Ketika Maya, pelukis muda yang karyanya mulai dilirik kolektor seni, terpaksa menandatangani kontrak pernikahan pura-pura demi melunasi hutang keluarganya, ia tak pernah menyangka “suami kontrak” itu adalah Rayza, bos mafia internasional yang dingin, karismatik, dan penuh misteri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Keluar dari kamar mandi, aku pakai piyama dan mulai mengeringkan rambut dengan handuk. Aku mengibaskan rambut panjangku yang cokelat untuk memastikan apakah masih basah sebelum meraih hair dryer. Tapi sebelum tanganku sempat menyentuhnya, aku dengar ketukan pelan di pintu dan suara Bibi yang akrab memanggil dengan sopan.
"Nona Maya…"
Sudah malam. Kukira Bibi sudah kembali ke kamarnya. Ada apa, ya? Soalnya, tidak biasanya beliau mengetuk pintu kamarku. Aku meletakkan pengering rambut dan berdiri, lalu berjalan ke arah pintu.
"Halo, Bi. Ada perlu apa?" tanyaku sambil tersenyum saat membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan.
"Umm… sebenarnya…" ujar Bibi pelan, pandangannya gelisah, matanya menoleh ke kiri dan kanan.
"Minggir. Maya, ke sini," ucap suara berat yang langsung membuatku merinding. Sebuah tangan muncul, mendorong Bibi perlahan ke samping dan menjauh dari pintuku.
Rayza?!
"Rayza…" bisikku kaget, nyaris tidak percaya dengan apa yang kulihat.
Apa yang Rayza lakukan di sini?
"Kenapa cuma berdiri di situ? Dengar nggak?!" bentaknya tajam.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku, masih bingung dan syok.
"Menangkapmu. Bukannya itu sudah jelas? Keluar sekarang juga," perintahnya datar, tapi tegas.
Aku terdiam, shock, saat tangannya yang besar mencengkeram lenganku dan menarikku keluar dari kamar.
"Maumu apa sih?!" bentakku.
Pegangannya di lenganku memang tidak menyakitkan, tapi cukup kuat untuk membuatku tak bisa melepaskan diri. Aku bingung, apa sebenarnya yang dia inginkan dariku? Rayza mengenakan celana jeans, kemeja putih, dan jaket kulit hitam. Dari penampilannya, dia sepertinya baru datang dari luar.
Aku bisa merasakan tatapannya menyapu seluruh tubuhku, dari atas sampai bawah. Aku langsung kaku. Rasanya seperti kulitku terbakar karena sorot matanya, dan jantungku berdetak makin kencang. Tangannya yang masih menempel di lenganku juga terasa panas.
Barulah saat itu aku sadar aku hampir tidak pakai apa-apa.
Karena kupikir mau langsung tidur, aku cuma pakai kamisol satin v-neck warna pink muda dan celana pendek senada, lengkap dengan renda putih di pinggirannya. Jelas, aku tidak memakai pakaian dalam di baliknya. Rambutku masih basah setelah keramas dan belum sempat dikeringkan.
Kain tipis satin itu tidak menyembunyikan lekuk tubuhku dari dada, pinggang, sampai pinggul. Refleks, aku melipat tangan satunya di dada, mencoba menutupi diri, sambil melotot ke arah Rayza.
Dia jelas terhibur melihat reaksiku dan keadaanku saat itu. Rayza tersenyum jahil ke arahku, seolah-olah dia baru saja merencanakan sesuatu yang licik.
"Aku baru mutusin apa yang aku pengen..." kata Rayza pelan, seperti ngomong ke dirinya sendiri.
Tanpa bilang apa-apa lagi, Rayza langsung menarik lenganku dan mulai menyeretku mengikutinya. Langkah kakinya yang panjang bikin aku kesulitan ngikutin, sampai-sampai aku harus setengah lari kecil biar bisa sejajar.
"Kamu mau bawa aku ke mana sih?" tanyaku panik.
Aku sempat melihat tatapan Bibi ke arahku, tapi dia nggak bilang apa-apa dan malah balik ke dalam rumah waktu lihat kami pergi bareng.
"Tenang aja. Kita cuma mau nonton film... berdua," jawab Rayza santai.
Nonton film... sekarang juga?
Sesuai omongannya, dia mulai menarikku ke arah ruang teater rumah. Aku tahu di dalamnya ada layar besar, sofa empuk... dan ranjang. Waktu pertama kali Bibi nunjukin aku isi penthouse ini, aku sempat mikir, kenapa di ruang teater harus ada ranjang king size segala, padahal udah ada kursi dan sofa.
