NovelToon NovelToon
Red Thread

Red Thread

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu / Wanita Karir / Trauma masa lalu / Office Romance / Ibu susu
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: About Gemini Story

Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk melupakan—terutama bagi Althea Reycecilia Rosewood, wanita dewasa berusia 27 tahun berparas cantik, dibalut pakaian casual yang membuatnya terlihat elegan, tatapan lembut dengan mata penuh kenangan. Setelah lama tinggal di luar negeri, ia akhirnya kembali ke Indonesia, membawa harapan sederhana 'semoga kepulangannya tak menghadirkan kekecewaan' Namun waktu mengubah segalanya.

Kota tempat ia tumbuh kini terasa asing, wajah-wajah lama tak lagi akrab, dan cerita-cerita yang tertunda kini hadir dalam bentuk kenyataan yang tak selalu manis. Namun, di antara perubahan yang membingungkan, Althea merasa ada sesuatu yang masih mengikatnya pada masa lalu—benang merah yang tak terlihat namun terus menuntunnya kembali, pada seseorang atau sesuatu yang belum selesai. Benang yang tak pernah benar-benar putus, meski waktu dan jarak berusaha memisahkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon About Gemini Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Yang Tidak Diketahui

Pagi itu di mansion megah mereka di Jakarta, suasana masih sepi dan damai. Sinar matahari lembut menembus tirai-tirai putih di kamar utama, menciptakan kilau keemasan yang hangat di sela-sela seprei linen warna gading. Udara pagi membawa aroma khas rumput basah dan embun dari taman belakang, menandakan hari akan cerah. Althea membuka matanya perlahan, membiarkan dirinya menyesap kehangatan yang menyelimuti tubuhnya. Di sebelah kirinya, Al masih tertidur lelap dengan satu tangan memeluk erat Baby Cio yang tertidur nyenyak di tengah-tengah mereka.

Althea menggeleng pelan, bibirnya membentuk senyum kecil. “Kebiasaan banget sih,” gumamnya lirih, mengingat bagaimana Al selalu menyelinap masuk ke ranjang tengah malam, berdalih dirinya kelelahan dan butuh "obat penenang alami"—yakni Thea dan Baby Cio. Padahal Thea sudah berkali-kali menegur, bahkan menyiapkan kembali box bayi di sebelah tempat tidur. Tapi pada akhirnya, seperti pagi ini, tiga tubuh itu tetap bertumpuk rapi di atas satu ranjang king size.

Dengan lembut, Thea bangkit, berhati-hati agar tidak membangunkan dua makhluk menggemaskan di sampingnya. Ia berjalan ke kamar mandi, membasuh diri, lalu mengenakan setelan kerja rapi berwarna pastel. Rambutnya dikuncir longgar, tampilan profesional tapi tetap anggun seperti biasa.

Setelah selesai, ia kembali ke kamar. Cahaya matahari kini menyinari wajah Al dan Baby Cio yang masih terlelap. Thea tersenyum, lalu duduk di sisi ranjang, menunduk dan berbisik lembut, “Al… bangun. Ini sudah pagi.”

Al menggeliat kecil, lalu membuka mata pelan. Matanya langsung menemukan wajah Thea yang kini dekat sekali. “Morning,” gumamnya serak dengan senyum mengembang. “Kau kelihatan seperti mimpi yang manis.”

“Udah, jangan gombal. Mandilah. Aku mau mandikan Cio,” kata Thea sambil mencubit pipinya.

Setelah membangunkan Al, Thea dengan luwes mengangkat Baby Cio dan membawanya ke kamar mandi bayi. Waktu mandikan Cio adalah salah satu momen favoritnya—air hangat, wangi sabun bayi, dan suara gemericik air selalu membuat suasana terasa tenang. Selesai mandi, Baby Cio didekap lembut ke dadanya, dan ia mulai menyusuinya. Proses itu sudah jauh lebih nyaman sekarang, setelah perjuangan induksi laktasi yang cukup panjang beberapa waktu lalu.

