Di Universitas Harapan Bangsa, cinta tumbuh di antara dua insan dari dunia yang berbeda. Stefanus, pemuda cerdas yang hidup serba kekurangan, menempuh pendidikan berkat beasiswa.Di sisi lain, ada Stefany, gadis cantik dan pintar, putri tunggal Pak Arman, seorang pengusaha kaya yang ternyata menyimpan rahasia kelam Ia adalah bos mafia kejam.Pertemuan sederhana di kampus membawa Stefanus dan Stefany pada perasaan yang tak bisa mereka tolak. Namun, cinta mereka terhalang restu keluarga. Pak Arman menentang hubungan itu, bukan hanya karena perbedaan status sosial,hingga suatu malam, takdir membawa malapetaka. Stefanus tanpa sengaja menyaksikan sendiri aksi brutal Pak Arman dan komplotannya membunuh seorang pengkhianat mafia. Rahasia berdarah itu membuat Stefanus menjadi target pembunuhan.Akhirnya Stefanus meninggal ditangan pak Arman.stelah meninggalnya Stefanus,Stefany bertemu dengan Ceo yang mirip dengan Stefanus namanya Julian.Apakah Julian itu adalah Stefanus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulina Simanullang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3:Awal dari semua masalah
Pagi itu, matahari menyorot lembut melalui jendela besar rumah megah keluarga Stefany. Tirai sutra berwarna krem bergoyang pelan tertiup angin dari balkon. Di meja makan yang panjang dan berkilau, berbagai hidangan sarapan telah tertata rapi: roti panggang mentega, sosis asap, omelet keju, salad segar, hingga jus jeruk yang memantulkan cahaya matahari pagi.
Stefany turun dari lantai dua dengan langkah ringan. Rambut panjangnya tergerai rapi, dan wajah cantiknya yang mewarisi garis keturunan Eropa dari mendiang ibunya terlihat segar meski semalam ia tidur larut.
Di ujung meja, Pak Arman, ayah Stefany, duduk dengan wajah serius. Pria berusia 50-an itu mengenakan kemeja putih licin dan jas hitam meski belum berangkat kerja. Di tangannya ada koran tebal, sementara di depannya cangkir kopi hitam mengepul.
“Pagi, Yah,” sapa Stefany dengan suara lembut.
Pak Arman hanya melirik sebentar lalu mengangguk singkat. “Pagi.”
Sejak kepergian ibunya tiga tahun lalu, rumah megah itu kehilangan kehangatan. Dulu, sang ibu selalu mengisi pagi dengan senyum dan percakapan hangat. Sekarang, hanya ada kesunyian yang sering kali membuat Stefany merasa seperti tinggal di istana dingin tanpa kasih sayang.
Namun pagi ini, suasana yang biasanya hening mendadak berubah ketika Pak Arman menutup koran, meletakkannya di meja, dan menatap putrinya lekat-lekat.
“Ayah dengar… akhir-akhir ini kamu sering terlihat bersama seorang mahasiswa,” ucapnya datar tapi dengan sorot mata penuh selidik.
Stefany menghentikan gerakan tangannya yang hendak meraih roti. “Maksud Ayah… Stefanus?”
Pak Arman menyandarkan punggungnya ke kursi. “Iya. Anak beasiswa itu, kan?”
Stefany mengangguk pelan. “Iya, memang kenapa?”
Tatapan Pak Arman mengeras. “Kamu dekat dengannya?”
Pertanyaan itu seperti pisau yang menusuk. Stefany menarik napas pelan, mencoba tetap tenang. “Kami… teman, Yah. Dia baik, pintar, dan selalu membantu kalau aku butuh belajar bareng.”
Pak Arman meletakkan cangkir kopinya dengan suara yang agak keras. “Teman?” Suaranya terdengar dingin. “Kamu tahu dia dari keluarga mana?”
Stefany menatap ayahnya tidak percaya. “Ayah… kenapa selalu tanya soal keluarga? Bukankah yang penting orangnya?”
“Tidak, Stefany,” suara Pak Arman meninggi. “Yang penting siapa dia dan dari mana dia berasal. Anak seperti dia tidak pantas dekat denganmu.”
Stefany merasakan dadanya sesak. “Hanya karena dia tidak kaya? Ayah pikir semua orang miskin itu tidak pantas bersahabat denganku?”
Pak Arman menatap putrinya tajam. “Kamu tidak mengerti. Dunia kita berbeda. Anak itu tidak ada apa apanya dibandingkan kamu.kamu keluarga terpandang sedangkan dia anak yatim piatu yg tidak sebanding dengan kamu",
Kalimat itu terhenti di udara. Stefany menatap ayahnya dengan kening berkerut. “Maksud Ayah apa?”
Pak Arman menghela napas panjang, berusaha menguasai diri. “Pokoknya, jauhi dia. Ini untuk kebaikanmu.”
Stefany berdiri mendadak, kursi yang ia duduki bergeser dengan suara berderit.",aku tidak akan menjauhi dia ayah",Stefanus tidak seperti yang ayah fikirkan".
