Ilya Perry-Ivanova menikahi Nicholas Duncan hanya untuk satu tujuan: melarikan diri dari sangkar emas neneknya yang posesif.
Tapi Nicholas Duncan, sang pecinta kebebasan sejati, membenci setiap detik dari pernikahan itu.
Tujuannya Nick hanya satu: melepaskan diri dari belenggu pernikahannya, yang mana berarti Ilya. Istrinya yang paling indah dan jelita.
Ketika satu pihak berlari ke dalam ikatan itu, dan pihak lain mati-matian berlari keluar, mampukah mereka selamat dari perang rumah tangga yang mereka ciptakan sendiri?
×wasabitjcc
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wasabitjcc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Malam Pertama (2)
Begitu Nick membalikkan badan dan tenggelam dalam lautan mimpi yang jauh tak tersentuh, Ilya berbaring di sebelah pria itu setelah mengganti gaun pengantinnya dengan gaun tidur sutera berwarna putih, hadiah pernikahan dari neneknya. Gaun tidur itu pendek dan terbuka, sangat aneh rasanya saat Ilya memakainya. Tapi mau bagaimana lagi, cuma itu pakaian tidur yang tersedia. Pakaian lain yang tersedia adalah pakaian yang akan dipakainya besok untuk pulang.
Saat berbaring di samping Nick, sebagian diri Ilya merasa lega. Ketakutan dan kegugupannya menguap digantikan oleh rasa aman yang menyenangkan. Malam panas yang ia bayangkan akan penuh ketegangan, kecanggungan, dan mungkin rasa sakit yang ia dengar dari gosip teman-teman sekolahnya dulu, ternyata hanya dihabiskan dalam kesunyian.
Ia selamat untuk malam ini.
Ilya merasa lega, memang. Tapi anehnya, menyertai kelegaan itu, muncul perasaan lain yang lebih tajam dan tidak terduga. Ilya merasa jengkel.
Ilya menoleh, menatap sosok Nick yang terlelap tenang, punggung Nick menghadap ke arahnya. Ilya mengingat kembali bagaimana fitur wajah Nick yang tegas saat membantunya tadi, betapa wajahnya yang tampan, maskulin, menatap Ilya dengan apatis. Seakan-akan kehadiran Ilya tidak menggugah seleranya.
"Dasar cowok tidak jelas," gumam Ilya pada dirinya sendiri.
Sedikitnya, harga diri Ilya terluka. Padahal Ilya tahu—semua orang memberitahunya—bahwa dia adalah gadis yang sangat cantik. Tidak hanya wajahnya yang indah, fisiknya juga menyerupai model kelas dunia. Oke, mungkin tidak sekelas dunia, tapi tubuh model tetaplah tubuh model.
Dia sekurus tusuk gigi, rambutnya sehalus sutera, bokong dan dadanya juga terlihat, tidak kempis, jadi apa masalahnya?
Bagaimana mungkin seorang pria yang baru saja mengambil sumpah di hadapan Tuhan, seorang pria yang kini berhak atas dirinya, mengabaikan kecantikannya?
'Apa Nick impoten?'
Pertanyaan itu menyembul di benak Ilya.
'Atau gay?'
Yang mana pun itu, Ilya merasa yang salah itu pasti Nick. Ilya tidak memiliki kekurangan apa pun untuk bisa ditolak.
Ilya mematikan lampu tidur di sampingnya dengan gerakan cepat, menenggelamkan kamar itu ke dalam kegelapan. Ia balik memunggungi Nick, sengaja jauh-jauh dari Nick. Ia memaksakan matanya tidur, sementara pertanyaan yang mengganggu menguasai benaknya, tidak menemukan jawaban.
Ia akan terus penasaran, apakah Nick tidak melihatnya sebagai perempuan?
...----------------...
Ketika matahari pagi menyapa, sinarnya yang lembut menembus tirai tebal jendela. Cahayanya yang keperakan tumpah di lantai.
Nick terbangun lebih dulu. Ia merasakan lengan berat dan halus milik seseorang menghimpit lehernya, disertai kaki jenjang yang kini melingkupi pinggangnya. Nick membuka mata dan melirik ke sisi kanannya. Ilya berada di sana, wajah sepersekian centi dari wajahnya. Kepala gadis itu mendominasi bantalnya.
Nick menghela napas. Ia kembali teringat pada sebuah kenyataan baru, bahwa kemarin, ia dan perempuan cilik ini baru saja menikah.
Dengan gerak lamban dan penuh perhatian, Nick membebaskan dirinya dari cengkeraman Ilya. Setelah ia terbebas pula, Nick mengambil waktu sejenak untuk mengamati perempuan itu yang kini memakai gaun tidur lingerie. Gaun itu sangat tidak cocok untuk Ilya. Entah siapa yang memilihkannya.
Gaun itu sangat vulgar dan dewasa, dan Ilya, Ilya begitu polos.
