NovelToon NovelToon
Kepincut Ustadz Muda: Drama & Chill

Kepincut Ustadz Muda: Drama & Chill

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Enemy to Lovers
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Ayusekarrahayu

Maya, anak sulung yang doyan dugem, nongkrong, dan bikin drama, nggak pernah nyangka hidupnya bakal “dipaksa” masuk dunia yang lebih tertib—katanya sih biar lebih bermanfaat.

Di tengah semua aturan baru dan rutinitas yang bikin pusing, Maya ketemu Azzam. Kalem, dan selalu bikin Maya kesal… tapi entah kenapa juga bikin penasaran.

Satu anak pembangkang, satu calon ustadz muda. Awalnya kayak clash TikTok hits vs playlist tilawah, tapi justru momen receh dan salah paham kocak bikin hari-hari Maya nggak pernah boring.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayusekarrahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 17 Haters Baru

Setelah insiden dramatis di kandang ayam itu, Maya jadi super kikuk. Sepanjang jalan kembali ke asrama, Rara terus menggoda dengan tawa khasnya.

“May, sumpah… tadi muka kamu merahnya kayak kepiting rebus. Kayak orang lagi jatuh cinta, astagaaa!”

Maya mendengus, berusaha menutupi rasa malunya dengan gaya nyolot. “Halah! Itu namanya refleks tubuh normal. Masa iya gue jatuh nggak ada yang nolong? Tuh ustadz kan kebetulan aja deket. Lagian kalo bukan dia, ayam-ayam juga pasti udah nolongin gue.”

“Yaelah, May… ayam bisa tolong apaan. Paling juga ikutan panik.” Rara makin tertawa keras, membuat Maya semakin jengkel.

.....

Beberapa jam kemudian, semua santri selesai mandi dan melaksanakan sholat Dzuhur berjamaah. Setelah itu halaman pondok penuh dengan suara riuh: syukuran hasil panen dimulai.

Hidangan telur berjajar di meja panjang. Aroma gurih dadar, balado pedas, sampai telur asin membuat suasana semakin ramai. Para santri makan dengan lahap, sebagian bahkan bernyanyi bersama sambil mengetok-ngetok gelas plastik.

Maya duduk di pojokan, menatap malas piring berisi telur rebus. Ia menyoleknya menggunakan sendok sambil mendengus. “Ya Allah… menu gue kayak pasien rumah sakit, rebus rebus rebus.”

Zahra menyolek bahunya, “Udah syukur, May. Nih liat si Dewi, makan sampe lima butir tuh.”

“Dia sih udah kayak ular naga, bisa nelan apa aja,” Maya membalas ketus, membuat Dewi protes sambil tertawa.

Tiba-tiba saja Azzam muncul. Ia menaruh sepiring telur dadar hangat di depan Maya. “Buat kamu. Katanya nggak suka yang direbus, kan?” ucapnya singkat, lalu berlalu.

Seketika meja itu jadi sorak sorai.

“Wooo, spesial! Spesial!”

“Ustadz Azzam peduli banget tuh sama Maya!”

Maya panik, buru-buru menutupi wajahnya dengan piring. “Heh-heh-heh! Udah diem lo semua! Ini pasti kerjaan Rara kan nyebarin gosip!”

Rara angkat tangan pura-pura polos. “Eh sumpah, kali ini bukan aku. Emang ustadznya sendiri yang manis banget ke kamu, May.”

Maya menutup wajah dengan piring, pipinya merah padam. Ia bisa mendengar suara santri lain bersorak makin heboh.

“Cieee… ustadz favorit kasih menu spesial!”

“May, nanti kalo nikah, catering-nya pasti telur dadar semua ya!”

“Waduh, jangan-jangan tiap subuh Maya dapet sarapan VIP.”

“ASTAGAAA MULUT KALIAN!!!” Maya meledak, menaruh piring ke meja dengan suara gedebuk. “Gue sumpahin lo semua mimpi dikejar ayam kampung!”

Semua tertawa nyaring, termasuk Dewi dan Zahra yang sampai tepuk-tepuk meja.