Mata Pak Arman berkilat marah. Ia menatap putrinya tajam, wajahnya mengeras. “Stefany, jangan ikut campur urusan ayahmu. Aku sudah bilang, anak itu tidak boleh dekat-dekat denganmu lagi. Titik.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Stefany berbalik dan pergi meninggalkan ruang makan. Di matanya ada air yang hampir jatuh, namun ia menahannya.
Pak Arman memandang punggung putrinya yang menjauh. Tangannya mengepal di bawah meja. Ia tahu Stefany keras kepala. Dan anak beasiswa itu… bisa menjadi masalah besar kalau tidak segera disingkirkan.
Di Kampus: Bayang-Bayang yang Mulai Mengintai
Sementara itu, di Universitas Harapan Bangsa, Stefanus datang seperti biasa. Ia membawa buku-buku tebal di dalam ranselnya, berjalan dengan langkah cepat karena hampir terlambat masuk kelas.
Pemuda berwajah tampan itu sebenarnya sangat sederhana: rambut hitam lurus, kulit sawo matang, tubuh tegap hasil sering membantu pamannya bekerja. Meski hidup pas-pasan, tatapan matanya selalu tenang dan senyumnya ramah.
Tapi pagi itu, tanpa ia sadari, beberapa pasang mata mengawasinya dari jauh.
Di sebuah mobil hitam yang parkir tidak jauh dari gerbang kampus, dua pria berjas hitam duduk memperhatikannya.
“Bos, target sudah kelihatan,” ujar salah satu pria,Boris, sambil memegang ponsel.
“Pantau semua gerak-geriknya,” suara Pak Arman terdengar dari seberang. “Aku ingin laporan lengkap. Siapa dia, di mana tinggalnya, bahkan kebiasaan kecilnya.”
Boris melirik Stefanus yang baru saja keluar dari gedung kuliah. “Siap, Bos. Anak ini kelihatan polos, tapi kita lihat saja.”
Mata-Mata di Rumah Paman Stefanus
Sore harinya, Stefanus pulang ke rumah sederhana di pinggiran kota. Rumah itu kecil tapi bersih. Di terasnya, pamannya seorang pria paruh baya dengan wajah ramah sedang memperbaiki sepeda motor tua.
“Om,” sapa Stefanus.
“Nus,” balas sang paman sambil tersenyum. “Tadi ada orang cari kamu. Kelihatannya orang kaya. Tanya-tanya soal kamu.”
Stefanus mengerutkan kening. “Siapa mereka?”
“Bilangnya temannya ayahnya Stefany. Nanya di mana kamu tinggal, siapa keluargamu. Om jawab sekadarnya aja.”
Stefanus mengangguk, tapi di dalam hatinya ada rasa tak nyaman. Kenapa orang tua Stefany ingin tahu tentang dirinya?
Tak jauh dari rumah itu, sebuah mobil hitam lain berhenti diam. Dua pria di dalamnya memotret rumah Stefanus, mencatat setiap detail: siapa keluar masuk, jam berapa lampu menyala, bahkan ke mana Stefanus pergi setiap hari.
“Orang ini terlalu bersih,” komentar Beni, anak buah Pak Arman. “Nggak ada catatan kriminal, nggak ada musuh.”
“Justru itu masalahnya,” sahut Boris. “Orang bersih kalau tahu rahasia kotor… bisa jadi bencana.”
Stefany Mulai kesal kepada ayahnya.
Ayahnya selalu melarang ini-itu. Tapi kali ini, nada suaranya berbeda. Seolah-olah Stefanus adalah pria jahat yang tidak layak mendapatkan teman seperti dia.
Ia menatap layar ponsel, jempolnya bergerak pelan:
Stefany: Stefanus, besok ada kelas pagi?
Stefanus: Ada. Kenapa?
Stefany: Mau belajar bareng lagi?
Stefanus: Boleh.
Stefany tersenyum kecil. Setidaknya, ada seseorang yang membuatnya merasa normal di tengah semua kekacauan ini.stefanus bisa diajak tukar fikiran dalam hal belajar.
Rencana Kelam Pak Arman
Di sebuah gedung tua yang jauh dari pusat kota, Pak Arman duduk di ruangan gelap bersama anak buahnya. Asap rokok mengepul di udara.
“Bos,” ujar Boris, “kami sudah dapat semua data tentang Stefanus. Anak yatim piatu. Nilai kuliahnya bagus. Nggak punya masalah sama siapa pun.”
Pak Arman mengetuk-ngetuk meja dengan jari. “Terlalu bagus untuk jadi kenyataan. Anak seperti ini bisa jadi batu sandungan kalau dekat-dekat sama Stefany.”
“Perintah, Bos?” tanya Beni pelan.
“Awasi terus,” jawab Pak Arman dingin. “saya tidak suka orang miskin yang hina itu mendekati putri saya.
Di balik kacamata hitamnya, mata Pak Arman berkilat dingin. Ia sudah memutuskan: Stefanus adalah masalah yang harus diselesaikan sebelum semuanya terlambat.