NovelToon NovelToon
CINTA DARI MASA LALU

CINTA DARI MASA LALU

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Ketos / Kehidupan di Kantor / Fantasi Wanita
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: ASEP SURYANA 1993

Email salah kirim, meeting berantakan, dan… oh ya, bos barunya ternyata mantan gebetan yang dulu menolak dia mentah-mentah.
Seolah belum cukup, datang lagi intern baru yang cerewet tapi manisnya bikin susah marah — dan entah kenapa, selalu muncul di saat yang salah.

Di tengah tumpukan laporan, deadline gila, dan gosip kantor yang tak pernah berhenti, Emma harus belajar satu hal:
Bagaimana caranya tetap profesional saat hatinya mulai berantakan?

Antara mantan yang masih bikin jantung berdebar dan anak magang yang terlalu jujur untuk dibiarkan begitu saja, Emma akhirnya sadar — cinta di tempat kerja bukan cuma drama… tapi juga risiko karier dan reputasi yang bisa meledak kapan saja.

Cinta bisa datang di mana saja.
Bahkan di ruang kerja yang penuh tawa, kopi tumpah, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ASEP SURYANA 1993, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

EPISODE 20 — Perjalanan yang Tak Direncanakan

Hari itu, kantor Vibe Media sibuk menyiapkan pitch presentation untuk klien di luar kota — tepatnya di Boston.

Emma tengah memeriksa dokumen saat Liam mendekatinya.

“Emma,” katanya dengan nada formal. “Kau ikut perjalanan ke Boston besok. Brightwave minta kau yang handle presentasi visualnya.”

Emma mengangkat kepala cepat. “Aku? Bukannya Trisha yang—”

“Trisha sakit,” potong Liam cepat. “Dan tim Brightwave sudah setuju. Ryan akan mewakili mereka.”

Nama itu membuat jantung Emma berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.

“Ryan?” ulangnya pelan.

Liam menatapnya datar. “Ya. Pastikan profesional. Ini proyek penting.”

“Tentu saja,” jawab Emma.

Tapi dalam hati, ia tahu — profesional mungkin bukan kata yang mudah dijaga kalau di pesawat nanti duduk di sebelah Ryan.

---

Keesokan paginya, Emma tiba di bandara dengan koper kecil dan jaket krem yang menambah kesan elegan.

Begitu menatap area boarding, ia langsung melihat Ryan sedang berdiri sambil menyeruput kopi.

Ia melambai pelan. “Kau datang lebih awal.”

Ryan tersenyum. “Aku pikir kau yang bakal telat. Ternyata dugaanku salah lagi.”

Emma menatapnya dengan alis terangkat. “Lagi?”

Ryan terkekeh. “Ya, aku salah juga waktu mikir kamu udah lupa aku.”

Emma memutar bola mata. “Kamu nggak pernah berubah, ya?”

“Kalau berubah artinya berhenti ngelucu di depanmu, aku nggak mau.”

---

Di dalam pesawat, takdir (atau mungkin karma romantis) menempatkan mereka di kursi sebelah-sebelahan.

Ryan menatap tiketnya dan tertawa kecil. “Kursi 14B. Dan kau?”

Emma menatap tiketnya. “14A.”

“Lucu,” katanya. “Kayak semesta punya selera humor yang bagus.”

Emma memasang sabuk pengaman, berusaha terlihat santai. “Atau semesta cuma mau kita kerja.”

Ryan mencondongkan tubuh sedikit, berbisik, “Kerja bisa nunggu lima belas ribu kaki lagi, kan?”

Emma hampir tersenyum, tapi menahan. “Kau benar-benar nggak bisa diam.”

“Kalau aku diam, nanti aku mikir,” jawab Ryan santai.

“Dan kalau kau mikir?”

“Aku ingat kamu.”

Emma tertawa kecil. “Kau tahu nggak, kalimat kayak gitu bisa bikin orang salah paham.”

Ryan tersenyum. “Aku berharap begitu.”

---

Beberapa jam kemudian, mereka tiba di Boston dan langsung menuju hotel tempat klien menginap.

Rencananya, mereka akan presentasi sore ini, lalu kembali besok.

Di lobi hotel, Samantha menyerahkan kunci kamar.

“Ryan di kamar 503, Emma di 505. Dekat, supaya mudah koordinasi,” katanya sambil tersenyum penuh arti.

Ryan menatap Samantha. “Aku rasa kau sengaja.”

Samantha pura-pura sibuk. “Aku? Nggak ah. Aku cuma efisien.”

Emma hanya bisa mendesah. “Efisien memang berbahaya.”

---

Menjelang sore, mereka mempersiapkan pitch deck bersama di lounge hotel.

Emma fokus mengetik di laptop, sementara Ryan bolak-balik meninjau slide.

“Slide keempat terlalu kaku,” kata Ryan. “Kau butuh sesuatu yang bikin orang tersenyum dulu sebelum percaya.”

Emma mengerutkan kening. “Tersenyum dulu?”

Ryan menatapnya. “Ya. Kalau orang udah senyum, mereka lebih mudah percaya. Itu prinsipku waktu masih kerja di Vibe dulu.”

Emma menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. “Dan itu selalu berhasil.”

Ryan menyandarkan diri di kursi, menatapnya dengan tatapan lembut. “Nggak selalu.”

“Kenapa?”

Ryan tersenyum samar. “Karena ada satu orang yang nggak pernah aku buat tersenyum lagi.”