Tak jauh dari sana, Azzam hanya melirik sebentar sambil tersenyum tipis. Ia sedikit menyesali tindakan impulsifnya itu, lalu kembali mengobrol dengan ustadz lain. Senyum itu justru membuat Maya semakin salah tingkah.

Ia buru-buru menyambar telur dadar pemberian Azzam, mencoba menutupi kegugupannya dengan nyolot. “Yaudah lah, mumpung ada, gue makan aja. Daripada lo semua bacot mulu. Nih, lihat!”

Maya menggigit telur dadar itu dengan gaya sok cuek. Tapi begitu rasa gurihnya memenuhi mulut, matanya melebar. “Ya Allah… enak banget. Kayak bukan telur biasa. Ini sih… level bintang lima!”

Rara langsung nyeletuk, “Cieee, rasa cinta tuh May yang bikin tambah gurih!”

Dewi menimpali sambil ngakak, “Besok kalo Ustadz Azzam masak mie instan buat lo, jangan-jangan rasanya kayak ramen Jepang.”

Maya hampir keselek. Ia buru-buru minum air sambil berteriak, “Gue sumpahin lo semua lidahnya kebakar cabe rawit satu kilo!”

Santri lain makin ribut, suasana syukuran berubah jadi tontonan penuh candaan. Tapi di balik semua itu, ada satu hal yang Maya nggak bisa pungkiri: jantungnya memang berdetak lebih cepat dari biasanya.

Dan tanpa ia sadari, dari kejauhan Nadia memperhatikan dengan tatapan tajam. Senyum anggun tapi dingin terukir di bibirnya, seolah-olah ia baru saja menemukan alasan untuk bergerak.

Siang itu, setelah perut kenyang dan tawa riuh sedikit mereda, para santri diberi pengumuman kalau hari ini mereka bebas kelas. Ustadzah Amira tersenyum sambil berkata,

“Karena hari ini minggu dan kalian sudah bekerja keras di panen, silakan gunakan waktu sebaik-baiknya. Mau main, mau istirahat, silakan. Tapi jangan lupa batasannya, ya.”

Sorak-sorai langsung terdengar lagi.

“YEAAAYYY!”

“Main ke danau yuk!”

“Beli jajanan duluuu!”

Rara, Zahra, Dewi, dan Sinta langsung heboh mengatur rencana.

“May, ikut nggak ke warung? Katanya ada es cendol enak banget!” tanya Sinta.

Maya mengibaskan tangan, malas. “Kalian aja deh. Gue lagi males rame-rame. Gue mau jalan-jalan aja ke arah danau, sekalian cuci mata. Nanti ketemu di sana.”

“Be careful ya, princess,” sahut Rara dengan nada menggoda, membuat Maya menjulurkan lidah.

Maya berjalan sendirian menuju tepian danau kecil di dekat pondok. Angin siang bertiup sejuk, air berkilau diterpa cahaya matahari. Suasana tenang membuat Maya refleks menarik napas panjang.

“Hmm… enak juga ya, nggak berisik,” gumamnya, sambil duduk di batu besar pinggir danau.

Namun ketenangan itu tak bertahan lama. Dari arah jalan setapak, terdengar langkah kaki beberapa orang. Maya menoleh dan matanya langsung membelalak.

Azzam berjalan santai sambil menenteng botol minum, ditemani dua ustadz muda lainnya. Tapi yang membuat Maya tercekat, di sisi lain Nadia juga datang bersama dua senior santriwati: Sinta dan Putri. Gayanya anggun seperti biasa, dengan senyum tipis penuh percaya diri.

Maya buru-buru menunduk, berusaha tak menarik perhatian. Tapi justru Azzam yang lebih dulu melihat. Ia berhenti sejenak lalu menghampiri Maya.

“Kamu sendirian? Teman-temanmu ke mana?” tanyanya tenang.

Maya mencoba sok cuek. “Heh… iya, mereka pada jajan. Saya sih mager. Males rame-rame.”

“Bagus. Kadang kita butuh juga waktu sendiri,” jawab Azzam singkat sembari duduk tak jauh dari Maya.

