Laura Clarke tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis. Pertemuannya dengan Kody Cappo, pewaris tunggal kerajaan bisnis CAPPO CORP, membawanya ke dalam dunia yang penuh kemewahan dan intrik. Namun, konsekuensi dari malam yang tak terlupakan itu lebih besar dari yang ia bayangkan: ia mengandung anak sang pewaris. Terjebak di antara cinta dan kewajiban.
"kau pikir, aku akan membiarkanmu begitu saja di saat kau sedang mengandung anakku?"
"[Aku] bisa menjaga diriku dan bayi ini."
"Mari kita menikah?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bgreen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
balas dendam
Keesokan harinya, Kody memacu mobilnya menuju sebuah gedung tua yang terletak di pinggiran hutan.
Debu beterbangan di belakang mobilnya saat ia menyusuri jalanan berbatu yang jarang dilalui.
Setibanya di sana, pagar besi berkarat yang mengelilingi bangunan itu terbuka perlahan, dioperasikan oleh seorang pengawal bertubuh kekar yang berjaga di posnya.
Mata Kody menyipit, menilai pengawal itu sejenak sebelum menginjak pedal gas, memasuki halaman gedung tua tersebut.
Halaman itu luas dan dipenuhi ilalang yang tumbuh tak teratur. Kody memarkirkan mobilnya di depan pintu masuk utama yang tampak reyot.
Saat ia keluar dari mobil, seorang pengawal berlari menghampirinya, wajahnya tegang namun penuh hormat. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam saat berhadapan dengan Kody.
"Tuan Kody, Tuan Hugo sudah menunggu di dalam," ucap pengawal itu dengan suara rendah, nyaris berbisik.
Kody tidak menjawab. Ekspresinya datar, tanpa emosi. Ia melangkah melewati pintu besar yang terbuat dari kayu usang, memasuki kegelapan gedung tua itu. Pengawal tadi mengikuti dari belakang, menjaga jarak.
Dari luar, bangunan itu tampak seperti gedung tua tak terawat yang terlupakan oleh waktu.
Namun, di balik dinding-dinding yang kusam dan jendela-jendela yang pecah, tersembunyi markas besar Kody.
Tempat ini adalah pusat dari segala kegiatan ilegalnya, kerajaan gelap seorang mafia yang beroperasi di bawah permukaan kota.
Suara langkah kaki mereka bergema di antara dinding-dinding kosong, menciptakan suasana mencekam.
Kody bisa merasakan aura kekuasaan dan bahaya yang terpancar dari setiap sudut ruangan.
Ceklek...
Kody membuka pintu ruang kerjanya, dan di sana sudah ada Hugo yang menunggunya dengan raut wajah serius.
Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi oleh lampu meja yang menyorot tumpukan dokumen di atas meja kerja Kody.
Aroma cerutu memenuhi udara, bercampur dengan bau parfum mahal yang selalu dipakai Kody.
"Ada apa kau tiba-tiba memanggilku?" tanya Hugo, suaranya berat dan tanpa basa-basi.
"Ada musuh yang mengganggu bisnis kita?" ucap Kody, langsung ke inti permasalahan. Ia berjalan menuju mejanya dan duduk di kursi kulitnya yang besar.
"Siapa?" sahut Hugo cepat.
"Lukas... dia mengacaukan pengiriman kita semalam," jawab Kody dengan nada dingin.
"Lukas? Oh, sial... kenapa dia suka sekali mencari masalah denganmu?" Hugo menghela napas panjang, tampak frustrasi.
"Bantu aku menanganinya, Hugo," pinta Kody, matanya memancarkan ketegasan.
"Aku? Bukankah kau bisa menanganinya sendiri?" tanya Hugo, alisnya terangkat.
Kody menghela napas. "Aku tidak bisa meninggalkan Laura sendirian di malam hari. Dia tidak bisa tidur jika tidak ada aku di sampingnya. Jadi, aku butuh bantuanmu. Tolong selesaikan masalah ini malam ini dengan Lukas. Buat dia tidak berani mencari masalah dengan kita lagi."
Hugo menyeringai. "Aaaaa.... masalahnya ada di istrimu atau dirimu yang tidak bisa tidur jika tidak memeluk istrimu," ejek Hugo, namun ada nada sayang dalam suaranya.
"Terserah kau beranggapan apa," balas Kody, menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya. Ia memejamkan mata sejenak, membayangkan wajah damai Laura saat tertidur di sampingnya.
"Hmm... baiklah... aku akan menyelesaikannya malam ini. Kau hanya perlu menyiapkan beberapa anak buahmu untuk mengikuti malam ini," ucap Hugo, mengalah.
"Aku akan siapkan lima orang yang terbaik. Apa cukup?" tanya Kody, membuka matanya dan menatap Hugo.
"Ya... cukup. Kalau begitu, aku akan memulainya tengah malam ini," jawab Hugo, lalu berdiri dari tempat duduknya dan berjalan keluar dari ruangan Kody.
Ia berhenti sejenak di ambang pintu dan menoleh ke belakang. "Jaga istrimu baik-baik, Kody. Jangan sampai dia tahu apa yang sebenarnya kita lakukan."
Kody hanya mengangguk, tanpa menjawab.
Setelah Hugo pergi, ia kembali menyandarkan tubuhnya di kursi dan memejamkan mata.
Pikiran tentang Laura membuatnya merasa tenang, namun juga bersalah.
Ia tahu bahwa pekerjaan yang ia lakukan sangat berbahaya, dan ia tidak ingin Laura terlibat di dalamnya.
*
*
*
Tengah malam menyelimuti kota dengan kegelapan pekat. Hugo dan beberapa anak buahnya, termasuk tim dari Kody yang dipimpin oleh Hugo, mengintai markas besar Lukas.