Selesai menyusui, Cio sudah mulai mengantuk kembali. Ia menggendongnya keluar kamar, dan saat melewati kamar utama, Al sudah rapi mengenakan kemeja putih dan celana hitam, tengah menyemprot parfum di depan cermin.

“Aku turun dulu, mau siapkan sarapan,” ujar Thea pelan.

“Biar aku yang bawa Cio,” sahut Al sambil tersenyum. Ia menghampiri dan mengambil bayi itu dari gendongan Thea, lalu mencium pelipis Thea sebelum ikut turun ke ruang makan.

Ia menyiapkan omelette keju, potongan buah, satu cangkir susu untuknya dan satu cangkir kopi hitam untuk Al. Tak lama, Al pun turun ke ruang makan sambil membawa Cio dalam gendongan kecil.

“Apakah hari ini kamu ke kantor The?,” kata Al yang masih berdiri menatap Thea.

Thea tersenyum. “Dudukkah dan makan. Iya hari ini aku harus ke kantor.”

Mereka duduk di meja makan, menikmati sarapan bersama. Suasana hangat, penuh keintiman rumah tangga yang pelan-pelan terbentuk.

“Al, sepertinya aku akan pulang sedikit telat,” ucap Thea setelah beberapa menit.

Al mengangkat alis, “Ada masalah?”

“Ya sedikit. Klien dari New York... banyak maunya. Dan mereka semua harus diladeni.”

Al mengangguk, lalu menghela napas. “Ya... klien New York memang... bisa bikin emosi jiwa"

Thea tertawa pelan.

“Baiklah, berangkat dan pulang bersamaku. Nanti aku akan menunggumu,” tawar Al.

Namun Thea menggeleng. “Nggak. Aku bawa mobil sendiri. Kalau kamu nanti nggak sibuk, aku mau minta tolong kamu jagain Baby Cio. Kasihan kalau dia sendiri.”

Al hendak protes, tapi sadar ucapannya tidak akan menang. Apa yang dikatakan Thea benar. Ia mendesah.

“Baiklah. Berangkat bersamaku saja. Nanti kamu pulang diantar supir. Kita nggak tahu kamu selesai jam berapa. Dan aku akan selalu nemenin Cio, bahkan tanpa kamu minta,” jawab Al sambil menatap dalam.

Ucapan itu membuat Thea terdiam sejenak, lalu mengangguk kecil. “Oke.”

Setelah sarapan selesai, mereka bergantian mengecup Baby Cio yang kini berada dalam pelukan nanny-nya. “Mommy dan Daddy kerja dulu, ya, sayang,” bisik Thea.

“Kami cepat pulang, promise,” tambah Al sambil membelai pipi anaknya.

Mereka lalu berjalan beriringan keluar mansion, mobil sedan hitam yang telah siap menunggu di halaman. Di kursi belakang, Thea menoleh sebentar ke arah jendela, melihat wajah mungil Cio yang masih tersenyum digendong nanny-nya. Ada sedikit rasa berat di dada, tapi juga keyakinan kuat bahwa semua ini mereka lakukan demi masa depan yang terbaik. Mobil pun meluncur meninggalkan mansion, menembus jalanan Ibu Kota yang perlahan mulai padat. Hari yang panjang baru saja dimulai.

♾️

Setibanya di kantor pusat MS Corporation Jakarta, Althea dan Al langsung menuju ruang rapat utama. Ruangan itu sudah dipersiapkan dengan layar besar yang menampilkan dokumen proyek Phoenix, bersama dengan daftar revisi terbaru yang diminta oleh salah satu investor besar mereka dari New York—Mr. Bernard Ellington.

Suasana rapat cukup tegang di awal. Investor dari New York menuntut penyesuaian signifikan pada konsep jewel-tech interface yang dipresentasikan pekan lalu. "We need more innovation on the wearable system. The gemstone placement must support the biometric sensors without compromising luxury," ucap Mr. Ellington via video call.

Al—yang duduk di ujung meja—menanggapi dengan tenang. "We’ve reviewed your concerns. Our design team led by Mrs. Rosewood is already working on integrating those revisions using sapphire crystal frames and flexible sensor matrices. You’ll get the updated prototype file by end of the week."

