NovelToon NovelToon
Pernikahan Penuh Luka

Pernikahan Penuh Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Obsesi / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Rima Andriyani

Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17

Nayla masih berdiri mematung di dekat pintu kamar, memandangiku dengan wajah cemas yang tak mampu ia sembunyikan. Aku memalingkan wajah, tidak sanggup menatapnya terlalu lama. Sentuhannya, bahkan sekadar suaranya saja kini dapat membuat tubuhku semakin kehilangan kendali.

“Apa yang terjadi denganmu, Reyhan?” tanyanya lirih, penuh kebingungan.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi setiap hembusan napas justru terasa sia-sia. Tubuhku terasa panas, denyut jantungku berdegup kencang, dan ada sesuatu yang tidak wajar sedang bergolak dalam diriku.

“Aku mohon… jangan dekati aku,” ucapku pelan namun tegas, suaraku serak, menahan gejolak yang tak bisa kusebutkan. “Aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa mengendalikan diri.”

“Reyhan?” Nayla melangkah mendekat, namun aku segera mengangkat tangan, menghentikannya.

“Jangan,” ujarku cepat. “Teh itu… sesuatu telah dimasukkan ke dalam teh itu. Aku yakin.”

Wajah Nayla seketika berubah. “Apa maksudmu? Teh yang tadi…?”

Aku mengangguk lemah, memejamkan mata sejenak. “Dan aku merasakannya sekarang… tubuhku tidak normal, Nayla.”

Ia terdiam sesaat, lalu perlahan mundur, tampak mulai memahami situasi yang kuhadapi.

“Kenapa kamu justru meminum teh itu kalau tahu mencurigakan?” tanyanya, suara nadanya lebih lembut.

“Aku tidak tahu pasti saat itu. Tapi aku tidak ingin kau yang meminumnya. Aku… aku tidak sanggup membayangkan jika sesuatu terjadi padamu.”

Aku menunduk, rahangku mengeras, mencoba menahan dorongan asing yang terus mendesak dari dalam diriku. Panas itu kini hampir tak tertahankan, membuat tubuhku gemetar. Aku meraih dasi dan melepaskannya, lalu membuka dua kancing teratas kemeja. Napasku berat.

“Pergilah dari sini, Nayla. Sekarang juga. Aku tidak boleh berada dekat denganmu dalam kondisi seperti ini.”

Namun Nayla tidak bergerak. Dia hanya berdiri di sana, memandangku lekat-lekat, seolah mencoba menilai apakah aku sedang membesar-besarkan keadaan.

“Reyhan…” bisiknya pelan. “Aku akan membantumu. Tapi kau harus jujur padaku. Kau harus melawan ini.”

Aku tersenyum miris, menatapnya sekilas dengan pandangan kabur. “Aku sedang berusaha, Nayla. Tapi kau tahu sendiri… sejak awal, aku tak pernah benar-benar kebal terhadapmu.”

Nayla tampak terkejut mendengar kalimat itu, namun ia tidak menanggapi. Ia hanya berdiri di ambang batas antara keberanian dan keraguan.

Dan aku? Aku hanya bisa berharap ia tidak melangkah melewati batas itu… karena jika ia melakukannya, aku tidak yakin aku akan sanggup menahan diriku lebih lama.

***

Nayla memandangi Reyhan yang kini duduk di tepi tempat tidur, tubuhnya menegang, wajahnya memerah, dan napasnya semakin berat. Meski ia tak mengerti sepenuhnya apa yang tengah terjadi, Nayla tahu, ini bukan hal biasa.

Rasa khawatir menumpuk di dadanya. Ia melangkah mendekat, kemudian tanpa banyak bicara, ia menggenggam pergelangan tangan Reyhan.

“Ayo ikut aku,” ucapnya pelan.

Reyhan mengangkat kepala, menatap Nayla dengan sorot mata yang mulai kehilangan kendali. “Nayla… jangan dekat-dekat,” bisiknya, mencoba memperingatkan.

Namun Nayla tetap menariknya bangkit. “Kau butuh ini.”

Tanpa menunggu penolakan lebih lanjut, Nayla membimbing Reyhan menuju kamar mandi. Langkah mereka cepat namun terjaga, menyisakan bunyi-bunyi sepatu basah saat menyentuh lantai marmer.

Begitu memasuki bathroom, Nayla mendorong Reyhan masuk ke dalam area shower. Reyhan hendak berbicara, namun belum sempat ia membuka mulut, Nayla memutar keran dan menyalakan shower.

Air dingin langsung menyembur, membasahi tubuh Reyhan yang masih mengenakan pakaian lengkap. Ia terkejut. Napasnya tercekat. Rambutnya basah, air mengalir menyusuri wajahnya yang sudah memerah karena campuran panas dan bingung.

