Robert, seorang ilmuwan muda brilian, berhasil menemukan formula penyembuh sel abnormal yang revolusioner, diberi nama MR-112. Namun, penemuan tersebut menarik perhatian sekelompok mafia yang terdiri dari direktur laboratorium, orang-orang dari kalangan pemerintahan, militer, dan pengusaha farmasi, yang melihat potensi besar dalam formula tersebut sebagai ladang bisnis atau alat pemerasan global.
Untuk melindungi penemuan tersebut, Profesor Carlos, rekan kerja Robert, bersama ilmuwan lain, memutuskan untuk mengungsikan Robert ke sebuah laboratorium terpencil di desa. Namun, keputusan itu membawa konsekuensi fatal; Profesor Carlos dan tim ilmuwan lainnya disekap oleh mafia di laboratorium kota.
Dengan bantuan ayahnya Robert yang merupakan seorang pengacara dan teman-teman ayahnya, mereka berhasil menyelamatkan profesor Carlos dan menangkap para mafia jahat
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Osmond Sillahi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aksi Penyelamatan (Bagian 1)
Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Di lantai dua “Kopi dan Kata”, lampu ruangan sengaja diredupkan. Jam menunjukkan pukul 22.30. Empat pria dengan penyamaran sempurna kini bersiap sepenuhnya. Tidak lagi ada keraguan, tidak ada waktu untuk gentar.
Mark merapikan rompi anti peluru yang diberikan Denny. Roy memeriksa senjata pendek tak mematikan di pinggangnya. Samuel ... masih sibuk menepuk-nepuk punggungnya.
Denny, yang memperhatikan gerakan itu dari sudut mata, akhirnya tak tahan untuk bertanya.
“Eh, Sam,” katanya sambil mendekat. “Kamu kenapa dari tadi kaya gatal-gatal terus? Nyamuk nggak mungkin nembus rompi, kan?”
Samuel menoleh, lalu menyingkap sedikit rompinya, memperlihatkan deretan koyo cabe yang menempel rapi dari pinggang sampai ke punggung atas.
“Ini senjata rahasia,” jawabnya serius. “Koyo cabe. Sudah tua begini, masuk angin sedikit bisa bikin gagal misi. Belum lagi rematik. Jadi, ini ... proteksi ganda.”
Denny melongo. Roy yang melihat langsung tertawa terpingkal. Bahkan Mark, yang biasanya paling tenang, tak bisa menahan senyumnya.
“Kamu bawa senjata, rompi, dan juga warisan budaya tradisional,” kata Roy sambil menunjuk koyo cabe itu. “Avenger lansia sejati!”
Samuel hanya mengangkat alis. “Hei, jangan remehkan kekuatan koyo. Ini satu-satunya teknologi yang bikin tulang tua ini tetap jalan.”
Tawa mereka mereda perlahan, digantikan oleh keseriusan ketika Roy membuka map dan menunjuk peta lokasi.
“Oke, dengar. Ini rencana malam ini.”
Ia menarik garis pada peta dengan spidol merah.
“Dua anak buahku, Sinta dan Rani. Polwan cerdas, terlatih, dan ... kebetulan sangat menarik, sudah siap. Mereka dilengkapi kamera kecil dan mikrofon tersembunyi di ikat pinggangnya. Rencana mereka: datang ke pos security sebagai kakak-adik yang mengaku korban KDRT. Ceritanya, si kakak habis dihajar suaminya, dan sekarang dengar-dengar si suami sedang selingkuh di sekitar komplek dekat lab. Mereka mau melabrak, tapi takut sendirian, jadi minta dikawal masuk.”
Samuel mengangguk. “Drama klasik yang susah ditolak sama penjaga laki-laki.”
“Persis,” sambung Roy. “Begitu perhatian petugas teralihkan, pintu terbuka, tim utama masuk dari sisi utara. Di saat yang sama, anak buah Denny menyelinap dari jalur pembuangan air belakang, lewat terowongan yang sudah dipetakan.”
