Kehidupan Amori tidak akan pernah sama lagi setelah bertemu dengan Lucas, si pemain basket yang datang ke Indonesia hanya untuk memulihkan namanya. Kejadian satu malam membuat keduanya terikat, dan salah satunya enggan melepas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Giant Rosemary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tempat Aman
Amori duduk gelisah di tempatnya. Senyumnya kebanyakan dipaksakan, dan rasa kesalnya semakin menjadi-jadi karena Damian terus saja berusaha melakukan kontak fisik dengannya. Pria itu tampak begitu menikmati perannya sebagai ‘pacar ideal’ di depan Sonya. Setiap kali Amori ingin bicara, suaranya selalu tenggelam oleh celotehan pria itu.
“Nih, aku udah kupasin udangnya.” ucap Damian sambil menyodorkan sepiring olahan udang kesukaan Amori. Melihat Sonya yang berseri-seri melihat interaksi mereka, Amori hanya mengangguk kaku, pura-pura tersenyum tanpa berterima kasih.
“Makanya, punya pacar itu dijadiin prioritas. Ngapain saih, kamu sampai biarin Amori ke rumah sakit sendiri?” Damian terkekeh sambil merangkul Amori. Pria itu dengan beraninya mencuri kecupan di pipi Amori hingga membuat Amori berdecak kesal.
“Ada urusan Mah. Lagian gapapa, Amori gemesih kalau lagi marah.” Sonya dan Amori sontak menggulirkan mata karena alasan yang berbeda. Untuk Amori, tentu saja karena merasa muak.
“Mor, jadi kapan tante sama om bisa ketemu sama Mama kamu? Beliau masih sibuk memang ya?” Amori sudah gatal ingin jujur tentang hubungannya dengan Damian yang sudah kandas. Tapi bak bisa membaca pikirannya, Damian selalu memiliki cara untuk menyela ucapannya dan berakhir tangan Amori yang digenggam erat.
“Nanti lah Mah, gausah diburu-buru. Lagipula mamanya Amori masih sibuk, ngurusin Oma.” Amori ingin sekali mencubit bibir Damian yang sok tau. Ia terlalu kesal sampai tidak bisa lagi tersenyum pura-pura pada Sonya.
“Tante maaf, tapi aku harus pulang karena habis ini masih ada kerjaan.”
“Oh iya, tante sampai lupa waktu. Maaf ya Mor.” Amori berusaha tersenyum lagi walaupun kaku. Tapi walaupun sudah bisa bernapas lega karena tidak harus berpura-pura lagi di depan Sonya, Amori malah terjebak dengan Damian.
Begitu berpisah dengan Sonya di parkiran, Amori akhirnya tak lagi menahan rasa kesalnya. “Aku pulang sendiri.” Damian dengan cepat menangkap lengan Amori yang sudah berbalik ingin pergi.
“Aku anter, Mor.”
“Nggak usah! Kamu ngerti nggak sih kalau aku tuh udah gak mau lagi deket sama kamu? Aku muak tau nggak!” Amori menoleh, dengan mata yang berkilat penuh amarah. “Aku muak harus akting di depan mama kamu, seolah semua baik-baik aja. Denger ya Dam, kali ini aku mau akting kayak tadi cuma karena menghargai kebaikan mama kamu selama ini. Jadi lebih baik kamu cepet bilang kalau kita udah putus.”
Damian terdiam mendengar ucapan Amori yang asing di telinganya. Wajahnya mengeras. “Mor, kita perlu ngobrol. Kamu salah paham, sayang.”
“Aku nggak buta, Damian! Apa yang aku lihat kemarin itu nyata, dan aku nggak peduli alasan kamu bisa sampai tidur sama perempuan lain!”
“Amori, sayang, aku minta maaf.”
“Damian stop sebut-sebut nama aku lagi. Aku jijik!”
“Amori!” suara Damian meninggi.
“Jangan kasar!” karena menepis tangan Damian yang akan mencengkram bahunya, Amori tanpa sengaja memukul wajah Damian. Pria yang sejak tadi susah payah menahan emosi agar Amori mau luluh dan kembali padanya itu akhirnya meledak. Rahangnya semakin mengeras, matanya pun memerah penuh dengan amarah. Dengan gerakan cepat, telapak tangannya mendarat di pipi Amori, dan menimbulkan suara tamparan yang tajam hingga wajah Amori terlempar ke samping.
