Melati, mantan atlet bola pingpong, menjadi tersangka pembunuhan sepupunya sendiri yang adalah lawan terakhirnya dalam turnamen piala walikota. Setelah keluar dari tahanan, ia dibantu teman baiknya, Aryo, berusaha menemukan pelaku pembunuhan yang sebenarnya.
Namun ternyata Melati bukan hanya menghadapi licik dan bengisnya manusia, namun juga harus berurusan dengan hal-hal gaib diluar nalarnya.
"Dia, arwah penuh dendam itu selalu bersamamu, mengikuti dan menjagamu, mungkin. Tapi jika dendamnya tak segera diselesaikan, dibatas waktu yang ditentukan alam, dendam akan berubah menjadi kekuatan hitam, dia bisa menelanmu, dan mengambil kehidupanmu!" seru nenek itu.
"Di-dia mengikutiku?!" pekik Melati terkejut.
Benarkah Aryo membantu Melati dengan niat yang tulus?
Lalu, siapa pelaku yang telah tega menjejalkan bola pingpong ke dalam tenggorokan sepupunya hingga membuatnya sesak napas dan akhirnya meninggal?
Mari berimajinasi bersama, jika anda penasaran, silahkan dibaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Adu Domba tentang Kebenaran
Aryo bergegas kembali ke laptopnya, "Siapa dia sebenarnya?!" pekiknya saat menyadari video yang ia lihat justru berpindah ke rekaman beberapa hari sebelumnya.
Aryo duduk, kembali fokus pada laptopnya, "Aku harus melihat, apa yang dia lihat!" ujarnya kembali memainkan rekaman yang sepertinya sengaja ingin ditunjukkan Bu Siska.
Sementara itu, Bu Siska yang berjalan kaki meninggalkan toserba itu, menyunggingkan senyum misterius di satu ujung ujung bibirnya. "Dasar anak bodoh!" lirihnya penuh dengan sorot mata yang penuh dengan ejekan.
Aryo semakin penasaran dan merasa ada yang janggal. "Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi," kata Aryo kepada dirinya sendiri, matanya terpaku pada layar laptop. Dia terus memainkan rekaman video itu, mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan di kepalanya.
Sementara itu, Bu Siska terus berjalan kaki meninggalkan toko itu, senyum misterius masih terukir di wajahnya. "Anak bodoh," ulang Bu Siska dalam hati, seolah-olah dia tahu sesuatu yang tidak diketahui Aryo.
Kemudian, Aryo menemukan sekelebat sesuatu tertangkap kamera, "Hm? Apa itu tadi?" Aryo memperlambat putaran videonya, lalu menghentikannya tepat di detik dimana sesuatu itu terekam. "Apa ini?" monolognya sembari fokus pada tangkapan layar itu.
Aryo memiringkan kepala, mencoba berpikir. "Lengan... seperti lengan seseorang," ucapnya mengambang.
"Tunggu, apa dia sengaja menghindari kamera? Sekali pun aku tak menemukan orang dengan gelang tangan itu!" pikirnya keras.
Aryo memperbesar tangkapan layar itu, dan terbelalak kemudian. "Ini bukan gambar gelang tangan, tapi ini gambar tatoo! Tatto bunga berwarna putih, seperti yang kulihat dalam mimpiku itu!"
Aryo semakin terobsesi dengan penemuan tato bunga putih itu. Dia terus mencari rekaman-rekaman lain, mencoba mencari tahu siapa orang yang memiliki tato itu dan apa hubungannya dengan mimpinya. Dia tidak sadar bahwa waktu berlalu begitu cepat dan Mika masih sendirian di rumahnya.
………
Di belakang gedung tua, tepatnya di pemakaman umum, Melati masih berdiri mencoba mencari kebenaran tentang dirinya sendiri. "Katakan, kenapa kau melakukan semua itu!" gertak Melati waspada.
Pram masih menikmati isapan tembakaunya, asap mengepul keluar dari kedua lubang hidung serta mulutnya. "Kau jangan melakukan apapun, dan berhentilah bertanya, bersabarlah sedikit lagi," ucapnya santai tak ada niat untuk menjelaskan apapun.
"Dan kau, terimakasih sudah mengunci dua arwah dalam tubuh gadis bodoh itu. Setelah ini, kalian harus berdamai, biar aku yang melanjutkan agar kalian hidup nyaman."
"Apa?! hidup nyaman?" ulang Melati menatap penuh kebencian. "Lalu kenapa kau membiarkanku dipenjara?!"
"Dan kau membiarkan ibuku mati perlahan!" imbuh Ega dengan ekspresi yang hampir sama.
Pram berdiri tegak, menyunggingkan senyum licik ke udara. "Hanya itu cara terbaik agar kalian tetap hidup!"
"Cih! Alasan yang tak masuk akal!" sergah Ega. "Lalu bagaimana dengan Nenekku, kenapa kau meninggalkannya malam itu?!"
Pemuda itu merasa kembali pada kenangan buruk, disaat ia bertarung menghadapi beberapa preman yang menghadang neneknya.
