Raka Dirgantara, Pewaris tunggal Dirgantara Group. Tinggi 185 cm, wajah tampan, karismatik, otak cemerlang. Sejak muda disiapkan jadi CEO.
Hidupnya serba mewah, pacar cantik, mobil sport, jam tangan puluhan juta. Tapi di balik itu, Raka rapuh karena terus dimanfaatkan orang-orang terdekat.
Titik balik: diselingkuhi pacar yang ia biayai. Ia muak jadi ATM berjalan. Demi membuktikan cinta sejati itu ada,
ia memutuskan hidup Miskin dan bekerja di toko klontong biasa. Raka bertemu dengan salah satu gadis di toko tersebut. Cantik, cerewet dan berbadan mungil.
Langsung saja kepoin setiap episodenya😁
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky_Gonibala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pura-pura Gagal Scan
Pagi itu cerah. Matahari memancar malu-malu dari balik awan, memberi cahaya hangat ke seluruh sudut Kota. Di Toko Kita Jaya cabang kecil yang terletak di pojokan gang, Raka sudah datang lebih awal dari biasanya. Mengenakan seragam biru dengan celana hitam yang disetrika rapi, ia menyapu halaman depan sambil bersenandung kecil.
"Mas Rakaaa! Aku telat lima menit ya, maaf ya! Soalnya tadi Abang-abang penjual sayur ngasi diskon gede-gedean di awal bulan." teriak Intan sambil terburu-buru membuka gerbang toko.
Raka menoleh sambil tertawa. "Lima menit telat kalau pakai alasan lucu masih bisa dimaafkan, kok."
Intan meletakkan perlengkapan bekal dan tasnya di rak belakang lalu langsung ke kasir, mengaktifkan mesin POS dan mengecek stok uang di laci. Hari ini dia dijadwalkan sebagai kasir pagi. Raka menjadi penjaga rak dan gudang. Tapi sejak mereka mulai sering makan mie kadaluarsa bareng dan saling kirim kertas pesan, suasana toko jadi lebih… romantis, meski tak ada yang mengaku.
Tepat pukul 08.00, pintu otomatis toko berbunyi. Pelanggan mulai berdatangan.
Hari berjalan seperti biasa. Anak sekolah membeli pensil, ibu-ibu membeli deterjen dan minyak goreng. Sampai sekitar pukul 10.00, masuklah seorang wanita muda berpenampilan mencolok. Rambutnya dicat pirang keemasan, memakai sepatu hak tinggi, dan mengenakan rok mini yang terlalu ketat untuk ukuran berbelanja ke toko kelontong.
"Permisi, Kak, ini scan-nya di mana ya?" tanyanya dengan suara yang dibuat-buat manja, sambil mendekati kasir.
Intan menoleh. "Saya bantu ya, Mbak. Mau belanja apa?"
"Aku sih nyari minuman diet, yang kayak kamu juga minum. Tapi lebih diet lagi," jawabnya, melirik dari ujung kepala ke ujung kaki Intan dengan senyum sinis.
Intan menahan diri, mengangkat alis sedikit lalu tersenyum sopan. "Di rak sebelah kiri, deretan paling atas, Mbak. Yang ada tulisan Adem Sari. Kalau butuh bantuan bisa panggil saya." Ucap Intan dengan suara yang sedikit menyindir.
Wanita itu mengangguk malas, lalu berjalan seperti di catwalk ke rak minuman. Tak lama kemudian, ia membawa dua botol air mineral, dua bungkus cokelat mahal, satu botol Adem Sari dan sebungkus tisu basah ke kasir. Intan memindai barang satu per satu. Namun, ketika sampai di tisu basah, alat scanner-nya tiba-tiba berbunyi dua kali dan muncul tulisan: "Barang Tidak Terbaca."
Intan mencoba ulang. Tetap gagal.
"Maaf, Mbak, barang ini kayaknya barcode-nya rusak. Saya input manual ya."
Sebelum Intan sempat menekan tombol input harga manual, wanita itu berkata, "Udah, udah. Gak usah bayar itu. Saya taruh sini aja. Oh ya, kasir di sini bisa senyum dikit gak sih? Biar toko-nya kayak minimarket lain, gitu loh."
Raka yang sedang menata rak cemilan di belakang kasir mendengar suara itu. Ia berhenti, menoleh, lalu berjalan pelan ke arah meja kasir.
"Permisi, Mbak, ada masalah?" tanyanya ramah sambil tersenyum.
Wanita itu menoleh cepat. Seketika matanya berbinar. "Wah! Mas-nya cakep juga ya. Kalau semua pegawainya kayak Mas, saya bisa belanja tiap hari!"
Intan mendadak berdiri tegak. Ada rasa panas yang menjalar dari dada ke pipinya.
"Mbak mau bayar totalnya 47.300, bisa pakai QRIS atau tunai ya," kata Intan datar.
Namun wanita itu justru mengabaikan dan mendekati Raka. "Mas, aku boleh minta nomor HP-nya nggak? Biar nanti kalau aku mau belanja, tinggal WA aja. Sekalian nanya-nanya diskon."
