"Nada-nada yang awalnya kurangkai dengan riang, kini menjebakku dalam labirin yang gelap. Namun, di ujung sana, lenteramu terlihat seperti melodi yang memanggilku untuk pulang."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yvni_9, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ditilang
...Happy reading...
Semburat jingga mentari senja yang kian memudar di ufuk barat menjadi saksi bisu kepuasan Cely. Sore yang dipenuhi gelak tawa dan adrenalin wahana ekstrem itu terasa begitu sempurna. Perlahan, ia merasakan pertanda alam, saatnya untuk mengakhiri petualangan hari ini dan kembali ke rumah sebelum kegelapan malam benar-benar menelan bumi.
Di sepanjang jalan pulang yang familiar, jalur yang sama yang mereka lalui pagi tadi, bangunan kantor polisi itu kembali menyapa pandangan. Kali ini, jantung Cely berdetak lebih tenang, tidak lagi dirundung kecemasan seperti saat keberangkatan. Senyum kecil terukir di bibirnya, ia merasa sedikit lega karena merasa berhasil melewati petugas saat pergi tadi.
Leo, yang mengendalikan kemudi motor, menarik tuas gas dengan ringan. Pikirannya melayang, jauh dari firasat buruk atau kekhawatiran apapun. Di jalanan yang sepi ini, sama sekali tak terlintas di benaknya bahwa mereka akan berurusan dengan aparat kepolisian.
Namun, nasib memang penuh kejutan. Tiba-tiba, seorang polisi berseragam lengkap berdiri tegak di tepi jalan, tangannya terangkat memberi isyarat tegas agar mereka menepi. Roda motor pun melambat, lalu berhenti di sisi jalan yang berdebu.
"El?" Cely memanggil Leo, suaranya nyaris berbisik, bergetar halus menahan ketegangan. Jantungnya yang tadi tenang, kini kembali berpacu kencang, menghantam rongga dada dengan ritme panik. Rasa gugup menyeruak hebat, bagai gelombang dingin yang tiba-tiba menyelimuti tubuhnya.
"Kok kita distop?" tanya Cely.
Pikiran-pikiran cemas itu berkecamuk di benaknya. Mungkin benar dugaannya, jalanan yang semakin lengang ini justru menjadi celah bagi polisi untuk melakukan pemeriksaan lebih intensif, lebih leluasa menjaring kendaraan yang berlalu-lalang. Cely menelan ludah, matanya memincing menatap polisi yang berjalan mendekat, berusaha menebak-nebak alasan mereka dihentikan, dan jantungnya semakin berdebar tak karuan menanti interogasi yang mungkin akan segera dimulai.
Polisi itu menerima dokumen-dokumen dari Leo dan mulai memeriksanya dengan teliti. Matanya bergerak cepat membaca setiap detail yang tertera di surat-surat tersebut, sesekali membandingkannya dengan plat nomor motor dan memperhatikan fisik kendaraan mereka.
Keheningan mencekam menyelimuti mereka. Hanya suara angin sore dan deru kendaraan yang lewat sesekali yang memecah kesunyian. Cely bisa merasakan jantung Leo berdegup kencang di dekatnya, ia pun sama tegangnya.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian, polisi itu mengangkat wajahnya. Tatapannya kembali menusuk, kali ini lebih intens.
"SIM-nya mana?" tanya bapak itu.
Mendengar pertanyaan itu, Leo dan Cely membeku seketika. Waktu seolah berhenti berputar. Jantung mereka berdua serasa berhenti berdetak untuk sesaat, kemudian kembali berdetak dengan lebih kencang dan tidak beraturan, bagai genderang perang yang ditabuh membabi buta. Keringat dingin mulai mengucur deras di pelipis Cely, sementara Leo tampak menelan ludah dengan susah payah, urat-urat lehernya menegang.
Cely memberanikan diri untuk membuka suara, meskipun nadanya terdengar sangat kecil dan bergetar, "S-SIM... kami... belum punya, Pak," ujarnya lirih, nyaris tak terdengar di tengah desiran angin sore. Ia menundukkan kepala, tidak berani menatap mata polisi itu, malu dan takut bercampur aduk menjadi satu.
Leo hanya bisa diam, mengangguk membenarkan ucapan Cely. Wajahnya tertunduk dalam, menyesali kebodohan mereka yang berani mengendarai motor tanpa SIM. Ia merasakan hawa dingin menjalari sekujur tubuhnya, membayangkan berbagai kemungkinan buruk yang akan menimpa mereka. Razia ini ternyata bukan hanya sekadar pemeriksaan rutin biasa, tapi awal dari masalah yang lebih besar.
Polisi itu terdiam sejenak, raut wajahnya berubah menjadi lebih serius dan tegas. Ia menghela napas panjang, seolah kecewa dan tidak habis pikir dengan pengakuan polos dari Cely.
"Belum punya SIM?" ulang polisi itu.