Denny menambahkan, “Semua anak buahku sudah di posisi. Yang bersenjata lengkap ada di radius seratus meter dari gedung utama. Mereka bukan untuk menyerang, tapi untuk jaga perimeter. Kalau ada suara tembakan atau alarm, mereka siap netralisir dari luar.”
Mark mengangguk, matanya tajam menatap peta.
“Begitu kita masuk, kita ambil lift ke bawah tanah jam dua belas lewat lima. Yusuf bilang hanya ada dua penjaga saat itu. Kita lumpuhkan dengan tenang. Lalu mulai evakuasi Profesor Carlos dan para ilmuwan.”
“Tapi jangan lupakan satu hal,” ucap Samuel tiba-tiba. “Begitu kita masuk, kita bukan hanya penyusup. Kita saksi. Kita harus dokumentasikan semua. Kamera harus hidup. Buktikan pada dunia bahwa laboratorium itu bukan tempat riset ... tapi penjara ilmuwan.”
Roy mengangguk setuju. “Sinta dan Rani punya perangkat rekam digital. Kita backup semua data mereka. Kalau kita gagal keluar, minimal dunia tahu apa yang terjadi.”
Denny mengangkat dua rompi tambahan dari lantai. “Ini cadangan. Dan ini alat komunikasi mini. Kita pakai kanal khusus. Jangan bicara panjang-panjang. Pakai kode yang tadi kita sepakati.”
Samuel menepuk dada. “Aku siap.”
Roy memutar bahunya. “Aku juga.”
Mark menarik napas panjang. “Kalau malam ini kita gagal, kita akan dikenang sebagai para pejuang bodoh. Tapi kalau berhasil ... kita akan jadi simbol harapan.”
Denny menyeringai. “Atau, minimal ... jadi bahan Netflix buat generasi selanjutnya.”
Mereka tertawa kecil, namun cepat kembali hening.
Jam terus berdetak.
Rencana sudah bulat.
Penyamaran sudah sempurna.
Dan di luar sana, penjaga-penjaga kekuasaan belum sadar bahwa malam ini, empat pria dengan wajah asing dan semangat yang lama tak padam, akan mengguncang fondasi gelap mereka.
***
Mision Start:
Pukul 23.58.
Langit kota pekat seperti tinta, dan jalanan di sekitar kompleks laboratorium kota sudah mulai lengang. Kamera CCTV berputar lambat di sudut-sudut gedung, menyapu area dengan gerakan mekanis tak berjiwa. Tapi di balik semua itu, malam mulai mempersiapkan peristiwa yang tak akan dilupakan sejarah.
Sebuah mobil mini SUV berhenti di depan pos keamanan utama. Dua perempuan turun tergesa-gesa. Yang satu memakai kerudung abu-abu dengan kemeja longgar, mata sembab. Yang satu lagi berdiri tegas di sampingnya, menatap kamera dengan sorot tajam namun penuh kecemasan.
Dua orang yang menjaga pos itu berlari keluar dari pos.
“Mbak, ada apa?” tanya salah satunya.
Sinta, sang polwan, menjawab dengan suara tercekat dan nada gemetar, “Saya ... saya habis dipukul sama suami saya. Dia sekarang lagi sama perempuan lain, katanya di sekitar sini. Saya ... saya cuma mau pastiin! Tapi saya takut ... kalau saya sendirian.”
Rani menimpali, “Kami adik-kakak. Kami cuma mau lihat dari jauh aja, Mas. Tapi ... tolonglah, dampingi sebentar aja. Kami nggak akan lama.”
Ketiga penjaga itu saling pandang, lalu satu dari mereka mengangguk ragu. “Yaudah, sebentar aja, tapi kalian harus daftar di log dulu.”
Sementara itu, di sisi utara kompleks, pintu kecil tak jauh dari unit pendingin bergetar sedikit. Seorang pria bertubuh kekar dengan rambut palsu putih dan brewok rapi muncul dari balik dinding beton.
