" yang selalu mengawasi, drama keluarga, hingga sabotase pesaing—memaksa mereka bekerja sama. Tanpa disadari, sandiwara tersebut mulai menumbuhkan perasaan nyata, hingga akhirnya mereka harus memutuskan apakah akan tetap berpegang pada janji palsu atau jujur pada hati mereka, yang berarti menghadapi konsekuensi dari komunitas yang pernah memaksa mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengakuan di lorong belakang
...sebelum kesempatan aneh ini menguap begitu saja seperti uap seblak yang baru matang.
Tanpa berkata apa-apa, Gunawan melangkah menuju lorong sempit di antara gerobak-gerobak yang sudah tutup, menuju gudang belakang. Kakinya terasa ringan, seolah ada magnet tak terlihat yang menariknya ke sana. Ia tahu, Dewi akan mengikutinya. Instingnya, yang biasanya hanya berputar pada racikan rujak bumbu paling lezat, kini memberi sinyal yang jelas: ini adalah momennya.
Benar saja, beberapa detik kemudian, langkah kaki Dewi terdengar di belakangnya, cepat dan sedikit tergesa-gesa. Ia memasuki gudang dengan napas memburu.
"Apa yang kau pikirkan, Gunawan?" Dewi langsung menembak, suaranya rendah tapi penuh ancaman.
"Kau membawa aku ke sini bukan cuma untuk menikmati bau tikus dan bawang busuk, kan? Ada apa sebenarnya? Apa yang kau sembunyikan?"
"Aku... aku cuma mau bicara, Wi," kata Gunawan, suaranya sedikit bergetar. Ia bersandar pada tumpukan karung gula yang sudah agak sobek, mencoba terlihat santai, padahal jantungnya berdebar seperti genderang perang.
"Soal... soal kontrak kita."
"Kontrak apa lagi?" Dewi mendengus, matanya menyipit.
"Kontraknya sudah jelas. Enam bulan. Tidak ada sentuhan. Tidak ada berbagi resep. Tidak ada campur tangan. Apa lagi yang mau kau ubah? Kau mau memperpanjangnya? Atau kau mau mengubah syarat 'cium pipi kalau terpaksa' jadi 'cium pipi setiap jam'?" Sindiran terakhir itu meluncur dengan nada jijik, tapi ada sedikit semburat merah di pipinya yang Gunawan tidak luput dari perhatian.
"Bukan begitu, Wi!" Gunawan buru-buru menyanggah.
"Aku... aku cuma berpikir... apa yang dikatakan Pak Joko tadi. Soal kita yang serasi. Itu... itu bisa jadi modal bagus buat bisnis kita, kan?" Ia mencoba mengalihkan pembicaraan, menyembunyikan detak jantungnya yang semakin cepat.
"Maksudku, kalau kita terlihat benar-benar akur, pelanggan pasti akan lebih percaya. Mereka akan berpikir, 'Wah, pasangan ini romantis sekali, pasti makanan mereka juga dibuat dengan cinta.' Kan begitu?"
Dewi memutar bola matanya.
"Cinta? Kau pikir mereka sebodoh itu, hah? Mereka cuma terhibur, Gunawan! Ini tontonan gratis bagi mereka! Dan kau... kau justru ingin memanfaatkan ini untuk bisnis? Kau ini benar-benar licik!"
"Bukan memanfaatkan, Wi!" Gunawan mencoba membela diri, sedikit panik.
"Ini namanya... strategi pemasaran! Inovasi! Di zaman sekarang, orang tidak cuma beli makanan enak, tapi juga cerita di baliknya. 'Rujak Seblak Mesra', kan lumayan bagus buat branding?"
Ia hampir keceplosan.
Kata "mesra" terasa seperti pisau yang mengiris tenggorokannya. Mesra. Sebuah kata yang seharusnya hanya ada dalam mimpi-mimpinya tentang Dewi, bukan dalam percakapan bisnis yang kaku.
"Omong kosong!" Dewi melangkah maju, mendekat, membuat Gunawan sedikit terdorong ke belakang oleh aura marahnya yang membara.
"Kau dengar aku baik-baik, Gunawan. Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu. Kau tidak mungkin setuju dengan perjodohan gila ini begitu saja hanya karena 'nama baik lapak' atau 'strategi pemasaran'. Kau ingin sesuatu, kan? Kau ingin mengendalikan aku! Kau ingin resep seblakku! Atau lebih buruk lagi... kau ingin aku... aku terikat padamu, selamanya, lalu kau bisa sesuka hatimu menginjak-injak hidupku seperti yang orang lain lakukan di masa lalu!"
Wajah Dewi memerah, matanya berkaca-kaca. Ada luka yang menganga di sana, sebuah bayangan masa lalu yang kelam. Gunawan bisa merasakannya, sentuhan emosi yang begitu nyata, begitu mentah, yang jarang sekali Dewi tunjukkan. Ini bukan lagi tentang sandiwara, ini tentang ketakutan terdalam Dewi.
Gunawan merasakan desakan untuk memeluknya, untuk mengatakan bahwa ia tidak akan pernah melakukan itu, bahwa ia tidak akan pernah menyakitinya. Bahwa ia mencintainya, sudah sejak lama, jauh sebelum gerobak mereka bertabrakan, jauh sebelum perjodohan gila ini dimulai. Ia ingin mengatakan,
'Aku menyukaimu, Wi. Aku menyukaimu sejak pertama kali kau membuka lapak seblakmu, dengan semangatmu yang membara dan tawamu yang renyah setiap kali kau berhasil membuat pelangganmu kepedasan. Aku ingin ini nyata, bukan hanya sandiwara.'
"Bukan begitu, Wi!" Gunawan akhirnya berhasil memaksa suaranya keluar. Ia mencoba terdengar lebih tenang, lebih logis.
"Aku... aku cuma berpikir, kau tahu, kalau kita benar-benar ingin lapak kita maju, kita harus punya visi jangka panjang. Bagaimana kalau kita membuat... uhm... sebuah platform online khusus untuk lapak kita? Semacam... aplikasi pesan antar makanan kaki lima premium! 'Lapak Kaki Lima Mesra On-Demand'!"
Gunawan mulai mengoceh, otaknya bekerja keras menciptakan alasan bisnis yang sekompleks mungkin, berharap Dewi akan kewalahan dan berhenti menuntut.
"Dan untuk itu, kita butuh... citra yang solid! Citra pasangan yang harmonis, yang punya visi yang sama! Ini bukan cuma soal rujak dan seblak, Wi! Ini soal... ekosistem bisnis mikro yang terintegrasi!"
Dewi menatapnya dengan mulut sedikit terbuka, kebingungan jelas terpancar di wajahnya. Alisnya terangkat, mencoba mencerna rentetan kata-kata Gunawan yang tidak masuk akal.
"Aplikasi? Ekosistem? Kau serius, Gunawan? Kau pikir aku ini komisaris perusahaan startup? Ini cuma lapak kaki lima, tahu! Kita jual seblak dan rujak, bukan saham perusahaan teknologi!"
"Tapi itu kan ide jangka panjang, Wi!" Gunawan bersikeras, merasa sedikit bangga dengan improvisasinya yang kacau balau itu.
"Maksudku, kalau kita terlihat kompak sekarang, maka nanti kalau ada investor yang melihat potensi 'Rujak Seblak Mesra', mereka akan lebih tertarik! Kita bisa jadi... duet kuliner paling fenomenal di Indonesia! Bayangkan, Wi! Kita bisa buka cabang di mana-mana! 'Rujak Seblak Mesra: Cabang Tanah Abang', 'Rujak Seblak Mesra: Cabang Kebayoran Baru'!"
Dewi menghela napas panjang, kepalanya menggeleng pelan. Sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, melintas di bibirnya. Ia berusaha menyembunyikannya, tapi Gunawan bisa melihatnya. Itu bukan senyum mengejek, melainkan senyum... geli? Atau mungkin, sedikit kagum dengan kebodohan Gunawan?
"Kau ini benar-benar gila, Gunawan," kata Dewi, suaranya sedikit melunak, meski masih ada nada skeptis.
"Investor? Duet kuliner? Kau pikir aku akan percaya omong kosongmu itu? Ini bahkan lebih tidak masuk akal daripada kau bilang aku cantik."
Gunawan tersentak. Ia ingat kata-kata yang ia bisikkan di tengah sesi 'Tatapan Cinta' kemarin. Wajahnya memerah. Jadi Dewi mendengarnya. Sesuatu yang hangat merayap di dadanya, sebuah perasaan campur aduk antara malu dan lega.
"Aku... aku hanya mencoba berpikir ke depan, Wi," Gunawan mencoba mengembalikan fokus ke 'bisnis', meskipun ia tahu ia sudah gagal total dalam meyakinkan Dewi.
"Intinya, kita harus terlihat benar-benar mesra. Lebih mesra dari sebelumnya. Agar... agar rencana besar kita ini bisa berjalan mulus."
Dewi menatapnya lagi, kali ini dengan tatapan yang lebih meneliti. Ia tidak sepenuhnya percaya, tapi ia juga tidak sepenuhnya menolak.
"Terserahlah, Gunawan," kata Dewi akhirnya, mengibaskan tangannya, seolah semua omong kosong Gunawan terlalu merepotkan untuk dipikirkan.
"Aku tidak peduli dengan semua khayalanmu itu. Yang jelas, kontrak tetap kontrak. Enam bulan. Tidak lebih. Dan aku tidak akan pernah berbagi resep rahasiaku denganmu, apalagi dengan 'investor' khayalanmu itu." Ia berbalik, melangkah menuju pintu gudang, meninggalkan Gunawan yang masih bersandar di karung gula, bergumul dengan kejujurannya yang terpendam.
"Tunggu, Wi!" Gunawan memanggil, tapi Dewi sudah di ambang pintu.
"Apa lagi?" tanyanya, tanpa menoleh.
"Kau... kau baik-baik saja?" Gunawan bertanya, kata-kata itu meluncur begitu saja. Ia tidak tahu mengapa ia menanyakan itu, tapi ia melihat luka di mata Dewi tadi, dan ia ingin tahu.
Dewi terdiam sejenak.
Ia tidak menjawab, hanya menghela napas panjang.
"Aku baik-baik saja," katanya lirih, lalu melangkah keluar dari gudang.
Gunawan menghela napas, merasa campur aduk. Ia berhasil menutupi perasaannya, tapi ia juga merasa bersalah karena tidak jujur. Ia masih ingin mengatakan sesuatu, mengejar Dewi, tapi ia tahu ini bukan saatnya. Ia akan menunggu, mencari waktu yang tepat. Ia akan membuktikan bahwa ia bisa diandalkan, bahwa ia tidak akan pernah mengkhianati kepercayaan Dewi. Mungkin, suatu hari nanti, Dewi akan melihatnya bukan hanya sebagai penjual rujak yang pasrah, tapi sebagai seseorang yang benar-benar mencintainya.
Saat Gunawan hendak beranjak dari karung gula, matanya menangkap sesuatu yang tergeletak di lantai gudang yang berdebu, tepat di tempat Dewi tadi berdiri. Sebuah benda kecil, persegi panjang, dengan warna yang sudah pudar. Ia membungkuk dan mengambilnya.
Itu adalah sebuah foto.
Foto lama, yang sudah agak usang, mungkin sudah bertahun-tahun lamanya. Di dalam foto itu, ada seorang gadis kecil, rambutnya dikepang dua, dengan wajah yang ceria, penuh tawa, dan senyum lebar yang memperlihatkan deretan gigi ompong di bagian depan.
Matanya berbinar, memancarkan kebahagiaan yang murni, tanpa beban, tanpa rasa takut. Gunawan mengerutkan kening. Ia tidak pernah melihat Dewi seperti ini. Dewi yang ia kenal adalah wanita tangguh, independen, dan selalu waspada.
Tapi gadis kecil di foto ini... adalah Dewi, dan ia terlihat sangat...
...bahagia.