Gedung itu tampak sunyi dan tenang dari luar, namun Hugo tahu bahwa di dalamnya penuh dengan orang-orang bersenjata yang siap membela Lukas.
Lukas, sang duri dalam daging bagi Kody. Dendamnya membara karena seorang wanita yang dicintainya pernah terjerat dalam pelukan Kody.
Wanita itu meninggalkan Lukas untuk memilih Kody, namun ironisnya, Kody tidak pernah menganggapnya istimewa.
Bagi Kody, wanita itu hanyalah permainan sesaat, pelipur lara di tengah kerasnya dunia mafia.
"Semuanya sudah siap?" tanya Hugo, suaranya berbisik namun tegas.
"Ya..." jawab salah satu anak buah Hugo, matanya fokus pada gedung di depan mereka.
"Ledakkan!" perintah Hugo, tanpa ragu.
Hugo telah memasang beberapa peledak di titik-titik strategis di sekitar markas Lukas.
Tujuannya jelas: menciptakan kekacauan dan membuka jalan bagi mereka untuk masuk dan memberi pelajaran kepada Lukas yang telah berani mengusik bisnis mereka.
DUAAAR...
Suara ledakan dahsyat memecah kesunyian malam. Api berkobar dari arah barat gedung, asap hitam membumbung tinggi ke langit.
Para pengawal yang berjaga di markas Lukas segera berlarian menuju sumber ledakan, panik dan kebingungan.
"Ayo, maju!" seru Hugo, melihat kesempatan emas di depan mata.
Hugo, bersama sepuluh orang kepercayaannya, termasuk anak buah Kody dan timnya, bergerak cepat menuju markas Lukas.
Mereka menyelinap di antara reruntuhan dan kobaran api, menghindari perhatian para pengawal yang masih sibuk memadamkan api.
"Berpencar! Jangan sampai terluka! Temukan Lukas!" perintah Hugo, memberikan instruksi yang jelas.
Semua mengangguk serentak dan berpencar, masing-masing memiliki tujuan yang sama: menemukan dan melumpuhkan Lukas.
Mereka bergerak dengan lincah dan senyap, seperti hantu di tengah malam.
Hugo perlahan naik ke lantai dua, mencari ruangan Lukas. Sementara itu, anak buahnya yang lain menyebar ke seluruh penjuru bangunan, menyisir setiap sudut dan celah.
Tiba-tiba, suara tembakan memecah keheningan di lantai bawah.
Salah satu anak buah Hugo terpergok oleh seorang pengawal dan baku tembak pun tak terhindarkan.
Suara peluru yang berdesingan dan teriakan kesakitan menambah suasana mencekam di markas Lukas.
*
*
"Apa yang terjadi?!" tanya Lukas dengan nada panik, terlonjak dari kursinya saat mendengar suara ledakan yang mengguncang ruang kerjanya. Jantungnya berdegup kencang, firasat buruk menyelimuti benaknya.
"Bos, sepertinya kita diserang!" lapor salah satu pengawal yang tergopoh-gopoh masuk ke ruangannya. Wajahnya pucat pasi, napasnya tersengal-sengal.
"Sial! Siapa yang berani menyerang markasku?!" Lukas menggeram marah, menggebrak meja di depannya dengan tinjunya.
"Kami masih belum mengetahui siapa yang ada di balik semua ini," jawab pengawal itu dengan nada takut.
"Cari mereka dan habisi semuanya yang berani masuk ke markasku tanpa izin!" perintah Lukas dengan mata menyala-nyala.
Ia meraih pistol yang terselip di pinggangnya, siap untuk menghadapi siapa pun yang berani mengancam kekuasaannya.
*
Pertempuran sengit berkecamuk di dalam markas Lukas. Meskipun kalah jumlah, keunggulan anak buah Hugo tak bisa diremehkan.
Mereka bergerak dengan lincah dan mematikan, melumpuhkan satu per satu anak buah Lukas di lantai bawah dengan cepat dan efisien.
"Bos, Anda sebaiknya pergi dari sini! Kita hampir terkepung!" ucap salah satu pengawal Lukas dengan nada panik, menarik lengan Lukas.
"Apa maksudmu? Kita kalah?" tanya Lukas dengan mata membelalak tak percaya.
"Ya... para pengawal kita kalah melawan mereka," jawab pengawal itu dengan nada getir.
"Bagaimana bisa pengawal sebanyak itu bisa kalah? Berapa banyak musuh yang menyerang?" tanya Lukas, amarahnya mulai tersulut.
"Diperkirakan hanya delapan orang yang diketahui," ucap pengawal itu, menundukkan kepalanya karena malu.
"Delapan?! Dan kalian tidak bisa mengalahkan delapan orang itu?!" Lukas semakin geram, menendang kaki pengawal yang melapor tersebut dengan keras.
"Brengsek... brengsek... brengsek! Siapa yang berani mengacau di markasku?!" Lukas mengumpat dengan nada penuh kebencian.
"Ayo, Bos, kita harus pergi sekarang!" ucap pengawal itu dengan wajah mendesak, menarik Lukas menuju pintu belakang.
Lukas menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia meraih tas hitam dari mejanya dan membuka brankas miliknya.
Dengan gerakan cepat, ia memasukkan uang tunai dan barang-barang berharga ke dalam tas tersebut.
Lukas lalu berjalan keluar dari ruang kerjanya, dikawal oleh beberapa pengawal yang melindunginya.
Mereka bergerak cepat menuju pintu belakang, di mana pengawal lainnya telah menyiapkan mobil untuk melarikan diri.
HUGO LINTON