Thea, yang duduk di sisi Al, membuka slide revisi desain terbaru. "Kami sedang menguji struktur logam ringan dengan bentuk yang bisa menyesuaikan gerakan tubuh, tanpa mengubah estetika dan eksklusivitas perhiasan," jelasnya. Tim engineering yang hadir juga menambahkan bahwa pengujian awal menunjukkan integrasi yang stabil antara batu mulia dan microchip yang dipakai.

Meeting berlangsung selama hampir dua jam hingga investor dari New York menyatakan puas dengan kemajuan dan timeline yang diberikan. Setelah itu, semua peserta rapat beranjak dari ruang rapat. Al kembali ke ruangannya untuk bersiap menghadiri satu pertemuan luar kantor, sementara Thea menuju ke Jewellery Design Studio di lantai lima—ruangan yang kini menjadi pusat dari semua pergerakan visual dan teknikal proyek Phoenix.

Studio itu terbagi dalam beberapa zona: area brainstorming dengan papan ide dan moodboard besar, zona digital rendering dengan deretan monitor besar dan tablet grafis, serta satu ruang kedap suara di mana para artisan melakukan simulasi detail ukiran dan finishing perhiasan.

“Alright, kita review lagi revisi dari pagi tadi,” kata Thea sambil meletakkan map transparan berisi cetakan desain terbaru di atas meja besar bundar.

Ia berdiri di depan layar interaktif, memaparkan ulang garis besar revisi dari investor:

Perubahan rangka utama gelang dan kalung menjadi material lightweight titanium alloy yang kompatibel dengan suhu kulit dan tidak mengganggu pembacaan sensor biometrik.

Integrasi sapphire crystal lens sebagai jendela visual sensor yang tersembunyi di balik batu permata—tanpa mengganggu keindahan visual.

Penambahan chip magnetik khusus untuk menyambung dengan sistem NFC dan pengenalan gerak—untuk membuka pintu pintar dan menyimpan data identitas.

Struktur bongkar-pasang (modular frame) untuk memberikan fleksibilitas pengguna mengganti desain permukaan permata sesuai suasana.

“Tim tech kita udah kirim hasil uji sapphire housing. Aku bakal butuh kita retouch bentuk mounting supaya bisa tetap simetris meski housing chip-nya agak lebih tebal,” jelas Thea, menunjuk ke bagian tengah cincin yang menampung microchip biometrik.

“Dan kita juga perlu ganti gold karat tinggi ke rose gold alloy untuk jaga beratnya tetap ringan,” tambahnya. Ia pun langsung membagi tugas, Yuna untuk model 3D ulang, Velda dan Marco mengatur pembacaan warna dan pantulan cahaya, dan Clive fokus di detailing permata sesuai ukuran batu aslinya.

Setelah sesi intens selama hampir dua jam, suasana mulai melunak. Para desainer membuka makanan ringan dan menyetel musik pelan dari speaker bluetooth. Saat itulah Yuna melirik Thea.

“The… Baby Cio gapapa lo tinggal seharian ini?” tanyanya sambil mengunyah biskuit.

“Tenang aja, Al hari ini nggak terlalu sibuk. Dia pulang duluan buat jaga Cio,” jawab Thea ringan, matanya masih di layar.

"Nggak bisa kebayang sih gue… Mr. Moonstone yang biasanya kayak robot CEO… sekarang bisa peluk-peluk bayi," celetuk Velda, sambil memegang kertas blueprint.

“Gila sih, gue juga masih gak bisa bayangin Mr. Moonstone—yang biasanya cuma bilang ‘Good Proceed.’ — sekarang main susuin bayi,” celetuk Marco, disambut tawa pelan semua tim.

Thea tertawa kecil, tapi tak bisa menahan rona merah di pipinya saat mengingat bagaimana pagi tadi Al menyiapkan air hangat sendiri untuk memandikan Cio, dan dengan sabar menyuapi ASI yang ia simpan dalam botol kaca steril di kulkas khusus nursery mereka.

