Di barat laut Kekaisaran Zhou berdiri Sekte Bukit Bintang, sekte besar aliran putih yang dikenal karena langit malamnya yang berhiaskan ribuan bintang. Di antara ribuan muridnya, ada seorang anak yatim bernama Gao Rui, murid mendiang Tetua Ciang Mu. Meski lemah dan sering dihina, hatinya jernih dan penuh kebaikan.
Namun kebaikan itu justru menjadi awal penderitaannya. Dikhianati oleh teman sendiri dan dijebak oleh kakak seperguruannya, Gao Rui hampir kehilangan nyawa setelah dilempar ke sungai. Di ambang kematian, ia diselamatkan oleh seorang pendekar misterius yang mengubah arah hidupnya.
Sejak hari itu, perjalanan Gao Rui menuju jalan sejati seorang pendekar pun dimulai. Jalan yang akan menuntunnya menembus batas antara langit dan bintang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Boqin Changing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kompensasi Untuk Kejadian Kemarin
Di luar, Gao Rui masih berlutut di tanah dingin, yakin gurunya sedang murka besar. