NovelToon NovelToon
SISTEM MEMINDAH JIWAKU KE TUBUH GADIS BODOH

SISTEM MEMINDAH JIWAKU KE TUBUH GADIS BODOH

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Transmigrasi / Permainan Kematian / Sistem
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: chiisan kasih

Kinara, seorang pejuang akademis yang jiwanya direnggut oleh ambisi, mendapati kematiannya bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah misi mustahil. Terjebak dalam "Sistem Koreksi Generasi: Jalur Fana", ia ditransmigrasikan ke dalam raga Aira Nadine, seorang mahasiswi primadona Universitas Cendekia Nusantara (UCN) yang karier akademis dan reputasinya hancur lebur akibat skandal digital. Dengan ancaman penghapusan jiwa secara permanen, Kinara—kini Aira—dipaksa memainkan peran antagonis yang harus ia tebus. Misinya: meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sempurna dan "menaklukkan" lima pria yang menjadi pilar kekuasaan di UCN.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chiisan kasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

DEBAT DI LINGKARAN KEKUASAAN

Ponsel itu terasa dingin di tanganku, meninggalkan sisa racun Serena. Dia tidak hanya memantau; dia menikmati permainan ini. Aliansi Serena dengan Rendra (Target 2) membuktikan bahwa mereka berbagi filosofi yang sama: kekuasaan harus efisien dan tanpa ampun. Mereka adalah penjaga gerbang yang memastikan Antagonis Terbuang seperti Amara tetap berada di luar, terkunci dalam kegagalan abadi.

Aku harus menang. Menang esai 10 juta adalah tentang kelangsungan hidup fisik Kinara/Amara (melunasi utang). Menang debat melawan Rendra adalah tentang kelangsungan hidup politik. Keduanya saling terkait.

Aku menghabiskan sisa malam itu dengan membaca esai-esai pemenang lomba tahun lalu, menggabungkannya dengan teori ekonomi-politik yang aku dapatkan dari materi kuliah Pak Arka. Judul esai yang harus aku buat, 'Peran Mahasiswa dalam Membangun Ekosistem Bisnis yang Etis,' adalah jebakan. Mahasiswa biasa akan menulis tentang CSR. Aku akan menulis tentang mengapa ekosistem bisnis etis tidak mungkin terjadi di bawah sistem meritokrasi yang korup.

Pagi berikutnya, aku memasuki kelas Pengantar Ilmu Politik. Kelas ini selalu dipenuhi oleh mahasiswa ambisius, yang sebagian besar adalah anggota BEM atau anak-anak dari keluarga politik. Ini adalah domain Rendra, meskipun dia tidak hadir hari ini. Ini adalah tempat di mana hierarki sosial kampus paling kentara.

Dosen, Ibu Laksmi, seorang praktisi politik yang keras, memulai diskusi dengan sebuah pertanyaan yang sangat provokatif.

“Kita telah membahas tentang Oligarki dan bagaimana kekuasaan di Indonesia cenderung mengalir ke tangan segelintir elit,” kata Ibu Laksmi, melipat tangan di depan dada.

“Pertanyaannya sederhana: Apakah mungkin bagi mahasiswa, sebagai agen perubahan, untuk membongkar sistem Oligarki ini, atau apakah kita hanya diizinkan untuk berpartisipasi di dalamnya sesuai aturan yang telah ditetapkan?”

Seorang mahasiswa yang duduk di barisan depan, Guntur—anggota BEM yang dikenal loyal kepada Rendra—langsung mengangkat tangan. Guntur adalah tipe mahasiswa yang percaya bahwa masalah kampus bisa diselesaikan dengan 'rapat yang terstruktur' dan 'prosedur yang benar'.

“Tentu saja kita bisa membongkarnya, Bu,” ujar Guntur dengan percaya diri.

“Tetapi kita harus realistis. Oligarki adalah struktur. Kita harus membangun kekuatan kita dari dalam. Melalui BEM yang kuat, kita bisa melobi rektorat, kita bisa mengendalikan narasi. Mahasiswa yang ingin membongkar sistem harus terlebih dahulu menguasai sistem itu sendiri.”

“Jadi, Anda harus menjadi bagian dari Oligarki untuk menghancurkannya?” tanya Ibu Laksmi, tersenyum tipis.

“Itu terdengar seperti justifikasi untuk mempertahankan status quo, Guntur.”

Guntur menoleh ke belakang, matanya menangkapku. Wajahnya menunjukkan penghinaan yang kentara.

“Justifikasi atau bukan, Bu, itu adalah realitas. Kita tidak bisa berharap pada anomali atau elemen destruktif yang hanya bisa menyuarakan kritik tanpa solusi nyata,” kata Guntur, jelas menargetkan diriku.

“Kita perlu kepemimpinan yang terstruktur, bukan mahasiswa yang kerjanya hanya mabuk, menumpuk utang, dan menyalahkan sistem karena kegagalan pribadinya.”

Aku merasakan udara di kelas menipis. Semua mata kini beralih kepadaku. Guntur baru saja melakukan serangan ad hominem, menggunakan rekam jejak Amara yang lama sebagai senjata. Ini adalah perundungan di ruang kuliah, yang disamarkan sebagai kritik akademis.

Aku mengaktifkan 'Fokus Absolut'. Biarkan mereka melihat Amara yang baru.

Aku berdiri, tanpa mengangkat tangan, melanggar etiket kelas.

“Saya keberatan dengan definisi ‘kegagalan pribadi’ yang baru saja disampaikan Guntur,” kataku, suaraku tenang dan berat, memotong Guntur yang baru saja hendak duduk.

Ibu Laksmi terkejut, namun memberi isyarat agar aku melanjutkan. Kinara tahu, dosen ini haus akan konflik intelektual yang menarik.

“Silakan, Amara. Tunjukkan pada kami perspektif unik Anda,” ujar Ibu Laksmi.

“Guntur berasumsi bahwa untuk membongkar Oligarki, kita harus menjadi Oligarki kecil, menguasai BEM, dan mengikuti prosedur yang diciptakan oleh Rektorat. Itu bukan revolusi; itu adalah pergantian personel,” jelasku, menatap Guntur yang kini wajahnya memerah.

“Lalu apa solusinya, Nasywa? Menjadi Antagonis Terbuang? Apakah itu membongkar sistem?” tantang Guntur.

“Justru itu, Guntur. Mari kita bicara tentang kegagalan pribadi,” balasku, melangkah sedikit ke tengah lorong kelas.

“Anda benar. IPK saya 0.9. Saya pernah kecanduan judi. Saya adalah contoh sempurna dari kegagalan sistem. Tapi Anda lupa satu hal: Kegagalan saya adalah transparan. Seluruh kampus tahu. Media sosial tahu. Penagih utang tahu.”

Aku menjeda, memastikan setiap orang menyerap poin itu.

“Oligarki tidak takut pada kegagalan transparan. Mereka takut pada kebenaran yang tersembunyi. Sementara Anda sibuk menjadi mahasiswa ideal, menyusun rapat BEM yang terstruktur, berapa banyak dari Anda yang menggunakan hak istimewa Anda—hak istimewa untuk tidak diperhatikan oleh sistem—untuk menutupi korupsi terstruktur?”

Guntur mencoba menyela, “Itu tuduhan tak berdasar!”

“Benarkah?” aku tersenyum sinis.

“Kekerasan struktural di kampus ini, seperti yang dikatakan Pak Arka, adalah mekanisme untuk memilah siapa yang layak dan siapa yang harus dibuang. Saya dibuang. Saya menjadi sampah sistem, dan dengan begitu, saya menjadi sampel yang sempurna untuk menganalisis anatomi Oligarki.”

Aku menunjuk Guntur. “Anda, Guntur, memiliki hak istimewa untuk tidak pernah gagal di mata publik. Anda tidak pernah mabuk di klub malam. Anda tidak pernah punya utang. Anda adalah wajah BEM yang efisien. Anda adalah wajah yang disukai Oligarki kampus.”

“Saya hanya berprestasi!” serunya.

“Prestasi Anda adalah topeng Anda. Kegagalan saya adalah lensa saya,” balasku dengan tajam.

“Sistem ranking ini tidak dirancang untuk mencari yang terbaik. Ia dirancang untuk mencari yang paling patuh. Jika saya, si Antagonis Terbuang, tiba-tiba berhasil menyuarakan kritik yang tajam dan valid, itu bukan karena saya pintar. Itu karena kegagalan saya telah memberi saya hak istimewa yang tidak dimiliki oleh Anda: hak istimewa untuk tidak lagi terikat pada citra sempurna yang dijual kampus.”

“Jadi, Anda menyarankan mahasiswa lain harus menjadi pecandu judi untuk mendapatkan hak bersuara?” tanya Guntur, mencoba memutarbalikkan argumenku.

“Saya menyarankan agar mahasiswa berhenti mengukur nilai diri mereka dari metrik IPK yang steril, dan mulai mengukur integritas diri mereka dari seberapa besar keberanian mereka untuk tidak patuh pada narasi kepalsuan. Oligarki di kampus ini tidak akan tumbang karena BEM yang 'efisien'. Mereka akan tumbang karena ada cukup banyak Amara yang bangkit dan berani mengatakan: Ya, saya gagal. Tapi kegagalan saya adalah kesalahan sistem, bukan kesalahan moral saya.”

Kelas hening. Ibu Laksmi memegang dagunya, matanya memancarkan rasa ingin tahu yang dalam.

“Kinara,” Ibu Laksmi meralat, “Maksud saya, Amara. Anda baru saja melakukan dekonstruksi yang luar biasa terhadap konsep meritokrasi yang sering diagungkan oleh mahasiswa elit.”

Guntur duduk kembali, menatapku dengan kebencian murni. Dia kalah, bukan karena dia bodoh, tetapi karena dia terlalu terikat pada aturan yang dia yakini. Aku telah membalikkan argumen: Kegagalan Amara adalah senjatanya yang paling kuat.

[PEMBERITAHUAN SISTEM]

Misi Harian Selesai: Mengalahkan Mahasiswa Elit dalam Debat Informal. Kredibilitas politik Kinara (sebagai Amara) meningkat +15%. Target 2: Rendra menerima laporan kekalahan Guntur dan mulai meningkatkan kewaspadaan.

Aku tahu ini hanya pertarungan kecil, tetapi itu penting. Ini adalah peringatan bagi Rendra bahwa Amara bukan lagi lawan yang bisa diabaikan dalam Debat Internal mendatang.

Setelah kelas usai, aku langsung menuju perpustakaan. Aku harus segera menyelesaikan esai 10 juta itu. Waktu pengiriman adalah pukul 17.00. Jika aku menang, utang cicilan pertama (Bab 9) akan aman.

Saat aku mengetik esai, menggunakan data yang aku kumpulkan dari Maya (korban perundungan BEM) sebagai bukti nyata bagaimana sistem ranking menghasilkan mahasiswa yang patuh tetapi tidak etis, ponselku bergetar lagi. Kali ini, sebuah notifikasi dari aplikasi pinjaman online yang dulu digunakan Amara.

[ANDA MEMILIKI 1 JAM UNTUK MELUNASI CICILAN PERTAMA. JIKA GAGAL, BIAYA PENAGIHAN AKAN DITINGKATKAN 200%.]

Sial. Aku salah hitung. Tenggat waktu cicilan lebih cepat daripada yang aku perkirakan, hanya beberapa jam lagi. Esai itu adalah satu-satunya harapan. Aku harus menyelesaikannya dengan sempurna.

Aku kembali mengaktifkan ‘Fokus Absolut’. Jari-jariku menari di atas keyboard. Aku merangkai kritik tajam tentang bagaimana perusahaan konglomerat (Target 4) mensponsori lomba esai ini hanya untuk memastikan mahasiswa menghasilkan ide-ide yang ramah korporasi, bukan etis. Aku membalik narasi lomba itu sendiri.

Tepat pukul 16:55, aku menekan tombol kirim. Esai 5.000 kata itu berhasil terkirim. Aku bersandar ke kursi, napas lega.

Sekarang, tinggal menunggu hasilnya.

Aku menutup laptop dan mulai berjalan keluar dari perpustakaan. Malam sudah menjelang, dan suasana kampus mulai sepi. Aku berharap bisa kembali ke kamar sewa, mandi, dan memproses semua informasi ini sebelum Pak Arka memanggilku untuk sesi latihan debat.

Ketika aku melewati tempat parkir yang remang-remang, tiga sosok pria berbadan besar menghadang jalanku. Mereka mengenakan jaket kulit hitam, tidak terlihat seperti mahasiswa sama sekali. Wajah mereka keras dan dingin.

“Amara Nasywa?” tanya pria di tengah, suaranya serak dan mengandung ancaman.

Aku merasakan adrenalin membanjiri sistemku. Penagih utang. Mereka tidak menunggu esai itu menang.

“Ya, saya Amara,” jawabku, mencoba terlihat setenang mungkin. Kinara sudah berjanji untuk tidak lari lagi.

Pria itu tersenyum lebar, senyum yang sama sekali tidak ramah. “Kami dengar Anda sekarang adalah bintang baru kampus, Amara. Pintar berdebat tentang Oligarki dan kekerasan struktural. Sayangnya, kepintaran tidak membayar utang.”

Pria di sampingnya menunjukkan ponselnya. Layarnya menampilkan notifikasi aplikasi pinjaman online, dengan nama Amara Nasywa di atasnya, dan status 'Jatuh Tempo: 1 Jam yang lalu'.

“Bos kami mengirimkan kami ke sini untuk memberikan Anda tawaran terakhir. Bayar cicilan malam ini, atau kami akan memastikan seluruh kampus tahu bahwa si Antagonis Terbuang kembali ke kebiasaan lamanya. Kami akan mulai dengan mengirimkan surat penagihan ke alamat Pak Dosen Sosiologi Kritis kesayangan Anda.”

Ancaman itu langsung menusuk ke inti rencanaku. Jika Pak Arka (Target 1) diseret ke dalam masalah utang pribadiku, aliansi kami akan runtuh sebelum sempat terbangun. Ini bukan lagi ancaman fisik, tetapi ancaman terhadap kredibilitas dan misiku.

“Berapa yang kalian inginkan?” tanyaku, mencoba mengulur waktu.

“Rp 10 juta, dan biaya penalti Rp 2 juta. Total Rp 12 juta. Malam ini,” jawab pria itu, mencondongkan tubuh ke depan, baunya menusuk hidungku. “Di mana kau menyembunyikan uang itu, Nasywa? Kami tidak punya waktu untuk permainan debatmu.”

Kinara terdiam. Uang itu belum ada. Uang itu tergantung pada pengumuman pemenang esai yang mungkin baru keluar besok.

“Saya tidak punya uang tunai sekarang. Beri saya waktu 24 jam,” pintaku.

Pria itu menggeleng, lalu tertawa kecil. “Tidak ada 24 jam, Amara. Hanya ada dua pilihan: Malam ini, atau besok pagi, Pak Arka akan tahu betapa buruknya reputasi Anda. Dan itu akan lebih buruk dari IPK 0.9.”

Saat Kinara merasa terpojok dan mencoba memikirkan cara melarikan diri, suara lain yang dingin dan menusuk tiba-tiba memecah keheningan parkiran.

“Saya rasa Anda harus memilih pilihan ketiga: Pergi sekarang, atau saya panggil keamanan kampus dan juga polisi,” ujar sebuah suara dari kegelapan di balik tiang beton parkiran.

Sosok itu melangkah maju. Itu adalah Rendra (Target 2), Ketua BEM yang efisien dan otoriter, menatap penagih utang dengan tatapan tajam yang tidak mentolerir kekacauan.

Kinara membeku. Rendra, musuh terbesarku di kampus, baru saja menyelamatkanku dari penagih utang.

1
Tara
ini system kok kaga bantuin. kasih solusi kek bukan cuman ngancam aja🤭😱🫣
Tara: betul betul betul...baru kali ini ada system absurd😱😅🤔🫣
total 2 replies
Deto Opya
keren sekali
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!