Sequel "Dipaksa Menikahi Tuan Duda"
Cerita anak-anak Rini dan Dean.
"Papa..."
Seorang bocah kecil tiba-tiba datang memeluk kaki Damar. Ia tidak mengenal siapa bocah itu.
"Dimana orangtuamu, Boy?"
"Aku Ares, papa. Kenapa Papa Damar tidak mengenaliku?"
Damar semakin kaget, bagaimana bisa bocah ini tahu namanya?
"Ares..."
Dari jauh suara seorang wanita membuat bocah itu berbinar.
"Mama..." Teriak Ares.
Lain halnya dengan Damar, mata pria itu melebar. Wanita itu...
Wanita masa lalunya.
Sosok yang selalu berisik.
Tidak bisa diam.
Selalu penuh kekonyolan.
Namun dalam sekejab menghilang tanpa kabar. Meninggalkan tanya dan hati yang sulit melupakan.
Kini sosok itu ada di depannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ly_Nand, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Mengurung Dalam Wilayahnya
Tak terasa hari sudah hampir siang. Damar perlahan membuka matanya, merasakan hangat dan nyaman dari tangan yang bertengger di pipi serta kepalanya. Ia mendongak sedikit—melihat sosok Stasia yang terlelap dalam posisi duduk.
Dipandanginya wajah itu lama-lama. Lalu ia menggenggam tangan Stasia yang masih menempel di pipinya, seakan tak rela melepaskan.
Senyum tipis tersungging.
“Wajahmu… teduh seperti dulu,” gumamnya pelan. “Sekarang kamu semakin dewasa, bukan lagi Stacy gila yang sering bikin aku pusing. Tapi bersikaplah gila lagi di hadapanku… itu tanggung jawabmu. Karena kamu yang membuatku tak bisa melupakan sisi gilamu… dan karena kamu meninggalkanku tanpa pamit.”
Kepalanya masih nyaman di pangkuan Stasia. “Dan jangan dekat dengan pria lain. Dulu kamu sering bilang aku laki-laki paling tampan. Jangan coba-coba ingkari ucapanmu.”
Gerakan kecil Damar membuat tidur Stasia terganggu. Perlahan wanita itu mengerjapkan mata, mengumpulkan kesadarannya. Begitu sadar posisi mereka, Stasia langsung tercekat.
“Pak Damar…” suaranya bergetar, gugup.
“Ck.” Damar mendecak kesal. “Kita hanya berdua, kenapa panggilan itu lagi yang keluar?”
Stasia salah tingkah. Sisi tegasnya saat merawat Damar kini hilang, berganti canggung dan bingung. Ia tak tahu bagaimana harus bersikap.
Damar akhirnya duduk di sampingnya, menatap dalam ke arah Stasia. Tatapan itu membuat wanita itu makin salah tingkah, wajahnya memanas.
“Baiklah,” ucap Damar kemudian, nada suaranya kembali dingin. “Kalau kamu maunya formal, lakukan pekerjaanmu. Buat laporan evaluasi produk baru yang kita luncurkan di Paris bulan lalu.”
Ia bangkit, berjalan menuju kursi kerjanya. Suasana kembali terasa seperti kantor biasa, meski jelas tidak biasa.
Belum sempat Stasia menjawab, Damar menambahkan, “Dan jangan berani-berani keluar dari ruangan ini. Kerjakan semua di sini.”
Stasia tertegun, bingung dengan perubahan sikap itu. “Tapi… saya butuh beberapa dokumen di meja saya, Pak.”
“Biar Abas yang mengambil. Beri tahu dia untuk mengambil dokumen itu.”
Stasia menghela napas panjang, agak kesal. “Baik, Pak. Saya akan minta bantuan Pak Abas.”
“Bagus. Jangan coba-coba turun ke ruanganmu.”
Wanita itu menunduk, lalu beranjak keluar. Dalam hatinya ia menggerutu, Apa demam bikin dia makin aneh? Kenapa harus melarang aku kerja di ruanganku sendiri?
Sementara itu, Damar menatap punggung Stasia yang menjauh. Tatapannya tajam, penuh niat tersembunyi.
Aku tidak akan membiarkanmu bertemu pria itu. Tidak boleh ada celah untuk kalian bersama. Seenaknya saja kalian mau weekend bareng.
Stasia bisa merasakan betapa tegang dan canggungnya bekerja di ruangan Damar. Meski ini bukan pertama kalinya ia berada di sana, entah kenapa Damar yang sekarang terasa berbeda—seakan menyimpan aura dingin dan mematikan yang membuat udara ruangan lebih berat dari biasanya.
Tok… tok… tok…
“Masuk,” sahut Damar lantang.
Pintu terbuka. Abas melangkah masuk, sedikit menundukkan kepala memberi hormat.
“Ini dokumen yang diperlukan Bu Stasia,” ujarnya sambil menyerahkan map ke arah Stasia.
“Terima kasih, Pak Abas,” jawab Stasia singkat.