Amori terhenyak, pipinya panas dan matanya membelalak tak percaya. Susana di sekitar mereka yang tadinya riuh dengan suara kendaraan yang berlalu lalang mendadak sunyi. Telinga Amori berdenging dengan suara yang menyakitkan.
Damian sendiri terdiam. Napasnya masih memburu, tapi tangannya gemetar seolah menyesali tindakannya yang dikuasai emosi. Ia panik, namun belum sempat meminta maaf pada Amori yang menolak untuk menatapnya, gadis itu sudah pergi. Menghilang masuk ke dalam taksi yang dihentikan tak sabaran.
***
Di sepanjang jalan pulang ke kediaman Lucas, Amori menangis. Bukan menangis meraung, tapi terisak dan malah membuat napasnya lebih sesak. Ia merasa tak berdaya. Setelah rasa kagetnya hilang, nyeri di pipinya semakin terasa. Rasa marah pada Damian juga meledak-ledak, dan Amori sangat amat menyesal karena tidak membalas tamparan itu dengan hal yang lebih menyakitkan dari yang ia rasakan.
Amori mendadak merindukan Lucas. Ia ingin mengadu, walaupun rasa tahu dirinya masih tersisa, tapi Amori tetap berniat ingin mengadu pada Lucas. Untuk saat ini ia membutuhkan Lucas, walaupun ia akan tetap mengingatkan diri agar tahu status dan posisinya.
Sesampainya di unit Lucas, Amori melihat dua pasang sepatu yang menandakan kalau pria itu sudah kembali dari terapinya. Jadi tanpa menunggu lama atau menahan diri seperti sebelum-sebelumnya, Amori naik ke lantai dua dan masuk ke dalam kamar Lucas.
Ketika masuk, pria yang sedang berbaring telanjang dada, dengan kaki kanan yang disangga bantal itu terlihat kaget. “Amor?” matanya mengernyit, menegaskan pengelihatannya karena saat itu lampu di kamarnya tidak menyala.
“Lucas.” tangis Amori langsung pecah. Wanita hamil yang sedang sangat sensitif itu langsung meringsek ke dalam pelukan Lucas yang kebingungan, namun tetap menyambut tubuhnya dengan pelukan yang sangat hangat.
“Amor, what’s wrong?” bisiknya hangat. Membuat tangis Amori semakin keras. Dengan pengertian, tangan besar Lucas memeluk Amori lebih erat.
“He hurt me. Sakit, Lucas.” Amori tak sanggup melankutkan. Tangisnya semakin deras. Wajahnya ia sembunyikan pada lekuk leher Lucas hingga basah. Dani yang mendengar keributan itu pun datang perlahan. Kepalanya mengintip dari celah pintu, dan melihat itu Lucas memberikan kode pada asistennya untuk mencari tahu apa yang telah terjadi pada Amori.
Tanpa banyak protes, Dani kembali berlalu untuk menjalankan misinya. “It’s okay, I’m here Amor. I’m here.”
Lucas tak melepas sedikitpun pelukannya dari Amori yang masih sibuk menangis. Bermenit-menit berlalu, Amori masin terus terisak dan berbaring di atas tubuh Lucas. Lima menit, sepuluh menit, hingga menit ke dua puluh akhirnya Amori kelelahan menangis. Pelukan gadis itu di leher Lucas mengendur. Isakannya juga hanya tersisa sedikit.
Dengan lembut dan perlahan, Lucas mengendurkan pelukannya. Ia memiringkan tubuhnya, hingga tubuh Amori ikut terjatuh ke atas ranjang. “Hei.” katanya meminta perhatian Amori. Merapihkan rambut yang menempel pada wajah gadis cantik itu.
Tapi gerakan Lucas terhenti, ketika mata yang masih terpejam itu terlihat memerah. Bukan hanya memerah, tapi bagian itu membengkak hingga ke pipi. Menyadari situasi yang ada, Lucas terbakar marah. Tapi jelas ia tak akan menampakkannya di hadapan Amori. Dengan lembut ia membubuhkan kecupan pada pipi bengkak Amori. Awalnya gadis itu terperanjat walau masih memejam. Tapi karena Lucas terus membisikkan kata-kata yang menenangkan, Amori perlahan menerima kecupan yang terus Lucas berikan.
“I’m here, Amor.”
“Thank you, Lucas. Thank you.” Amori memeluk lagi tubuh Lucas. Kantuk, rasa lelah dan rasa sakitnya membuat Amori benar-benar lemah, dan hanya kepada Lucas ia ingin bersandar.
***
Bersambung....