Kepolosan Ilya terpancar saat ia tidur. Rambut hitamnya yang panjang tergerai di atas bantal, dan wajahnya yang tanpa riasan tampak tenang dan sempurna. Di bawah cahaya pagi yang masuk lewat jendela, kecantikan Ilya menjadi lebih mencolok dari biasanya, lebih manis seperti bunga yang baru mekar.
Sekali lagi, saat mengamati Ilya, kekaguman yang samar-samar dan tak diminta itu mencubit hati Nick. Sebuah bisikan muncul dalam benaknya, mengakui daya tarik fisik yang luar biasa dari wanita yang kini menjadi istrinya.
Namun, seperti kebiasaan yang sudah mengakar, Nick segera mengenyahkan perasaan itu. Kekaguman itu adalah emosi yang tidak relevan, bahkan mungkin berbahaya, bagi hidupnya. Kontrol diri kembali mengambil alih dirinya, dan tatapannya kembali menjadi dingin dan lurus.
Nick melabuhkan tangannya di pundak Ilya dan mengguncang bahu Ilya dengan lembut.
"Ilya," panggilnya, suaranya rendah dan datar, bebas dari kehangatan apa pun. "Bangunlah, sudah pagi."
Ilya mengerang pelan, mata hijaunya berkedip terbuka, terkejut melihat wajah Nick menatapnya.
Kenapa Nick di kamarnya?
Ah?
Oh. Oh!
Benar, mereka menikah kemarin.
"Bangunlah, kita akan kembali hari ini" lanjut Nick, suaranya bergeser menjadi nada memerintah.
Sementara Ilya memaksakan tubuh letihnya bangkit dari tempat tidur, Nick beranjak dari ranjang dan berjalan menuju balkon. Kenyataan baru mengingatkan Ilya pagi itu, bahwa mulai hari itu juga, ia sudah menjadi seorang istri dari pria sombong yang sedang melakukan peregangan di balkon.
Istri Nick adalah dirinya, Ilya.
...----------------...
Di balkon hotel mewah yang seharusnya menjadi saksi dari momen pengantin baru yang hangat, pagi mereka malah berlangsung dengan dingin. Aroma kopi dan roti panggang tak mampu menutupi ketegangan yang menyesakkan meja.
Ilya mengaduk tehnya, matanya terus-menerus kembali pada sosok Nick yang duduk di seberangnya.
Mereka baru saja melewati malam pertama sebagai pasangan suami-istri, tapi Nick tampak semakin dingin dan jauh. Dia menyesap kopinya dengan ekspresi hampa, seolah balkon itu hanyalah kantor lain, dan Ilya hanyalah rekan kerja yang harus dia toleransi.
Apatis adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan pribadi Nick saat itu. Hanya tubuh yang ada di sana, sementara pikirannya entah di mana.
Ilya merasakan kegelisahan menusuk ulu hatinya. Dia telah memaksakan pernikahan ini, dan sekarang, ia menghadapi konsekuensinya—seorang suami yang asing dan acuh tak acuh. Dia menatap Nick, mencari retakan kecil pada dinding es yang didirikan pria itu.
Apa yang ada di balik tatapan kosong itu? Apakah ada kebencian? Atau hanya kebosanan karena dipaksa terikat?
Apa yang Nick pikirkan tentangnya?
Tiba-tiba, Nick mengangkat pandangannya. Tatapan matanya yang tajam membalas tatapan intens Ilya. Tanpa emosi yang berarti, ia hanya berkata, "Ada apa, Ilya?"
"Ada apa?"
"Kamu menatapku."
"Aku tidak."
"Kamu menatapku."
"Aku seriusan tidak menatapmu."
"Kamu kekanakan. Tinggal bicara apa susahnya."
Ucapan Nick menghantam Ilya seperti tusukan. Ilya tersentak kesal. "Aku sudah mengatakan tidak ada. Kenapa kamu memaksaku mengatakan sesuatu?"
"Karena kamu mempelototiku."
Ilya menggeram, "Apa salahnya kalau aku mempelototi wajah suamiku? Aku cuma mau melihat kamu makan, itu saja."
Nick tidak bereaksi. Ia hanya kembali pada kopinya, menarik napas panjang, seolah-olah menghadapi Ilya adalah tugas yang paling melelahkan di dunia.
Di tengah keheningan yang dingin itu juga, Ilya tersadar akan sesuatu. Bahwa, meski Nick setuju menikahinya, seterusnya hubungan mereka akan seperti ini. Ilya akan selalu berdiri di ujung tatapan permusuhan Nick. Tidak pernah benar, tidak pernah baik, tidak pernah cukup.
Jika pernikahan ini adalah kebebasan bagi Ilya, maka bagi Nick, pernikahan itu adalah kutukan.
Mereka tidak akan pernah menjadi suami istri yang sejalan.
...----------------...