Maya nyaris salah tingkah, tapi berusaha keras mempertahankan ekspresi datarnya. Jantungnya saja yang tidak bisa diajak kompromi.

Suasana di tepian danau sempat tenang, sampai Nadia melangkah anggun mendekat. Tatapannya hangat di luar, tapi dingin menusuk ke arah Maya.

Azzam yang duduk tak jauh dari Maya menoleh sopan. “Nadia.”

Nadia membalas senyum, tapi kemudian ucapannya terdengar jelas:

“Ustadz, bukankah kurang baik kalau duduk berduaan begini? Apalagi… dengan yang bukan mahram. Biar bagaimanapun, kita harus menjaga adab, kan?”

Suasana langsung canggung. Dua ustadz lain yang ikut bersama Azzam saling pandang, lalu cepat-cepat pura-pura sibuk menatap air danau.

Azzam terdiam sejenak. Pandangannya jatuh ke arah Maya, lalu ke arah Nadia. Dengan suara tenang ia berkata, “Kamu benar. Saya pamit dulu, ada yang harus saya cek.”

Ia pun berdiri, meninggalkan mereka. Kedua ustadz lain ikut beranjak, meski terlihat jelas dari raut wajah mereka ada rasa janggal.

Maya melongo, masih mencoba mencerna. “Heh, gue duduk sendirian di sini dari tadi, terus ustadznya yang nyamperin. Kok jadi gue yang kayak tersangka sih?”

Nadia tersenyum manis, menundukkan kepala sedikit. “Jangan salah paham. Aku hanya mengingatkan. Kan nggak enak kalau santri lain salah menilai.”

“Ah, iya, iya. Jadi maksud lo, gue yang salah gitu?” Maya menyilangkan tangan di dada, nada suaranya ketus.

Nadia tetap tenang, senyum anggun tak luntur sedikit pun. “Bukan salah. Hanya… terlalu cepat jadi pusat perhatian. Di sini, biasanya butuh waktu lama sebelum seorang santri bisa dikenal ustadz-ustadzah. Tapi kamu… unik sekali.”

Maya mencibir. “Unik apaan? Gue cuma orang biasa yang lagi apes jatuh di kandang ayam, terus kebetulan ditolongin. Emang semua orang jadi heboh sendiri. Gue nggak pernah minta.”

“Hmm…” Nadia mengangguk kecil, seakan sedang mengukur lawan bicaranya. “Kalau begitu, semoga kamu bisa jaga diri. Soalnya perhatian dari orang tertentu… bisa menimbulkan salah paham.”

Maya menatap balik, tak gentar meski agak panas kupingnya. “Santai aja, Mbak Senior. Gue nggak suka drama. Lagian gue di sini bukan buat cari perhatian siapa-siapa. Gue cuma pengen makan, tidur, belajar… udah gitu aja.”

Kedua temannya Nadia tersenyum miring, jelas menikmati situasi. Sementara Nadia tetap berdiri tegak, lalu berkata lembut, “Baiklah. Kalau begitu, selamat menikmati hari liburmu, Maya.”

Ia pun berbalik, melangkah pergi bersama para pengikutnya.

Begitu bayangan mereka menjauh, Maya langsung menghembuskan napas panjang. “Heran gue masih zaman ya taun gini geng-gengan begitu.… Lagian tuh cewek auranya kayak ratu lebah. Senyum, tapi kayak nggak ikhlas ngomongnya.”

.

.

✨️ Bersambung ✨️

1
Rian Ardiansyah
di tunggu part selanjutnya kak👍
Ayusekarrahayu
Ayooo bacaa di jaminnn seruuu
Rian Ardiansyah
di tunggu kelanjutannya nyaa kak
Tachibana Daisuke
Bikin syantik baca terus, ga sabar nunggu update selanjutnya!
Ayusekarrahayu: sudah up ya kak
total 1 replies
Rian Ardiansyah
wowww amazing
Rian Ardiansyah
ihh keren bngtttt,di tungguu kelanjutan nyaaaa kak😍
Ayusekarrahayu: makasiii😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!