Raka tersenyum kaku. "Saya bagian stok, Mbak. Kalau mau info diskon bisa tanya kasir."
Wanita itu ngotot. "Tapi siapa tahu... Mas-nya bisa kasih diskon khusus, kan?"
Intan menoleh. "Di sini sistemnya semua sama, Mbak. Harga sesuai mesin. Gak bisa tawar-menawar."
Raka menunduk pura-pura sibuk memeriksa bon. Tapi hatinya panas. Ia melihat ekspresi Intan yang menahan jengkel.
"Maaf, Mbak. Saya harus kembali ke rak. Silakan lanjut bayar ya," kata Raka lalu segera pergi.
Setelah wanita itu membayar dan pergi sambil melemparkan senyum genit ke Raka, suasana kasir menjadi sepi. Hanya suara Ac dan Kulkas yang terdengar saling sahut sahutan.
"Mas..." suara Intan pelan.
"Hmm?"
"Kenapa tadi nggak pura-pura salah scan aja? Jadi harga tissue basa itu bisa kita buat 200 ribu, biar dia kapok," kata Intan dengan nada menggoda tapi jengkel.
Raka terkekeh. "Aku bukan programmer alat scan, tapi bisa kok... pura-pura gagal scan. Kapan-kapan kita coba buat pelanggan yang nyebelin aja, ya?"
"Setuju," jawab Intan sambil tersenyum puas.
Hari berlanjut. Tapi interaksi tadi pagi menyisakan rasa yang sulit dijelaskan. Intan mulai merasa... aneh. Dadanya terasa penuh, seperti ada sesuatu yang ingin keluar tapi tertahan. Apakah itu… rasa cemburu?
Malam harinya, setelah toko tutup, Intan sedang menyapu bagian depan toko sambil bersenandung lagu "Suchat Telat Bulan," Raka keluar dari dalam sambil membawa dua cup teh hangat dari dispenser.
"Buat kamu," katanya singkat.
Intan menerimanya. Mereka duduk di bangku kecil dekat parkiran. Jalanan mulai sepi.
"Mas, boleh jujur nggak?"
"Boleh banget. Jujur apa?" tanya Raka
"Aku... agak kesel tadi. Waktu Mbak-mbak itu genit sama Mas. Aku ngerasa kayak... pengen tarik rambutnya aja."
Raka menahan tawa. "Kenapa nggak kamu tarik sekalian?"
"Karena kalau aku tarik, yang malu bukan cuma dia. Aku juga. Aku nggak mau Mas itu ngira aku wanita bar-bar yang kuat seperti wonder woman. Lagipula... aku siapa ya buat marah?"
Raka menatapnya lekat-lekat. "Intan. Kamu itu temen kerja yang paling cerewet, paling ngatur-ngatur, paling hobi maksa aku masak mie, tapi... juga paling aku tunggu tiap pagi."
Intan menunduk. Pipi bulatnya merona merah.
"Jadi kalau kamu marah, boleh kok. Aku malah seneng." ucap Raka sambil tersenyum
Intan mencubit lengan Raka. "Ih, Mas aku terunyu nih!"
Mereka tertawa bersama. Suasana malam terasa ringan, namun hangat. Raka tahu, dia tak butuh alasan besar untuk bahagia. Cukup Intan, cukup tawa itu, cukup... perasaan yang mulai tumbuh meski belum diucapkan.
Beberapa hari kemudian, kejadian “gagal scan” kembali terjadi. Kali ini seorang pelanggan membawa dua sabun mandi, namun harga yang muncul berbeda.
Intan melirik Raka yang berada di dekat kasir. Mereka saling tersenyum, seolah memiliki kode rahasia.
"Maaf, Pak. Sepertinya mesinnya error. Tadi sabunnya satu seharga lima ribu, ini malah muncul tujuh ribu. Tapi tenang, saya input manual ya, sesuai harga benar."
Pelanggan mengangguk senang. Setelah pria itu pergi, Intan menoleh ke Raka.
"Mas, tahu nggak? Aku suka bagian kayak gini. Kita kayak tim detektif scanner error."
Raka tertawa. "Mungkin suatu saat kita bisa buka minimarket sendiri. Namanya ‘Gagal Scan Bahagia’."
"Aduh, panjang amat namanya! Tapi kalau aku yang jadi kasir, boleh deh."
"Mau jadi kasir selamanya?" tanya Raka
"Kalau Mas jadi bos-nya, aku mau."
Raka menatapnya lekat-lekat. Ada sesuatu yang ingin ia katakan. Tapi belum sekarang. Belum.
Malam itu, sebelum pulang, Raka menyelipkan selembar kertas kecil di rak tempat Intan biasa menaru tasnya.
"Untuk Intan,
Kalau kamu marah, cemburu, atau tersinggung... aku seneng. Artinya kamu peduli. Aku juga gitu kok.
Yang pura-pura nggak tahu kalau kamu cemburu."
Intan menemukannya ketika hendak pulang. Ia membaca sambil berdiri di depan motor tukang ojek. Lalu, tertawa pelan.
"Dasar, cowok..."
Bersambung.