Kakak macam apa yang tega menjual keperawanan adiknya demi melunasi utang-utangnya?
Di wilayahku, aku mengambil apa pun yang aku mau, dan jelas aku akan mengambil keperawanan si Rainn. Tapi, perempuan itu jauh lebih berharga daripada sekadar empat miliar, karena menaklukkan hatinya jauh lebih sulit dibandingkan menaklukkan para gangster di North District sekalipun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kitchen Island
...୨ৎ R E M Y જ⁀➴...
Sementara Big Jonny sama Bobbie lagi mengurus mayatnya, aku duduk di belakang meja kerja, capek banget.
Aku usap wajahku pelan, mengeluarkan dengusan kesal. Aku enggak bermaksud kasar ke Rainn tadi, tapi telepon itu datangnya di waktu yang benar-benar salah.
Dia terdengar takut banget.
Aku geleng-geleng kepala, berpikir keras bagaimana caranya biar dia enggak pernah lagi melihatku seperti monster.
Big Jonny balik ke kantor, mukanya datar seperti biasa. “Kamu mau aku ngapain sama barang-barang itu?”
“Siram,” jawabku pendek.
Jeremy, salah satu bartender, mencuri tiga puluh juta buat beli narkoba.
Bodoh banget.
Dan seperti yang sudah aku bilang sebelumnya, aku bukan tipe orang yang kasih kesempatan kedua. Tapi pikiranku malah melayang ke Rainn. Suara dia di telepon tadi, gemetar, ketakutan.
Aku belum pernah pacaran, apalagi menikah. Jadi ini semua wilayah baru buat aku. Hubungan terlamaku saja cuma sama Benny dan Big Jonny, dan mereka berdua jelas bukan tipe yang butuh diperhatikan perasaannya.
Aku tertawa sendiri dengar pikiran bego itu. Sekarang aku punya istri yang lembut dan penakut, dan anehnya, hal itu bikin aku merasa campur aduk. Bikin aku penasaran, tapi juga bikin takut.
Aku harus lebih sabar sama Rainn. Enggak bisa terus merespons dia seperti aku merespon anak buah. Tapi masalahnya, bagaimana caranya?
Aku enggak pernah dikenal sebagai orang yang baik hati.
Big Jonny duduk di kursi depan mejaku, memperhatikanku lama. “Kamu kelihatanya mikir berat banget.”
Aku mendesah. “Masalah rumah tangga.”
Dia angkat alis, terus bertanya, “Boleh aku jujur?”
Aku mengangguk, kasih isyarat biar dia bicara.
“Kamu tadi enggak sengaja udah bentak Rainn waktu dia nelepon. Kamu harus minta maaf.”
Aku meliriknya, tapi Big Jonny enggak bergeming.
“Jangan bunuh aku dulu,” lanjutnya,“Tapi kamu emang harus mulai belajar lebih lembut, Bos. Dia bukan salah satu anak buahmu.”
Aku menyipitkan mata. “Lembut? Aku?”
Dia mengangguk yakin. “Di luar sini kamu Bosnya, tapi di rumah, kamu suaminya. Dua hal yang beda banget.”
Aku terbahak-bahak, geleng-geleng kepala. “Kalau aku terlalu lembek, dia bakal ngelunjak.”
“Enggak,” katanya tenang. “Kalau kamu terlalu keras, dia enggak bakal pernah bisa cinta sama kamu.”
Kata-kata itu menusuk banget.
Dia condong dikit ke depan. “Ingat. Kamu pilih dia karena dia polos, karena dia beda sama dunia kamu. Jangan ubah dia jadi orang seperti kita. Kalau kamu pingin dia tetap kayak gitu, bikin dia ngerasa aman.”
Aku menyeringai. “Sejak kapan kamu jadi pakar percintaan, ha?”
Dia menyeringai balik. “Aku belajar dari nonton film romantis.”
Aku enggak bisa tahan tawa. Jarang banget aku tertawa tulus seperti ini. Akhirnya aku berdiri, melambai ke arah pintu. “Ayo, kita ke restoran.”
Hari itu aku benar-benar berusaha keras buat jadi suami yang baik. Aku pulang jam lima, ingin menghabiskan waktu bersama Rainn biar kami bisa saling kenal lebih jauh.
Saat aku enggak menemukan dia di ruang tamu, aku naik ke kamar utama, kosong juga. Aku mandi, ganti baju santai (celana olahraga sama kaos). Begitu keluar kamar, aroma masakan langsung menyerbu hidungku.
Gila, wanginya bikin aku ingin senyum.
Aku jalan ke dapur. Di sana Benny duduk santai di Kitchen Island, sementara Rainn berdiri di depan kompor, punggungnya menghadap ke aku.
Aku taruh jari telunjuk di bibir, menyuruh Benny diam. Dia menangkap maksudku, terus dia bilang ke Rainn, “Aku keluar bentar, ya.”
Beberapa detik kemudian, Benny muncul lagi di ruang tamu bersamaku.
“Gimana dia?” tanyaku.
“Kayaknya hari dia berat banget,” jawab Benny. “Sejak telepon tadi, dia jadi gugup, bahkan belum buka HP barunya dari kotak.”
Aku mengangguk pelan. “Aku yang bakal urus.” Aku melirik ke pintu depan. “Kamu boleh pergi sekarang.”
Benny mengerti, mengangguk singkat, terus pergi.