"Kalian tahu kan, mengendarai kendaraan bermotor di jalan raya tanpa memiliki SIM itu melanggar hukum? Apalagi kalian masih di bawah umur..." Polisi itu menggelengkan kepalanya pelan, menunjukkan ketidaksetujuannya.
"Maaf, Pak," hanya kata itu yang mampu keluar dari bibir Leo, terdengar sangat menyesal dan pasrah. Ia benar-benar tidak tahu harus berkata apa lagi. Kesalahan mereka sudah jelas, tidak ada alasan yang bisa mereka gunakan untuk membela diri.
Polisi itu kembali menatap Cely dan Leo dengan tatapan yang sulit diartikan. "Baiklah," ujarnya akhirnya, "Karena kalian masih di bawah umur dan belum memiliki SIM, sesuai prosedur, kendaraan ini terpaksa harus saya tahan. Kalian juga akan kami bawa ke kantor polisi untuk pendataan dan pembinaan lebih lanjut."
Mata Cely membulat sempurna, napasnya tercekat di tenggorokan. Jantungnya terasa berhenti berdetak sesaat, lalu kembali berdetak dengan liar, memompa darah ke seluruh tubuhnya dengan deras. "Kantor polisi? Dibawa ke kantor polisi?" Pikiran itu berputar-putar di kepalanya, menimbulkan rasa panik yang luar biasa.
Leo pun tidak kalah terkejutnya. Wajahnya yang sudah pucat pasi kini semakin kehilangan warna. Ia menelan ludah dengan susah payah, merasakan tenggorokannya kering dan tercekat. Ia merasa bersalah telah menyetujui ajakan Cely tadi.
Penyesalan mendalam menghantam dirinya, membayangi keindahan sore yang baru saja mereka nikmati. Ia menunduk dalam, tidak berani menatap Cely, apalagi polisi yang kini menatap mereka dengan serius. Hari yang seharusnya menyenangkan, berubah menjadi mimpi buruk yang tak pernah mereka bayangkan.
Tepat saat Cely dan Leo dilanda kepanikan dan penyesalan yang mendalam, polisi itu kembali berbicara, memecah kesunyian yang mencekam.
"Kendaraan ini bisa diambil jika orang tua kalian yang membawanya ke kantor polisi, dengan membawa bukti kepemilikan yang sah," kata bapak polisi itu, menjelaskan prosedur yang harus mereka lalui. "Orang tua kalian juga perlu datang untuk menjamin dan menandatangani surat pernyataan, karena kalian berdua masih di bawah umur."
Mendengar penjelasan itu, Cely dan Leo sedikit bernapas lega, meskipun rasa takut dan cemas belum sepenuhnya hilang. Setidaknya, ada harapan untuk mendapatkan kembali motor itu.
Namun, bayangan tentang orang tua mereka yang harus datang ke kantor polisi, kemarahan dan kekecewaan yang mungkin akan mereka hadapi, justru semakin membuat hati mereka mencelos.
Masalah ini tidak hanya berhenti di razia jalanan, tapi akan merambat dan melibatkan keluarga mereka. Rasa malu dan bersalah semakin menggerogoti hati mereka, membayangi kemungkinan reaksi orang tua yang pasti tidak akan senang mendengar kabar buruk.
"Di mana rumah kalian?" tanya pak polisi lagi, memecah keheningan ruang kantor polisi yang terasa dingin dan formal. Leo memberitahukan alamat rumahnya, dan dibalas dengan gelengan kepala dari polisi itu.
"Wahh, kalian sudah jalan sejauh itu padahal belum punya SIM?!" ujar pak polisi, sedikit berkomentar setelah mendengar alamat Leo.
Mendengar komentar polisi tentang jarak rumahnya, Leo memberanikan diri untuk sedikit membantah, meskipun dengan nada yang tetap sopan dan takut-takut. "E-e ... enggak jauh kok, Pak," sangkal Cely pelan, berharap polisi itu tidak menganggap alamatnya terlalu jauh sehingga mempersulit proses pengambilan motor nanti.
"Sudah salah, menyangkal pula!" sahut pak polisi, dengan sedikit seringai nya. "Yang jelas, sesuai prosedur, saya tidak bisa menyerahkan motor ini begitu saja kepada kalian. Kalian tetap harus membawa orang tua kalian ke sini untuk menyelesaikan masalah ini."
Pak polisi itu kembali menegaskan prosedur yang berlaku, menekankan bahwa tidak ada pengecualian meskipun Leo berusaha menyangkal jarak rumahnya. "Dan ini bukan masalah jarak, tapi masalah aturan yang kalian langgar."
Cely dan Leo kembali terdiam, tidak berani membantah lagi. Mereka mengerti bahwa mereka telah melakukan kesalahan, dan kini harus menghadapi konsekuensinya. Penjelasan pak polisi justru semakin menyadarkan mereka betapa seriusnya situasi yang sedang mereka hadapi.
...___________...