Nayla berdiri di hadapannya. Hanya berjarak satu langkah. Wajah mereka begitu dekat, hingga Reyhan bisa merasakan hembusan napas istrinya itu.

“Kau butuh ini,” ucap Nayla lagi, lebih tenang. “Air dingin mungkin bisa sedikit membantumu.”

Reyhan menatapnya dalam-dalam, dadanya naik-turun tak beraturan. Sorot matanya mulai berubah, seolah tidak mampu menahan apa pun lagi. Tapi sebelum ia bisa melakukan sesuatu, Nayla berbalik hendak keluar.

Namun gerakan Nayla tertahan. Reyhan, dengan satu tarikan pelan namun kuat, meraih pergelangan tangannya kembali. Dalam sekejap, tubuh Nayla ikut tertarik ke dalam guyuran air.

“Apa yang... Reyhan!” Nayla terkejut, tubuhnya kini basah kuyup bersama Reyhan.

“Jangan pergi,” ucap Reyhan, suaranya nyaris bergetar. “Jangan tinggalkan aku sendirian sekarang.”

Nayla terdiam. Air membasahi wajahnya. Jilbabnya kini menempel di kulit, membingkai wajahnya yang tampak cemas dan ragu.

Reyhan menatapnya penuh, lalu dengan sangat perlahan, ia mengangkat tangannya dan menyentuh sisi wajah Nayla. Ia menatap matanya dalam-dalam, seolah ingin memastikan sesuatu, bahwa ini nyata, bahwa Nayla benar-benar di sana.

Perlahan, tangannya menyentuh bagian atas kepala Nayla. Ia mulai melepaskan jilbab itu dengan hati-hati, memberi ruang bagi wajah yang begitu dirindukannya selama ini untuk terlihat jelas, tanpa batas.

Nayla menatapnya penuh kebingungan, tapi tidak menolak. Bibirnya hendak terbuka untuk berkata sesuatu, namun Reyhan telah lebih dulu mendekat. Ia mencondongkan tubuhnya, hingga bibirnya menyentuh milik Nayla, lembut, pelan, bukan karena dorongan sesaat, melainkan karena rindu yang terlalu lama terpendam.

Ia mencium istrinya dengan perlahan, penuh perasaan. Tangannya menahan kedua sisi wajah Nayla, seolah tak ingin kehangatan itu pergi lagi.

Namun bahkan di tengah ciuman itu, Reyhan masih menahan dirinya. Ia sadar, meski perasaan itu nyata, meski keinginannya kuat, Nayla masih belum sepenuhnya miliknya, bukan dalam hati. Dan ia tak ingin mengulang kesalahan dengan menyakiti wanita itu lagi.

Tubuh Nayla bergeming di tempat. Bibir Reyhan masih menempel lembut pada miliknya, seolah menyampaikan sesuatu yang tak mampu diucapkan dengan kata. Air dingin yang terus mengalir dari shower tidak mampu memadamkan panas yang mulai menjalar di dadanya. Bukan panas fisik semata, melainkan gelombang emosi yang Reyhan ciptakan, gelombang yang pelan-pelan menyeretnya.

Jantung Nayla berdebar cepat. Ada bagian dari dirinya yang terseret, yang mulai goyah. Tatapan Reyhan, sentuhannya yang begitu lembut, bahkan cara ia mencium pun… semuanya seolah menyiratkan rasa yang telah lama terkubur.

Namun tepat ketika dirinya hampir tenggelam dalam pusaran itu, sebuah kesadaran menghantamnya.

Reyhan…

Bukankah Reyhan membencinya?

Bukankah selama ini lelaki itu menolak kehadirannya? Menolak kehangatan apa pun yang ia coba tawarkan?

Nayla tiba-tiba memejamkan mata, mencoba menenangkan gelombang yang mulai tak terkendali dalam dirinya. Sebuah logika dingin menyusup ke dalam benaknya, bahwa semua ini bukan nyata. Bahwa Reyhan tidak sedang mencintainya… hanya sedang dikuasai oleh sesuatu.

Obat.

Ya, teh itu… Reyhan meminumnya. Dan Nayla tahu, kini Reyhan… bertindak di luar kendalinya.

Nayla perlahan mengangkat tangannya dan menyentuh dada Reyhan, mendorongnya pelan. Ia membuka mata, menatap suaminya yang masih memejam, seolah kehilangan arah.

“Reyhan… hentikan,” ucap Nayla, suaranya nyaris hanya bisikan. “Kau tidak sadar apa yang kau lakukan.”