Emma menatapnya, lalu menunduk. “Mungkin karena dia takut kalau senyum, hatinya luluh lagi.”

Ryan diam sejenak. “Dan mungkin dia nggak tahu, hatinya memang udah luluh dari awal.”

Suasana jadi terlalu hening.

Mereka saling berpandangan — terlalu lama untuk dua orang yang mengaku “profesional.”

---

Beberapa jam kemudian, setelah presentasi berjalan lancar, mereka makan malam di restoran hotel.

Suasananya santai, lampu redup, musik lembut mengalun.

Emma menatap Ryan sambil menyeruput jusnya. “Kau tahu, dulu aku pikir kamu pergi karena bosan.”

Ryan tertawa kecil. “Bosan? Dengan siapa?”

“Dengan pekerjaanku, dengan caraku ngatur semua hal kecil. Kau selalu bilang aku terlalu kaku.”

Ryan tersenyum hangat. “Aku nggak pernah bosan sama kamu, Em. Aku cuma takut… kalau aku tetap di sana, aku nggak bisa maju. Dan aku nggak mau kamu jadi alasan aku berhenti tumbuh.”

Emma menatapnya lama. “Jadi kamu pergi untuk jadi lebih baik?”

“Untuk bisa pantas datang lagi,” jawab Ryan pelan.

Emma hampir kehilangan kata-kata. “Dan sekarang?”

Ryan menatapnya serius. “Sekarang aku tahu, jadi lebih baik itu nggak cukup kalau kehilangan orang yang bikin semuanya berarti.”

Hening.

Emma menunduk, menatap piringnya. “Kamu… selalu punya cara ngomong yang bikin susah marah.”

Ryan tertawa kecil. “Itu seni bertahan hidup di hadapanmu.”

Keduanya tertawa pelan, dan untuk pertama kalinya sejak lama, suasana terasa ringan — tanpa rasa bersalah, tanpa jarak.

---

Setelah makan malam, mereka berjalan pelan menyusuri trotoar Boston yang diterangi lampu jalan.

“Dingin banget,” kata Emma sambil mengusap lengan.

Ryan spontan melepas syalnya dan memakaikannya ke leher Emma.

“Sekarang?”

Emma tertegun. “Kau masih suka ngelakuin hal-hal kayak gini.”

Ryan menatapnya. “Kebiasaan nggak gampang hilang.”

“Kau tahu, itu bahaya,” kata Emma pelan. “Orang bisa salah sangka.”

“Dan kalau aku pengen mereka nggak salah sangka?”

Emma berhenti melangkah, menatapnya lama. “Maksudmu?”

Ryan menatap matanya langsung. “Maksudku… aku nggak mau nyembunyiin apa pun lagi.”

“Termasuk?”

Ryan menarik napas panjang. “Termasuk alasan sebenarnya kenapa aku pergi dulu.”

Emma menatapnya. “Aku pikir karena tawaran kerja.”

Ryan menggeleng. “Bukan. Itu cuma alasan yang nyaman buat semua orang.”

“Lalu kenapa?”

Suara Emma bergetar pelan.

Ryan menatap jalan kosong di depan mereka, lalu kembali pada Emma.

“Aku pergi karena waktu itu… Liam datang ke aku. Dia bilang kalau aku nggak menjauh, kariermu di Vibe bisa hancur.”

Emma membeku.

“Dia… apa?”

Ryan mengangguk perlahan. “Dia nggak bilang secara langsung, tapi aku ngerti maksudnya. Dan aku nggak mau lihat kamu kehilangan semuanya cuma karena aku.”

Air mata Emma menetes pelan.

“Jadi semua waktu itu… bukan karena kamu nggak peduli?”

Ryan menggeleng pelan. “Aku peduli justru karena itu. Aku pikir pergi adalah caraku melindungi kamu.”

Emma menatapnya, bibirnya bergetar. “Ryan… kenapa kamu baru bilang sekarang?”

Ryan tersenyum pahit. “Karena dulu aku takut kalau aku jujur, kamu bakal milih dia.”

“Dan sekarang?”

“Sekarang aku nggak takut apa pun, kecuali terlambat.”

Suasana terdiam lama — hanya ada napas dan udara dingin di antara mereka.

Emma menatap Ryan, air matanya jatuh lagi.

“Kau benar-benar bodoh.”

Ryan tertawa kecil, menatapnya lembut. “Iya. Tapi kali ini aku bodoh dengan sadar.”

Dan sebelum Emma sempat menahan diri, ia melangkah maju dan memeluknya.

Pelukan itu bukan ledakan emosi, tapi kelegaan yang menahun — seperti dua hati yang akhirnya berhenti bersembunyi.

---

Beberapa menit kemudian, Emma berbisik di dadanya.

“Ryan…”

“Hm?”

“Kalau besok kita kembali ke New York, semuanya bakal berubah, kan?”

Ryan mengangguk pelan. “Iya. Tapi mungkin kali ini, berubahnya ke arah yang benar.”

---

Malam itu, di kamar hotel masing-masing, keduanya tak bisa tidur.

Di layar ponsel Emma muncul pesan singkat:

> Ryan: “Kalau besok kamu masih mau senyum ke arahku, aku anggap itu izin buat mulai lagi.”

Emma menatap layar lama, lalu mengetik balasan:

> Emma: “Jangan tunggu besok. Aku udah senyum sekarang.”

---

Di seberang kota, Ryan membaca balasan itu — dan untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, ia tertawa lega.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!