Clive, yang duduk di seberang Thea langsung menyadari, “Eeeh, liat tuh mukanya memerah. Fix nih, cinta terulang kembali!” katanya sambil menunjuk wajah Thea yang makin tersipu.

“Ssst, kerja. Nanti proyek kalian berubah jadi motif hati semua,” balas Thea cepat tapi tetap tersenyum, membuat suasana studio kembali produktif namun hangat.

Sementara itu, di mansion milik Al, suasana jauh lebih tenang namun hangat. Seperti yang dikatakan pada Thea tadi Al hari ini tidak sibuk jadi pulang cepat menemani Baby Cio. Setelah meeting dikantor tadi, hari ini Al hanya bertemu 1 klien diluar lalu setelah itu ia langsung pulang. Walaupun dirumah ada nanny dan pekerja yang lainnya, Al dan thea lebih suka merawat Baby Cio sendiri. Ia langsung naik ke lantai atas dan mendapati Baby Cio sedang digendong nanny. Tapi begitu melihat Al masuk, bayi itu langsung menggeliat dan tertawa, tangannya terulur. Lalu Al meminta nanny untuk menyiapkan perlengkapan mandi baby cio karena jam sudah menunjukan pukul 4 dan ia sendiri yang akan memandikan baby cio, tentu saja Al sudah sangat terampil mengurusi bayi.

Di kamar mandi pribadi mereka, Al dengan sabar memandikan Baby Cio di bak mandi bayi. Air hangat, handuk lembut, dan aroma sabun bayi memenuhi udara.

“Siapa yang ganteng? Siapa yang paling cerewet?” tanya Al sambil menuangkan air perlahan ke tubuh mungil Cio.

Baby Cio mengoceh panjang, tangannya mengepak-ngepak ke air, cipratannya sampai ke baju Al. “Aduh, Daddy mandi juga jadinya nih,” gumam Al sambil tertawa, tangannya tetap sigap menopang kepala dan badan Cio dengan penuh perhatian.

Cio tertawa, air terciprat ke wajah Al, tapi ia tidak peduli. Ia bahkan mengusap lembut kepala Cio dengan sampo bayi, lalu membilasnya perlahan. Setelah selesai, ia angkat tubuh mungil itu dan membungkusnya dalam handuk.

“Waktunya minum susu, hmm?” gumam Al sambil membawa Cio ke nursery room.

Di sana, ia membuka kulkas kecil khusus yang menyimpan ASIP (Air Susu Ibu Perah) milik Thea. Ia mengambil satu botol yang sudah diberi label tanggal, memanaskannya dalam warmer elektrik sambil mengganti popok Cio.

Setelah ASI siap, Al menggendong Cio di posisi semi-rebah, menyuapinya dengan dot botol.

“Enak, ya? Mommy hebat yah…bisa mengurusmu dengan sangat baik bahkan mengurus Daddy juga walaupun mommymu juga kerja dan terkadang harus ke kantor,” bisiknya sambil mengusap kepala baby cio.

"Padahal Daddy sudah menyuruh mommymu untuk fokus saja dirumah tapi memang dasarnya mommymu sangat mandiri dan anti merepotkan orang lain. Mommymu sangat hebat sayang dia selalu ingin berdiri diatas kakinya sendiri. Jadi tugas kita disini mendukung mommy, melindungi mommy, memastikan kebahagiaan mommy, mencintai, menyayangi dan selalu ada untuk mommy." Lanjut Al berbicara dengan Baby Cio yang menghisap dot dengan lahap, lalu menatap mata ayahnya sambil sesekali mengoceh pelan seakan-akan setuju dengan ucapan daddynya itu.

Setelah selesai, Al menyendawakan Cio dan membersihkan mulutnya dengan kain kecil, lalu membawanya keluar ke taman belakang.

Gazebo favorit mereka terletak di atas kolam ikan koi. Al meletakkan bantal besar dan duduk bersila dengan Cio di pangkuannya. Sinar matahari sore menyinari daun-daun yang bergoyang pelan.