Reyhan membuka mata, dan dalam sepersekian detik, Nayla melihat kilatan kebingungan di sana. Tapi gelombang itu belum reda, mata Reyhan masih menyala, masih menyimpan sesuatu yang menakutkan dan memikat sekaligus.

“Kau pikir aku melakukan ini karena teh itu?” bisik Reyhan, suaranya berat, nyaris tak terdengar karena guyuran air. “Nayla… aku bahkan tidak tahu lagi mana yang nyata, mana yang tidak. Tapi yang aku tahu… aku tidak bisa membiarkanmu menjauh.”

Nayla menggigit bibirnya, menahan air mata yang mendesak keluar. Ia tahu, jika ia tidak kuat sekarang, ia akan tenggelam sepenuhnya. Ia tidak ingin menyerahkan hatinya pada seseorang yang esok hari mungkin akan kembali menatapnya dengan kebencian.

“Aku tidak bisa, Reyhan… aku tidak bisa percaya kalau ini karena kau menginginkanku. Bukan karena pengaruh sesuatu yang menjebakmu,” ucap Nayla tegas, meski suaranya bergetar.

Reyhan menatapnya lekat-lekat, namun tidak menjawab. Tangannya yang tadi memegang lengan Nayla kini melonggar.

Dan Nayla, dengan langkah perlahan, meninggalkan shower yang masih menyala. Gaunnya basah menempel di kulit, jilbabnya telah terlepas, namun ia tidak peduli. Yang penting sekarang, ia harus keluar dari tempat itu. Dari badai yang mulai membutakannya.

Begitu keluar dari kamar mandi, tubuh Nayla menggigil. Namun bukan hanya karena dingin, melainkan karena satu hal yang jauh lebih menyesakkan.

Ia nyaris menyerahkan hatinya… kepada seseorang yang belum tentu benar-benar menginginkannya.

Reyhan berdiri mematung di ambang kamar mandi, tubuhnya masih basah, napasnya tak beraturan. Dalam benaknya, hanya ada satu nama, Nayla. Perempuan itu telah menariknya dari gelombang panas yang membakar tubuhnya, namun kini justru menjauh. Meninggalkannya dengan tatapan yang tidak bisa ia pahami.

Tanpa berpikir panjang, Reyhan melepas kemejanya yang basah dan berlari menyusul Nayla. Tubuhnya seolah bergerak sendiri, tidak mampu menahan dorongan dalam dirinya.

"Nayla!" panggilnya lantang, napasnya berat saat melihat sosok perempuan itu membelakanginya di ambang pintu kamar.

Nayla menoleh dengan wajah terkejut. Belum sempat ia berkata apa pun, tangan Reyhan telah menggenggam lengannya dan menariknya mendekat.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Nayla, suaranya gemetar, namun tidak semata karena takut.

Reyhan tidak menjawab. Ia hanya menatap wajah itu, wajah yang tak pernah bisa ia lupakan sejak kecil. Dengan perlahan, ia mendekat dan kembali mencium bibir Nayla. Ciuman yang lebih lembut dari sebelumnya, bukan karena desakan hasrat, melainkan karena emosi yang tak pernah ia ungkapkan dengan benar.

Nayla sontak mendorong dadanya dengan kedua tangan. “Jangan lakukan ini, Reyhan. Aku… aku bukan Ara.”

Ucapan itu membuat Reyhan terdiam. Napasnya menggantung di tenggorokan.

“Aku tahu,” ujarnya perlahan. “Kau bukan Ara. Kau Nayla.”

Nayla tertegun.

“Kau Nayla,” ulang Reyhan. “Perempuan yang tidak pernah berhenti datang ke rumahku saat semua orang mengusirmu. Yang tetap berdiri saat aku hancur. Dan yang tetap mencintaiku… bahkan saat aku bersikap paling kejam padamu.”

Nayla menunduk. Bibirnya bergetar. Ketika ia mendongak kembali, matanya berkaca-kaca.

Dalam diam, Nayla membiarkan Reyhan merengkuhnya. Dalam pelukan itu, tubuhnya bergetar, bukan karena takut, melainkan karena terlalu lama menahan luka. Ia tahu bahwa mungkin perasaan ini hanya akan berlangsung sementara, karena Reyhan masih belum tahu segalanya. Tentang penyakitnya. Tentang waktu yang mungkin tak lagi panjang.

Namun untuk kali ini, Nayla tidak menolaknya.

Jika kebahagiaan ini hanya sebentar, biarlah. Karena baginya, dicintai oleh Reyhan, meski hanya untuk sesaat, sudah cukup untuk menjadi kenangan yang akan ia genggam sampai akhir.

