Lian, gadis modern, mati kesetrum gara-gara kesal membaca novel kolosal. Ia terbangun sebagai Selir An, tokoh wanita malang yang ditindas suaminya yang gila kekuasaan. Namun Lian tak sama dengan Selir An asli—ia bisa melihat kilasan masa depan dan mendengar pikiran orang, sementara orang tulus justru bisa mendengar suara hatinya tanpa ia sadari. Setiap ia membatin pedas atau konyol, ada saja yang tercengang karena mendengarnya jelas. Dengan mulut blak-blakan, kepintaran mendadak, dan kekuatan aneh itu, Lian mengubah jalan cerita. Dari selir buangan, ia perlahan menemukan jodoh sejatinya di luar istana.
ayo ikuti kisahnya, dan temukan keseruan dan kelucuan di dalamnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 17
Api di tungku rumah keluarga An kembali menyala hangat. Aroma herbal bercampur dengan wangi kayu terbakar, membuat ruangan itu seolah jadi oasis kecil di tengah dunia yang penuh rahasia.
Pria misterius itu yang beberapa hari lalu tak lebih dari tubuh penuh luka di hutan kini sudah bisa duduk tegak tanpa harus terus bersandar. Tubuhnya masih kurus, wajahnya pucat, tapi sorot matanya mulai hidup. Ada api yang berbeda, api yang tidak pernah salah: api seorang pemimpin.
Lian duduk di kursi rendah, menuangkan ramuan ke dalam mangkuk tanah liat. Di sampingnya, Yuyan sibuk membersihkan sisa akar obat, sementara Chen Yun berdiri bersandar ke tiang, mengawasi dengan wajah waspada.
“Minumlah,” kata Lian singkat, mendorong mangkuk ke arah pria itu.
Pria itu menerima, menatap cairan hijau pekat, lalu menatap Lian. Bibirnya melengkung samar. “Tabib kecil, kau sudah membuatku minum ramuan pahit selama berhari-hari. Tidak takut kalau aku muak dan kabur?”
Chen Yun menggeram rendah. “Kalau kau kabur, itu justru memudahkan kami. Lebih sedikit masalah.”
Pria itu menoleh, menatap Chen Yun dengan tajam, lalu terkekeh pelan. “Kau benar-benar tidak suka padaku, bukan?”
“Benar.”jawab Chen Yun, jujur
“Bagus. Orang jujur sepertimu langka.” ujar pria itu
Lian menghela napas, lalu berkata datar, “Kalau kalian sudah selesai saling menatap seperti dua ayam jantan, lebih baik kau minum sebelum ramuan itu dingin.”
Pria itu tertawa kecil, lalu meneguk ramuan. Ia menelan pahitnya tanpa mengeluh, seakan sudah terbiasa. Setelah itu ia menaruh mangkuk, menatap Lian lama sekali.
“Aku sudah cukup lama di sini. Kau sudah tahu siapa aku sebenarnya, bukan?” ujar pria itu
Ruangan langsung sunyi. Yuyan berhenti membersihkan meja, Chen Yun menajamkan tatapannya, sementara Lian menegang.
Pria itu melanjutkan, suaranya pelan tapi mantap. “Namaku… Liu Ning.”
Yuyan mengerjap. Nama itu tidak asing. Ia pernah mendengar para pedagang asing membicarakan tentang seorang kaisar muda yang naik takhta dengan bijaksana, lalu menghilang setelah terjadi kudeta.
“Liu Ning…” Yuyan berbisik. “Kaisar dari negeri seberang itu?”
Pria itu menatap lurus. “Benar. Aku kaisar sah Dinasti Liu. Dan sekarang… aku hanyalah orang buangan.”
Chen Yun menghela napas berat, lalu menepuk dahinya. “Lian, kau benar-benar gila. Kau menyembunyikan kaisar jatuh di rumah keluargamu. Kalau istana tahu—”
“Aku tahu risikonya,” potong Lian cepat. “Tapi kalau aku tidak menolongnya, dia sudah mati di hutan. Dan kalau dia mati, sejarah akan dipenuhi kebohongan para pengkhianat.”