"Jangan bercanda, kau tahu waktu itu aku aku juga babak belur, situasi memaksaku memilih menyelamatkanmu atau nenekmu itu!" balas Pram tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Melati dan Ega saling menatap, keduanya merasa marah dan sakit hati. "Kau memilih menyelamatkan ku, tapi apa yang kau lakukan untukku setelah itu?" tanya Melati, suaranya penuh dengan emosi.
Pram mengangkat bahu, seolah-olah itu bukan urusan besar. "Aku melakukan apa yang aku pikir terbaik untuk kalian. Aku tidak ingin kalian terlibat dalam kehidupan yang sama sepertiku."
Ega tertawa sinis. "Kau tidak ingin kami terlibat? Kau sendiri yang membuat kami terjebak dalam kehidupan ini! Kau yang membunuh nenekku, dan kau yang membuat kami hidup dalam ketakutan!"
Pram menggelengkan kepala, senyum liciknya masih terukir di wajahnya. "Kalian tidak mengerti. Aku melakukan semua ini untuk kalian, untuk masa depan kalian,” ucap Pram tampak sangat santai, tanpa ekspresi sedikitpun.
"Sudahlah, jangan berdebat. Melati, kau sebaiknya bersiap pergi ke rumah kepala sekolah itu. Tapi ingat, jangan melakukan apapun yang bisa menarik perhatian dukun tua itu," ucap Pram kemudian.
"Ah, kau sudah mendapatkan cincin dari pemuda ingusan itu kan, pakai itu di jarimu, jangan hanya di kantongi, itu jimat yang akan menjagamu. Jika sesuatu terjadi, tidak perlu khawatir, aku ada di belakangmu!"
"Kau benar-benar licik!" seru Ega diantara rasa tak percaya. "Kau bahkan sengaja menggunakan Melati untuk mendapatkannya?"
Melati semakin terpukul dengan kenyataan itu, ia merogoh sakunya, mengeluarkan cincin pemberian Aryo, memandanginya dengan gemetar. "Kau... sudah mengatur semuanya? Lalu apa yang kau rencanakan pada Mika dan Aryo?!"
Tatapan Melati kembali gusar, ia membayangkan banyak hal yang mengerikan. 'Jika jimat ini ada padaku, lalu Aryo bersama Mika yang bukan dirinya sendiri, aku rasa mereka dalam bahaya! Sesuatu pasti sedang direncanakan pria jahat ini!'
Melati menggenggam erat cincin itu, lalu beranjak menuju ke motor Aryo, dan pergi meninggalkan Pram yang tersenyum licik menatap Melati.
"Melati! Kau mau kemana? Hati-hati jangan mudah terperdaya oleh kelicikannya!" seru Ega sekencang mungkin, ia berusaha mencegah kepergian Melati. Namun tubuhnya masih berdiri kaku, terkunci oleh kekuatan aneh yang dikendalikan oleh Pram.
"Diam! Saudarimu sedang menunjukkan diri pada dunia, dia tidak bisa dihentikan saat ini, biarkan mereka menyesal karena telah mengusik keturunanku!"
Melati melaju dengan motor Aryo, hatinya penuh dengan kekhawatiran tentang keselamatan Aryo dan Mika. Dia tidak percaya bahwa Pram bisa begitu licik dan tidak memiliki hati.
Sementara itu, Ega masih berdiri kaku, tidak bisa bergerak atau berbicara. Dia hanya bisa menonton saat Melati pergi, dan dia tahu bahwa dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk menghentikannya.
Pram menatap Ega dengan senyum licik, "Jangan khawatir, anakku. Melati akan baik-baik saja. Dia hanya perlu sedikit... penyesuaian." Pram kemudian menghilang, meninggalkan Ega yang masih terkunci dalam kekuatan aneh itu.
..........
Di toko, Aryo masih kembali menggali beberapa informasi yang ia simpan dalam draf lain. "Dimana aku pernah melihat gambar seperti itu," lirihnya masih berusaha mengingat.
Aryo membuka lagi satu persatu dokumen yang ia simpan dalam draf lain, hingga beberapa saat kemudian ia menemukan sesuatu yang mirip. "Aku tidak ingat pernah menyimpan ini," gumamnya kemudian menggulir halaman itu, membacanya dengan seksama.
Tak lama kemudian, ia terbelalak, "Pelatih Pram?" pekiknya merasa tak percaya saat melihat sebuah foto beberapa orang tampak berjajar dan memiliki gambar tato yang sama.
"Dia pria yang kulihat dalam mimpi, bukankah itu adalah ayah Layla? Sebentar...." Aryo kembali berpikir, berusaha menghubungkan beberapa hal yang ia tahu.
"Ayah Layla pernah mengaku pada ayahku bahwa ia menukar kesialan anaknya, dengan ponakannya sendiri. Itu artinya Layla adalah Melati dan Melati adalah Layla. Apa ini, mereka menukar nasibnya saja atau ...."
...****************...
Bersambung.