Malam itu menjadi saksi bisu dari dua hati yang lama saling menyakiti, namun juga saling merindukan. Dalam diam dan pelukan, Nayla akhirnya menyerahkan dirinya kepada Reyhan, bukan karena paksaan, bukan karena rayuan sesaat, melainkan karena ketulusan yang akhirnya tak bisa ia bantah lagi.

Di balik keremangan cahaya kamar, hanya ada desah napas yang berpadu dalam ritme yang sama. Bukan sekadar karena gairah, tetapi karena kerinduan yang terlalu lama dipendam. Malam itu mereka menyatu, tidak hanya tubuh, tapi juga luka-luka yang pernah ditorehkan.

Namun saat Reyhan tertidur dalam pelukannya, Nayla terjaga. Tatapannya kosong menembus langit-langit kamar, sementara jemarinya mengusap pelan rambut Reyhan.

Ia tahu, kenyataan akan kembali datang saat matahari terbit.

"Apa kau akan membenciku lagi... besok pagi?" bisik Nayla lirih, meski Reyhan tak lagi mendengar.

Ia menarik napas panjang. Satu bagian dalam dirinya berkata bahwa malam ini hanyalah pengecualian. Bahwa Reyhan mungkin hanya sedang terpengaruh oleh sisa-sisa perasaan lama atau bahkan oleh teh yang ia minum sebelumnya. Tapi bagian lainnya… berharap, seandainya saja cinta itu benar-benar tumbuh kembali.

Nayla menggigit bibirnya. Matanya mulai basah, tapi ia menahan air mata itu jatuh.

Kalaupun esok Reyhan kembali menjadi dirinya yang dulu, dingin, menjauh, bahkan membenci, maka malam ini akan tetap ia simpan sebagai satu-satunya kenangan indah yang pernah ia punya dengannya.

"Terima kasih... sudah membuatku merasa dicintai, meski mungkin hanya sebentar," bisik Nayla, sebelum akhirnya memejamkan mata.

***

Cahaya matahari pagi menyusup melalui celah gorden, menghangatkan udara kamar yang masih diselimuti sisa keheningan malam. Nayla mengerjapkan mata perlahan. Ia merasakan sepi yang asing, membuat dadanya terasa hampa. Tangan yang semalam menggenggamnya erat, kini tak lagi di sisinya.

Kosong.

Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan kenyataan itu segera menyusup. Reyhan telah bangun lebih dulu… dan pergi.

Perlahan, Nayla mendudukkan dirinya, merapatkan selimut ke tubuhnya yang masih telanjang. Keheningan itu menggigit, seperti ejekan atas harapannya semalam. Satu helaan napas panjang meluncur dari bibirnya. Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan kegundahan yang mulai mencuat.

“Tentu saja,” gumamnya lirih, getir. “Semalam itu… hanya karena teh itu, bukan?”

Belum sempat ia tenggelam dalam pikirannya lebih dalam, suara pintu terbuka pelan mengejutkannya. Nayla refleks menarik selimutnya lebih tinggi, menutupi tubuhnya.

Beberapa pelayan masuk membawa nampan berisi sarapan dan pakaian bersih yang tertata rapi. Salah seorang dari mereka tersenyum sopan dan berbicara dengan suara rendah.

“Selamat pagi, Nyonya. Ini sarapan dan pakaian untuk Anda. Tuan Reyhan berpesan, Anda harus menghabiskan sarapannya dan… hari ini Anda tidak diizinkan pergi ke kantor.”

Nayla menatap mereka dengan dahi berkerut. “Apa… maksudnya?”

Pelayan itu hanya menunduk sopan. “Itu pesan dari Tuan Reyhan. Beliau sudah berangkat lebih awal, tetapi memastikan segala kebutuhan Anda tersedia. Jika ada yang Anda perlukan, cukup panggil kami saja.”

Mereka kemudian meninggalkan ruangan, membiarkan Nayla dalam diam yang lebih pekat dari sebelumnya.

Ia menatap nampan di hadapannya, roti hangat, segelas susu, dan semangkuk sup bening. Semuanya tampak terhidang dengan rapi, seperti… perhatian. Tapi apakah itu hanya sebentuk tanggung jawab? Bukan cinta?

Nayla menggigit bibirnya. Hatinya berdesir antara kecewa dan bingung. Bagaimana mungkin ia berharap lebih, ketika Reyhan bahkan tidak tinggal untuk menatap wajahnya di pagi hari?

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap baju yang dibawa pelayan tadi.

"Jadi ini... caramu menebus semalam, Reyhan?" bisiknya.

Tapi walau perih menyusup, tak ada air mata yang keluar. Nayla hanya diam, duduk di balik selimut, memandang ke luar jendela yang mulai dipenuhi cahaya.

1
Hendri Yani
Luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!