Baby Cio yang kini hampir 5 bulan tampak sangat aktif. Ia berceloteh terus-menerus, menatap mata Al, kadang tertawa sendiri seperti baru menemukan hal lucu. Seperti saat ini, Baby Cio mulai berceloteh, tangannya menunjuk ke ikan-ikan yang berenang.

“Yang itu namanya… Mr. Bubble. Yang itu, hmm… Koi-koilah,” sahut Al sok serius.

Baby Cio menjerit kegirangan.

“Oke, oke, kamu nggak suka nama itu? Kita cari nama baru, gimana?” balas Al, membuat ekspresi pura-pura bingung.

Baby Cio makin cerewet, dan Al ikut tertawa. Dan di sanalah, Aleron Rafael Moonstone—CEO tegas yang selalu dihormati dengan jarak—terlihat paling manusiawi, memeluk anaknya, berbicara dengan bahasa bayi, dan tertawa seperti tak ada satu pun tekanan pernah menyentuh pundaknya. Di balik kekuasaan dan reputasi, keluarga kecil itulah dunianya yang sebenarnya.

♾️

Pukul delapan malam, suasana di luar mansion milik Al mulai lengang. Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan pintu utama. Thea melangkah turun dari dalam mobil, mengenakan setelan kerja rapi berwarna pastel. Ia tampak lelah, namun sorot matanya tetap teduh. Supir pribadi yang tadi menjemputnya langsung membantu membawakan tas kerja dan membukakan pintu depan.

Begitu Thea memasuki ruang keluarga yang terletak di sisi kanan foyer utama, langkahnya terhenti seketika. Pandangannya tertambat pada pemandangan hangat di hadapannya.

Lampu ruangan hanya menyala sebagian, menciptakan atmosfer nyaman. Di tengah sofa abu muda berbentuk L, terlihat Aleron duduk bersandar santai mengenakan kaus rumah polos dan celana jogger. Di pangkuannya, Baby Cio yang sudah mengenakan piyama bermotif awan tampak duduk manis, mata bulatnya menatap layar TV lebar di hadapan mereka.

Film Marvel tengah diputar—tepatnya bagian aksi Avengers. Al dengan antusias menjelaskan adegan demi adegan. “Lihat, Cio… itu Iron Man. Dia pakai armor. Tapi dia juga pintar, kaya, dan punya hati besar… kayak Daddy,” bisiknya penuh gaya sok serius.

Cio diam mendengarkan, sesekali matanya berkedip mengikuti gerakan di layar, mulutnya sedikit terbuka seakan benar-benar mengerti. Tangannya menggenggam jari telunjuk Al erat-erat. Mereka tampak tenggelam dalam dunia mereka sendiri.

Thea berdiri diam di belakang sofa, menyandarkan tubuh di ambang dinding, menyaksikan keduanya. Senyum lelahnya tergantikan dengan senyum penuh makna—dan sedikit cemburu yang menggelitik hatinya. Tapi bukan karena marah… hanya karena mereka terlalu manis untuk dilewatkan.

Ia akhirnya bersuara, “Asik banget sampe mommy pulang nggak sadar…”

Al sontak menoleh, mata cokelatnya membulat, “Eh, udah lama The pulangnya?”

Thea hanya menaikkan satu alis sambil melipat tangan di dada. Ekspresinya dibuat-buat dramatis seolah tersakiti.

“Kemarilah, Thea, kita nonton… Seru banget ini…” kata Al cepat, sedikit kikuk, takut kalau benar-benar membuat Thea kesal.

Thea hanya mengangkat bahunya pelan. Tapi sebelum Al bisa menjelaskan lebih lanjut, terdengar suara rengekan kecil dari pangkuannya. Baby Cio mulai merengek, tangannya terulur ke arah Thea, wajahnya cemberut.

Seakan tahu mommynya ‘marah’ karena ia terlalu betah duduk manis dengan daddynya.