Chen Yun ingin membantah, tapi tatapan Lian terlalu tegas. Ia hanya bisa mengepalkan tangan.
Liu Ning tersenyum samar. “Kalian bertiga sudah tahu kebenarannya. Aku tidak akan memaksa kalian ikut menanggung bebanku. Tapi jika kalian mau… aku berniat merebut kembali apa yang menjadi milikku.”
Yuyan menelan ludah, matanya berbinar. “Nona sudah berjanji membantu. Dan aku juga… aku akan ikut. Sebisa yang aku mampu.”
Chen Yun mendengus. “Aku tidak pernah suka dengan politik. Tapi kalau Lian bersikeras, aku tidak bisa membiarkan dia masuk ke lubang naga sendirian.”
Liu Ning menatap mereka satu per satu, lalu menunduk dalam-dalam. “Kalau begitu… mulai hari ini, aku berutang hidup padamu, Lian. Dan pada kalian semua.”
----
Waktu Berjalan – Kekuatan yang Kembali
Hari-hari berikutnya berjalan cepat. Ramuan Lian dan ketekunan Liu Ning membuahkan hasil.
Pagi-pagi sekali, ia sudah berlatih berjalan di halaman belakang rumah keluarga An, ditemani Chen Yun yang memegang pedang kayu. Pada awalnya, Liu Ning bahkan kesulitan berdiri lebih dari lima langkah. Namun seminggu kemudian, ia sudah bisa menebas udara dengan pedang kayu tanpa terjatuh.
“Gerakanmu kaku,” komentar Chen Yun dingin. “Kalau musuh datang, kau mati sebelum sempat menarik napas.”
Liu Ning menghela napas, peluh bercucuran. “Aku memang bukan pendekar. Aku kaisar. Tugasku memimpin, bukan menebas.”
“Kalau begitu biarkan aku jadi pedangmu,” sahut Chen Yun.
Liu Ning menoleh, menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. “Baiklah. Aku akan mengingat kata-kata itu.”
Sementara itu, Lian tidak hanya menyiapkan ramuan penyembuh, tapi juga mulai membuat formula khusus, ramuan penguat tubuh yang bisa mempercepat pemulihan stamina. Ia menuliskan catatan, mengatur dosis, bahkan sesekali pergi jauh ke hutan untuk mencari bahan langka.
Yuyan, dengan wajah manis dan mulut cerewetnya, rajin ke pasar. Ia mendengar gosip dari para pedagang: tentang seorang kaisar muda yang hilang, tentang perebutan takhta yang kini dikuasai adiknya, tentang menteri-menteri yang menyebar kabar bahwa Liu Ning mati terbunuh.
“Semua orang percaya anda sudah mati tuan,” lapor Yuyan suatu malam. “Itu artinya kita punya keuntungan. Mereka tidak akan mencarimu secara terang-terangan.”
Liu Ning mengangguk. “Tapi bayangan mereka tetap ada. Aku yakin mata-mata akan sampai ke negeri ini. Kita harus bergerak sebelum kabar keberadaanku bocor.”
“Bergerak bagaimana?” tanya Chen Yun dengan nada menantang.
Liu Ning menatap mereka bertiga, wajahnya penuh tekad. “Membangun kekuatan dari awal. Orang-orang yang setia padaku di istana sudah habis, tapi dunia luas. Masih ada rakyat, masih ada jiwa-jiwa yang merindukan keadilan. Aku akan mulai dari sini.”
Lian tersenyum samar, lalu menunduk pada gulungan catatannya. “Aku sudah menyiapkan daftar ramuan dan persediaan. Jika kau ingin bergerak, kita harus sehat dan kuat lebih dulu. Aku akan memastikan itu.”
Liu Ning menatap Lian, matanya hangat. Dalam hati ia mendengar suara batinnya lagi:
“Cepatlah sembuh, Liu Ning. Aku percaya kau bisa merebut kembali apa yang hilang. Dan aku akan berdiri di sisimu, apa pun yang terjadi.” batin Lian
Senyum kecil muncul di bibir Liu Ning. Ia tidak menjawab, tapi tekadnya semakin mengeras.
