Valda yang saat itu masih SD, jatuh cinta kepada teman dari perumahan seberang yang bernama Dera. Valda, dibantu teman-temannya, menyatakan perasaan kepada Dera di depan rumah Dera. Pernyataan cinta Valda ditolak mentah-mentah, hubungan antara mereka berdua pun menjadi renggang dan canggung. Kisah pun berlanjut, mengantarkan pada episode lain hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Achmad Aditya Avery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mi Rasa Cacing Tanah di Malam Hari
Kami berhenti di suatu tempat. Kakak senior membuka kain yang menutupi mata kami. Ternyata imajinasiku salah besar, di sini justru banyak peserta berkumpul. Mereka semua sedang apa? Aku melihat mereka ada yang sedang merayap di tanah. Ada yang sedang memakan sesuatu yang diberikan kakak senior. Ada juga yang sedang menungging dengan kepala menyentuh tanah.
Apa-apaan ini? Semacam ritual?
Aku disuruh merayap di tanah yang seperti bukit, seperti tentara saja, tapi aku mengakuinya, ini sangat menyenangkan. Badan dan baju kami diselimuti cokelat alam tanpa rasa yaitu tanah. Tanah-tanah ini telah mengubah wajah, tubuh, serta baju kami menjadi cokelat. Setelah itu, aku disuruh berlari ke arah kakak senior yang membawa sesuatu di dalam wadah bekas air mineral gelas. Aku penasaran, bentuknya tidak jelas, tapi warnanya cokelat. Aku berpikir itu kotoran hewan tapi yang benar saja kami harus makan kotoran hewan.
“Kamu! Ayo, makan cacing ini!” pinta kakak senior sambil menyodorkan wadah air mineral gelas kepada salah satu dari kami.
“Cacing? Aku tidak mau!” kata salah satu peserta.
Apa benar itu cacing?
Aku mencobanya, saat dilihat bentuknya panjang seperti mi. Hanya saja ada tanah yang menyamarkan penampilannya. Aku tidak percaya ini cacing. Saat memakannya, benda itu sama sekali tidak bergerak. Apa mungkin cacingnya sudah mati? Sepertinya peserta lain melihatku dengan bingung. Mungkin aku aneh, karena tidak menolak sama sekali saat kakak senior memberikan makanan yang dia bilang cacing itu.
“Bagaimana enak cacingnya?” tanya kakak senior.
“Iya Kak, enak,” jawabku.
Enak apanya? Tidak ada rasa begini. Cacing, seperti ini ya rasanya?
Selanjutnya kami dibawa oleh kakak senior menuju tempat kumpulan orang yang sedang menungging. Aku disuruh berbaring dan mengarahkan pandangan mata ke langit. Sekitar sepuluh menit kami semua disuruh seperti ini. Setelah selesai, kami disuruh menempelkan dahi ke tanah.
Aku tidak tahu letak dahi. Ah, mungkin yang ada di kaki.
Aku kira dahi itu adalah lutut karena aku benar-benar tidak tahu. Entah lupa atau benar-benar bodoh. Aku justru menempelkan lututku ke tanah. Tidak sempat melihat sekitar, masih galau dahi itu yang seperti apa?
“Valda! Dahi yang nempel di tanah, bukan lutut!” kata guru silatku.
“Eh ya, iya.” kataku
Gawat ternyata benar yang ada di kaki adalah lutut. Ah, mungkin yang ada di tangan.
“Valda! Itu sikut, dahi itu jidat! Jidat!” teriak guru silatku.
Dasar bodoh. Aku yakin semua yang ada di sini pada tertawa meskipun dalam hati. Dahi saja aku tidak tahu, sepertinya harus belajar lebih giat lagi. Adik kelas di sini bahkan lebih pintar. Aku menempelkan dahi pada permukaan tanah. Kami disuruh menahannya, sambil menungging. Ternyata peserta sebelumnya mengalami perasaan seperti ini juga.
Kenapa harus menungging sih? Posisinya tidak enak. Aku mau buang gas nih. Apa gunanya semua ini?
Akhirnya selesai juga, tanpa sebuah penjelasan untuk menjawab alasan melakukan hal ini, menungging. Anehnya tidak ada seorang pun yang menanyakan alasan dari kegiatan menungging ini. Mereka pasrah, malu, atau mungkin lelah. Itu menurutku.