Dan sekarang aku mau masuk ke sana bareng Rayza? Aku nggak mau tahu...
"Bisa nggak... lain kali aja?" tanyaku penuh harap.
"Kamu ngejawab aku barusan?" tanya Rayza balik, sambil ngangkat satu alis ke arahku.
Sial… peraturannya…
Aku benci aturan itu. Aku benci dia... tapi aku juga nggak mau kena hukumannya...
Tanpa sepatah kata pun, Rayza mendorong pintu ruang teater dan menarikku masuk. Pintu langsung tertutup otomatis di belakang kami, terdengar bunyi klik. Apa barusan pintunya ngunci?
Ruang teater itu dingin, dan bajuku yang tipis sama sekali nggak membantu. Lenganku dan sebagian besar kakiku terbuka.
Akhirnya Rayza ngelepas lenganku dan jalan ke sofa, lalu duduk santai.
"Sini, Maya," katanya sambil menunjuk-nunjuk dengan jarinya, nyuruh aku buat duduk bareng dia di sofa.
Aku menelan ludah, lalu dengan ragu mengikuti Rayza ke sofa. Ia menepuk-nepuk bagian kosong di sebelahnya, jelas memberi isyarat bahwa ia ingin aku duduk di situ. Aku pun duduk di sampingnya, berusaha keras untuk tetap menunduk dan menatap pangkuanku sendiri. Aku bisa merasakan tatapan Rayza mengarah ke wajahku, tapi aku sama sekali tak sanggup membalas tatapannya.
"Mau nonton film apa?" tanya Rayza santai sambil mulai menggulir daftar rekomendasi film di layar TV yang besar.
"Emangnya kamu nggak punya rencana?" tanyaku balik. Maksudku, dia ‘kan yang ngajak aku nonton... atau lebih tepatnya, nyeret aku ke sini.
"Kamu aja yang pilih," jawabnya sambil melemparkan remote ke arahku.
Hebat. Rayza malah fokus ngeliatin aku, bukannya layar TV. Seolah-olah filmnya nggak penting sama sekali buat dia. Aku harus pilih yang mana? Jujur aja, aku bahkan nggak niat nonton apa pun, apalagi bareng dia.
"Gimana kalau yang ini?" tanyaku sambil menunjuk salah satu film aksi fiksi ilmiah yang katanya punya efek CGI keren.
Aku nggak pilih film itu karena tertarik, tapi karena, dari semua yang muncul di rekomendasi, itu yang durasinya paling pendek. Semakin cepat selesai, semakin cepat juga aku bisa pulang, kan?
"Boleh-boleh aja..." jawab Rayza tanpa menoleh ke layar, dan aku mulai merasa ada yang aneh.
Aku pencet tombol play, dan film pun mulai. Sama kayak Rayza, aku juga nggak benar-benar peduli sama filmnya, tapi pura-pura nonton biar nggak canggung. Di kepalaku, aku terus mikir: sebenarnya dia mau apa sih? Kenapa juga sampai repot-repot narik aku ke sini?
Aku duduk kaku sambil terus menatap layar. Rayza juga diam aja, nonton tanpa komentar. Beberapa saat kemudian, dia mendesah, terdengar agak bosan, lalu tiba-tiba menoleh ke arahku.
"Geser ke sana dikit..." katanya sambil menunjuk ujung sofa yang lain.
Aku agak bingung juga, tapi dia nyuruh aku duduk agak jauh darinya, dan jujur aja, aku nggak keberatan. Duduk deket-deket dia, sementara aku cuma pakai baju tipis begini, bikin aku nggak nyaman dan makin gugup.
Aku langsung geser ke ujung sofa yang satu lagi, bersandar di sandaran tangan. Tapi rasa lega itu nggak bertahan lama.
"Rayza… apa yang kamu lakukan?" tanyaku pelan dengan napas tercekat saat mataku membelalak kaget.
Rayza berbaring telentang di sofa dengan kepalanya di pangkuanku. Apa ini alasan dia memintaku untuk mendekat?
"Pakai pangkuanmu sebagai bantal pribadi... apalagi?" jawab Rayza santai sambil memejamkan mata.
"Terus… filmnya gimana?" tanyaku tak percaya.
Apa dia benar-benar berniat tidur di pangkuanku sementara filmnya masih menyala keras begini?
"Kamu aja yang nonton…" sahutnya acuh tak acuh.