Kemudian Abas bergerak ke arah meja kerja Damar. “Dan ini, Pak. Ada beberapa desain baru yang perlu persetujuan Anda.”
Damar menerima map tersebut tanpa banyak bicara, hanya mengangguk. “Pergilah. Aku akan lihat nanti. Dan juga…” ia menambahkan setelah jeda, “…minta OB menyiapkan makan siang, dua porsi.”
“Baik, Pak.” Abas menunduk, lalu undur diri meninggalkan ruangan.
Stasia sempat mengernyit. Dua porsi? Untuk siapa? Apa mungkin setelah demam, selera makan Damar mendadak meningkat?
Tapi ia buru-buru menepis rasa penasarannya. Masih banyak pekerjaan yang harus segera ia selesaikan. Dengan menarik napas dalam, Stasia kembali fokus menatap dokumen di tangannya, berusaha mengabaikan aura mengintimidasi yang terus memancar dari sosok Damar di seberang meja.
Waktu demi waktu berlalu, hingga jam makan siang tiba. Ingin sekali Stasia meminta izin turun ke kantin, tapi melihat Damar yang begitu fokus dengan pekerjaannya—wajah dingin tanpa celah—membuatnya ragu untuk bersuara.
Perutnya terus berbunyi, tangannya refleks mengusap perut berulang kali. Ia begitu lapar. Tanpa sadar, Damar yang tampak sibuk sebenarnya sesekali melirik ke arahnya, memperhatikan tiap gerak-geriknya.
Diam-diam, Damar mengambil ponselnya dan mengetikkan sesuatu. Tak lama, terdengar ketukan di pintu.
“Masuk,” sahut Damar singkat.
Seorang OB masuk, membawa beberapa kotak makanan.
“Permisi, Pak Damar. Ini makan siang sesuai pesanan Anda.”
“Letakkan di tempat biasa,” jawab Damar tanpa menoleh.
Stasia yang duduk di sofa menoleh, matanya melebar takjub melihat banyaknya makanan yang ditata di meja.
“Banyak sekali… apa dia terlalu lapar sampai pesan sebanyak ini?” gumamnya lirih, hampir seperti berbicara pada diri sendiri.
Damar sempat menyunggingkan senyum tipis melihat ekspresi polos Stasia, tapi segera kembali menampilkan wajah datar ketika OB masih ada di ruangan.
“Semua sudah sesuai pesanan, Pak. Apa ada lagi?” tanya OB.
“Sudah cukup. Kembalilah.”
OB pun keluar setelah sedikit menunduk hormat.
Damar bangkit dari kursinya, lalu melangkah ke meja makan yang sudah penuh dengan hidangan.
“Apa kamu hanya akan duduk di sana dan memandangi makanan ini?” tanyanya dingin, tanpa menoleh ke arah Stasia.
Stasia terkesiap, ragu. “Apa… Pak Damar mau saya ke sana?” tanyanya hati-hati.
“Berhenti mengusap perutmu,” ucap Damar datar, “dan bantu aku menghabiskan hidangan ini.”
Wajah Stasia langsung memerah malu—ternyata ketahuan. Ia buru-buru menurunkan tangannya, tapi tak bisa menahan senyum kecil yang muncul. Ia memang lapar, dan ajakan itu seperti pertolongan.
Dengan langkah ringan, Stasia menghampiri meja makan. Damar sudah duduk rapi, sementara ia memilih kursi seberang. Ada rasa canggung, tapi juga lega.
Wajah sumringah Stasia membuat Damar kembali menahan senyum tipis. Apalagi ketika melihat matanya berbinar menatap aneka hidangan, seolah sedang melihat sesuatu yang begitu berharga.
“Makan apapun yang kamu mau,” ujar Damar datar, “dan jangan berisik. Itu akan mengganggu selera makanku.”
“Baik, Pak.” Stasia mengangguk cepat dengan wajah berbinar, nyaris seperti anak kecil diberi hadiah.
Damar mulai menikmati makanannya perlahan, tenang dan elegan. Sebaliknya, Stasia makan dengan lahap, penuh semangat setelah menahan lapar sejak pagi.
Yang tak disadari Stasia, Damar beberapa kali memperhatikan setiap gerakannya. Ia memperhatikan setiap suapan, bahkan senyum tipis tak jarang muncul di bibirnya. Ada sesuatu yang hangat dalam hatinya, meski wajahnya tetap menampilkan dingin yang tak berubah.
"Kemana kamu akan pergi akhir pekan besok?" tanya Damar tiba-tiba membuat Stasia yang baru meneguk minuman lantas tersedak.
Uhuk-Uhuk
Stasia menepuk dadanya pelan, berusaha menetralkan nafasnya. Apa lagi Damar tiba-tiba berdiri disampingnya dan mengelus tengkuknya.
"Apa kamu tidak bisa minum pelan-pelan?" Ucap Damar dingin masih dengan mengusap tengkuk Stasia.
"Maaf, Pak."
"Aku harap kamu ada waktu akhir pekan ini. Mama sangat ingin bertemu denganmu"