Setelah itu, kami disuruh mandi di sungai. Ini jam 3 pagi, kacau seperti mandi dalam es. Dingin yang amat menyiksa. Kami di sini sekalian membersihkan baju yang sudah berlumuran tanah. Seharusnya aku tidak ikut mandi di sungai, jika cuma disuruh membersihkan baju saja. Entah ada angin apa, aku justru berenang dengan asyiknya tanpa membuka baju. Ini menyenangkan, tapi setelah selesai, angin yang datang seakan-akan langsung menusuk tubuh dengan cepat. Menyebar ke seluruh tubuh, hingga membuatnya tidak berhenti bergetar.
Setelah semua selesai dengan perjalanan malam. Beberapa peserta laki-laki termasuk kakak-kakak senior justru bermain bola di pagi buta seperti ini. Semua baju digantung di jemuran yang terbuat dari bambu. Percuma saja dijemur, masih pagi begini tidak mungkin kering. Matahari saja belum muncul. Padahal besok pagi pakaian silat itu akan digunakan lagi untuk ujian terakhir kenaikan sabuk.
Tiba-tiba hujan datang. Kami segera memindahkan pakaian silat yang masih basah ke tempat yang tidak terjangkau oleh hujan. Kami bermain bola kembali, menyenangkan bermain bola tanpa baju dan hanya menggunakan bokser di pagi buta seperti ini dengan ditemani hujan yang cukup deras. Menyenangkan, ini menyenangkan. Jika di rumah, mungkin orang tuaku akan mengamuk, tapi di sini aku bebas.
Aku menyukai hal-hal seperti ini. Tidak ada yang khawatir, tidak ada larangan. Semua menikmati waktu dengan tawa, bahkan sepertinya kami tidak memikirkan tentang penyakit-penyakit yang akan datang setelah kami melakukan semua ini. Sekarang sudah jam 4, kami segera bersiap untuk salat Subuh berjamaah. Lagi-lagi harus mandi jam segini. Aku mandi seperti bebek, yang penting wangi sabun terasa, dan seluruh badan terguyur air karena yang antre untuk mandi di depan sudah banyak. Untuk laki-laki hanya ada dua kamar mandi, sementara di sini ada sekitar tiga puluh orang bahkan lebih.
Matahari sudah terbit, kami bersiap untuk ujian tahap akhir. Namun sebelumnya, kami melakukan olahraga terlebih dahulu, sarapan, dan sedikit pengarahan seperti yang biasa dilakukan setiap pagi. Sekitar jam 10, kami kembali mengenakan pakaian silat beserta perlengkapannya. Pakaian silatku basah dan bau. Sepertinya semua juga mengalami hal yang sama.
Kami dibawa ke kolam tempat kemarin sore bermain mencari koin dan juga tempat kakak senior terluka oleh ikan-ikan yang siripnya berduri. Apa ikan-ikannya masih ada? Aku mencoba menenangkan diri. Setelah sampai di lokasi, aku melihat sebuah bambu terpampang di tengah kolam seperti sebuah jembatan. Ternyata kami disuruh menyeberangi bambu itu. Bagi yang berhasil menyeberangi bambu, maka akan langsung mendapatkan sabuk baru mereka. Bagi yang tidak bisa maka dia tidak lulus ujian kenaikan tingkat.
Aku melihat orang pertama yang menyeberangi bambu itu. Dia adalah adik kelasku. Saat dia mulai berdiri di atas bambu, tiba-tiba kakak kelas yang dari tadi berada di dalam air menyiraminya dengan air kolam hingga bambu itu licin, dan akhirnya peserta pertama gagal melewati bambu tersebut, tapi dia masih bisa mengulang lagi setelah giliran peserta terakhir. Selanjutnya giliranku mencoba. Aku berdiri di atas bambu, baru mencapai tengah, tiba-tiba jatuh terpeleset dan mengulang lagi. Selanjutnya giliran kakak senior yang mencoba tapi tetap saja gagal. Hingga peserta selanjutnya, kakak kelas bernama Kak Tesi. Sungguh mengejutkan, dia memang hampir terpeleset tapi dia berhasil melewati bambunya. Bagaikan seorang ninja, dia begitu cepat dan lincah.
Sejauh ini baru ada tiga orang yang berhasil. Putaran berikutnya, kami diberi kemudahan yaitu kami diperbolehkan menyeberang dengan cara merayap atau menggantung di bambu dengan menggunakan tangan dan kaki seperti orang yang sedang lomba panjat pinang, hanya saja ini bukan ke atas, tapi ke depan. Kembali pada peserta pertama. Dia berhasil melakukannya, di berhasil menyeberanginya. Jantungku makin berdebar kencang. Aku takut gagal lagi. Aku mencoba menarik napas yang panjang.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...