Aku balik ke dapur, bersandar di dinding, tangan bersilang di dada. Dari situ, aku cuma diam, memperhatikan Rainn lagi mencicipi saus pelan-pelan. Gerakannya hati-hati banget, seperti takut salah.
Dan entah kenapa pemandangan itu bikin dadaku hangat.
Senyum kecil muncul di bibirnya waktu dia menceletuk, “Sempurna.”
Aku dorong tubuhku menjauh dari tembok dan jalan ke arahnya. Begitu sampai di belakang, dia tengok ke samping, terus langsung menjerit kecil dan spontan mundur buat menghindariku. Tapi dia malah kehilangan keseimbangan.
Refleks, aku pun langsung tangkap dia sebelum jatuh. Secara naluriah, aku tarik dia ke dadaku, tanganku enggak sengaja melingkar di pinggangnya.
Dia diam di pelukanku, napasnya pelan tapi terdengar jelas di antara kita.
Beberapa detik kemudian, dia berbisik, “Maaf. aku enggak tahu kamu udah pulang.”
Aku angkat tangan, sentuh dagunya, dan mendongakkan wajahnya biar matanya bertemu sama mataku. Lalu dengan nada santai, aku bilang, “Kasih aku ciuman dulu, halooo.”
Waktu bibirnya menyentuh pipiku, ada sensasi aneh, rasanya hangat di dadaku.
Aku bukan Boss di sini. Aku suaminya.
Rainn langsung mundur dan fokus lagi ke kompor. “Juwiie bilang kamu jarang banget pulang buat makan malam.”
Aku tatap wajahnya yang pucat. “Itu dulu. Sebelum aku nikah.”
“Oh.”
Dia melirik antara aku sama kompor sebelum akhirnya bertanya, “Kamu udah makan?”
Aku geleng-geleng. “Apa pun yang kamu masak, baunya gila ... enak.”
Dia senyum tipis, lalu balik lagi ke kompor. “Aku masak Dim Sum sama Ayam Jamur Saus Tiram.”
“Kedengeran keren.” Aku duduk di Kitchen Island, menyeringai. “Benny bilang kamu enggak mau buka HP barunya?”
Dia langsung kaku lagi. Tatapannya menempel di panci, terus menjawab dengan lirih, “Mahal. Aku bilang ke dia, mending beli yang lebih murah.”
“Rainn.” Aku tepuk pahaku sambil suruh dia melihat. “Sini, duduk bentar.”
Alisnya naik, tapi dia tetap nurut. Waktu dia duduk di pangkuanku, aku bisa merasakan tubuhnya tegang. Aku sentuh lagi dagunya, angkat wajahnya supaya dia tahu kalau aku serius.
“Aku enggak bakal nyakitin kamu.”
Dia tahan tatapanku sebentar sebelum jawab, “Maaf soal telepon itu. Aku—”
“Enggak apa-apa," potongku.
Aroma bunga dari rambutnya pun langsung menyerang hidungku, dan aku hampir menciumnya. Tapi aku tahan.
Gila.
Aku benar-benar benci aturan ‘Enggak ada ciuman’ ini.
Aku hela napas panjang. “Apa yang bisa aku lakuin biar kamu lebih nyaman sama aku?”
Dahinya langsung berkerut. “Aku cuma butuh waktu. Aku bakal coba lebih baik nanti.”
Aku elus pipinya, menunduk sedikit biar jarak kita makin tipis. “Kamu udah baik. Aku nanya karena aku pingin semuanya jadi lebih gampang buat kamu.”
“Oh.” Alisnya merapat, matanya melihat ke seluruh wajahku. “Mungkin … bakal lebih gampang kalau aku tahu apa yang boleh dan enggak boleh aku lakuin. Biar enggak bikin kamu marah.”
Biasanya, hal kayak begitu bisa bikin aku kesal. Tapi entah kenapa, sekarang aku malah merasa sabar banget.
Aku geleng pelan. “Aku enggak marah sama kamu.”
Dia terlihat agak lebih rileks, jadi aku tanya lagi pelan, “Apa yang bisa aku lakuin biar kamu lebih nyaman sama aku?”
Dia ambil napas panjang, “Mungkin … bisa enggak jangan bersikap menyeramkan?”
Senyum kecil langsung muncul di wajahku. “Oke. Aku fokus ke situ dulu. Apa lagi?”
Sama seperti malam sebelumnya, dia melihatku dengan ekspresi bingung. Tapi entah kenapa, waktu aku tersenyum, matanya mulai agak melunak.
“Senyum itu … lumayan membantu,” katanya lirih.
“Berarti aku harus sering senyum,” jawabku santai. “Apa lagi?”
Rainn memiringkan kepalanya sedikit, matanya memperhatikanku. Terus, pelan-pelan banget, dia melingkarkan lengannya di leherku dan tarik aku ke pelukannya.
“Pelukan itu enak,” bisiknya. “Pelukan bikin aku merasa lebih tenang.”
Aku reflek balas peluk dia erat. Erangan kecil lolos dari dadaku.
“Eh. Makanannya bisa gosong,” bisiknya.
Aku tertawa, lalu dengan berat hati melepas dia.
Masih ada kewaspadaan di matanya, tapi kali ini dia enggak sekaku tadi waktu aku baru pulang.
Aku berdiri di situ, memperhatikan dia melanjutkan masakannya.