Thea tersenyum lembut ke arah Baby Cio “No no, baby… Mommy cuma bercanda. Mommy habis dari luar jadi harus mandi dulu. Nanti mommy ikut nonton, ya?”

Baby Cio tampak tenang kembali. Matanya yang berbinar kembali menatap ke arah film.

“Beneran kamu nggak ngambek?” tanya Al sekali lagi memastikan.

Thea berdiri sambil menghela napas kecil, “Kamu ini… ngapain juga aku ngambek? Aku cuma bercanda.”

Al menghembuskan napas lega, “Syukurlah…”

“Sudah makan belum, The? Kalau belum aku masakin,” tanya Al lagi, menoleh penuh perhatian.

“Tenang aja, aku makan sama timku tadi. Aku kan udah kirim pesan,” jawab Thea sambil melangkah menuju tangga.

Al menepuk dahinya, “Iya, iya, aku malah lupa padahal udah dibales.”

“Baiklah, aku mandi dulu ya. Kalian lanjutin aja,” ucap Thea seraya menaiki tangga ke lantai dua.

Beberapa menit kemudian, Thea turun mengenakan piyama satin berwarna dusty pink yang lembut, rambutnya dikuncir longgar. Ia duduk di samping Al di sofa, aroma chamomile lembut langsung menyambutnya—Al telah menyeduh teh hangat dan meletakkannya di atas meja kecil di hadapannya.

“Untukmu. Biar rileks,” kata Al sambil menyodorkan cangkir.

Thea menerimanya dengan senyum lembut. “Thanks, Al.”

Mereka duduk berdampingan, dan seperti biasa, Al mulai bertanya, “Hari ini melelahkan?”

Thea mengangguk pelan, “Lumayan. Tapi timku solid. Revisi besar tapi nggak seruwet yang kupikir.”

“Klien emosi jiwa itu gimana?”

Thea terkekeh ringan, “Masih keras kepala, tapi dia suka struktur modular yang kubuat. Jadi tinggal urusan teknis aja.”

Obrolan mengalir. Mulai dari pekerjaan, gosip kecil di kantor, hingga lucunya gaya tidur Cio yang sekarang mulai suka tengkurap. Mereka tak sadar waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

Cio, yang tadinya duduk menonton, kini terlelap di dekapan Thea, wajah mungilnya damai.

“Sudah waktunya tidur, ya,” ucap Al pelan, bangkit dan membantu Thea berdiri dengan satu tangan memeluk Cio.

Mereka naik bersama ke kamar Thea. Ya, kamar itu kini tak hanya menjadi tempat Thea sendiri, karena hampir setiap malam Al juga tidur di sana. Ia sudah berhenti pura-pura ‘pulang’ ke kamarnya sendiri.

Thea kini tidak lagi mengusir—bukan karena menyerah, tapi karena terlalu lelah untuk mengatur ulang segalanya. Dan mungkin… karena hatinya perlahan mulai menerima bahwa keberadaan Al bukan hanya sekadar kebetulan, tapi memang ditakdirkan untuk ada di sisi mereka.

Setelah meletakkan Cio di tempat tidur di antara mereka, Al mematikan lampu dan menarik selimut. Ia menoleh pada Thea, menyentuh jemarinya pelan. “Terima kasih untuk hari ini.”

Thea hanya membalas dengan senyum tenang, lalu memejamkan mata. Dan malam itu, dalam kehangatan kamar yang sunyi, satu keluarga kecil itu terlelap… perlahan-lahan menyusun hidup yang baru—tanpa janji besar, tanpa suara keras—hanya dengan kehadiran satu sama lain.

1
Stella
Bagus banget, jadi mau baca ulang dari awal lagi🙂
About Gemini Story: wahhh terimakasih kak 🤗 sehat selalu ya kak🤗
total 1 replies
Jena
Ga nyesel banget deh kalo habisin waktu buat habisin baca cerita ini. Best decision ever!
About Gemini Story: wahh terimakasih kak 🤗 aku seneng ada yang suka sama cerita aku hehe ☺️ sehat dan bahagia selalu ya kak 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!