Roy menempelkan punggung ke dinding, lalu memberi isyarat dua jari ke arah lorong. Mark, Denny, dan Samuel mengikuti di belakangnya, masing-masing mengenakan rompi dan headset komunikasi di telinga.
“Bravo satu masuk,” bisik Roy di radio. “Sasar utama: ruang lift bawah tanah.”
Suara Denny terdengar pelan di radio, “Charlie dua standby di kanal belakang. Jalur pembuangan aman. Penjaga belum sadar. Lanjutkan.”
Mereka bergerak seperti bayangan, menunduk di balik tembok, melompati pagar pendek, dan tiba di titik buta kamera. Di sana, sebuah pintu kecil besi menunggu. Samuel mengeluarkan alat pembuka kunci elektronik. Beberapa detik, dan klik—pintu terbuka perlahan.
“Waktunya menyelinap,” gumam Mark.
Mereka masuk ke dalam lorong servis yang remang, menyusuri jalur sempit yang hanya digunakan teknisi dan staf kebersihan. Bau lembap dan mesin tua mendominasi udara.
“Jam berapa sekarang?” tanya Denny lirih.
“00.06,” jawab Samuel. “Jaga ritme. Kita harus sudah di depan lift sebelum 00.12.”
Di luar, dua penjaga pos masih sibuk menanyai Sinta dan Rani, yang dengan lihai memainkan peran mereka. Rani sesekali pura-pura terisak, sementara Sinta menunduk, tangan meremas ujung bajunya.
“Ini foto suamiku,” ucap Sinta sambil menunjukkan layar ponselnya. “Lihat ... itu dia! Mobil itu! Di sana!”
Penjaga refleks menoleh. “Itu? Oke, ayo kita cek. Tapi jangan terlalu dekat, Mbak. Kita bantu, tapi ini area sensitif.”
“Terima kasih, Mas. Terima kasih banget ...,” kata Rani sambil berjalan di belakang mereka, menekan tombol mikrofon di ikat pinggangnya.
“Perhatian. Objek utama teralihkan. Pintu utama terbuka.”
Di dalam, Roy menekan tombol lift.
Ding.
Pintu terbuka.
Dua penjaga berdiri di dalam. Yang satu sedang menguap, yang satu lagi menatap monitor kecil. Sebelum sempat bicara, Mark dan Denny bergerak serentak. Gerakan cepat, terlatih. Penjaga pertama dipukul di leher, terjatuh. Yang kedua nyaris menjerit, tapi Samuel sudah lebih dulu membungkam mulutnya dengan kain yang sudah dibasahi obat tidur ringan.
“Dua netral,” lapor Roy pelan.
Denny menarik tubuh penjaga ke sudut lift, mengikatnya dengan lakban besar. Samuel memencet tombol bawah tanah.
Lift mulai turun.
Suara derit logam bergema samar di dalam ruang sempit itu.
“Sekali lagi,” ucap Mark pelan, menatap ketiga sahabatnya, “Kita bukan penyusup. Kita pembebas. Jangan ragu.”
Ketika pintu lift terbuka, lorong bawah tanah menyambut mereka dengan cahaya putih pucat dan bau antiseptik. Kamera CCTV di sudut tak menyala. Sesuai laporan Yusuf, saluran itu sering mati saat pergantian shift.
Denny mengangkat tangannya, memberi aba-aba. “Split formasi. Roy dan aku ke ruangan barat. Mark dan Samuel ke sel kiri.”
Langkah kaki mereka tak terdengar, hanya desahan napas dan detak jantung yang terasa semakin keras.
Samuel menoleh ke Mark. “Kalau Profesor Carlos masih hidup ... malam ini kita tarik dia keluar dari lubang neraka ini.”
Mark mengangguk, menggenggam radio di tangannya.
“Tunggu kami, Carlos,” bisiknya. “Kami datang.”