----
Beberapa minggu kemudian, Liu Ning sudah bisa berjalan jauh tanpa bantuan. Otot-ototnya kembali terlatih, wajahnya mulai berisi, meski bekas luka di dada masih terasa.
Suatu malam, mereka berempat duduk di ruang obat. Gulungan kain peta terbentang di meja. Chen Yun menaruh batu kecil sebagai penanda, sementara Yuyan sibuk menulis catatan kecil dengan tinta.
“Kita butuh tiga hal,” kata Liu Ning mantap. “Pertama, orang-orang yang bisa dipercaya. Kedua, dana untuk membiayai perjalanan dan merekrut. Ketiga, jaringan untuk menghubungkan kita dengan mereka yang masih setia padaku di negeri seberang.”
Chen Yun mengangguk pelan. “Untuk orang-orang, kita bisa mulai dari sini. Aku punya kenalan para pengawal bayaran, orang-orang yang tidak terlalu peduli politik tapi bisa dibeli dengan harga tepat.”
“Dana bisa diatur,” sahut Lian cepat. “Keluargaku punya toko kain, perhiasan, dan tabib. Aku bisa sisihkan sebagian keuntungan untuk membeli obat dan persediaan.”
Chen Yun menoleh tajam. “Kalau keluargamu tahu, mereka bisa marah besar.”
“Aku tidak akan membahayakan mereka,” jawab Lian mantap. “Aku tahu batasnya.”
Liu Ning menatapnya lama. Ada rasa kagum sekaligus khawatir. Ia tahu Lian sudah terlalu jauh menaruh hatinya dalam urusan ini.
“Jaringan di negeri seberang… itu tugasku,” kata Liu Ning akhirnya. “Ada beberapa jenderal yang mungkin masih setia. Mereka tidak akan bergerak tanpa bukti aku masih hidup. Aku harus menemuinya sendiri.”
Yuyan mengangkat tangan kecilnya. “Kalau begitu, tugasku mendengar gosip. Aku bisa mencari tahu jalur pedagang asing yang menuju negeri seberang. Kita bisa ikut menyusup lewat mereka.”
Liu Ning tersenyum samar. “Baik. Maka mulai malam ini, kita bukan hanya penyembuh dan pedagang biasa. Kita adalah awal dari kebangkitan.”
Suasana ruangan menjadi tegang, tapi juga penuh harapan. Seolah api kecil di tungku tidak hanya menghangatkan tubuh, melainkan juga membakar semangat baru di hati mereka.
---
Malam semakin larut. Setelah rapat kecil itu bubar, Lian masih duduk sendirian di ruang obat. Tangannya sibuk merapikan ramuan, tapi pikirannya jauh melayang.
“Aku tidak tahu ke mana takdir ini akan membawaku… Tapi entah kenapa, aku merasa jalan ini memang jalanku. Liu Ning… aku ingin melihatmu kembali berdiri di singgasana, bukan hanya untukmu, tapi juga untuk semua orang yang percaya pada kebenaran.”
Ia tidak sadar, Liu Ning berdiri di pintu, mendengarnya. Senyum tipis muncul di bibirnya, lalu ia berbalik tanpa bersuara, membiarkan Lian tetap dalam lamunannya.
Dalam hati Liu Ning berkata, “Gadis ini… cahaya yang diberikan langit padaku. Aku tidak boleh mengecewakannya.”
Maka, roda takdir mulai bergerak. Dari rumah sederhana keluarga An, di sebuah kota kecil yang jauh dari pusat kekuasaan, perlahan lahir sebuah rencana besar rencana untuk mengembalikan seorang kaisar yang dikhianati, sekaligus menguji seberapa jauh seorang gadis bernama Lian berani menantang dunia.
Bersambung…
seorang kaisar yang sangat berwibawa yang akan menjadi jodoh nya Lian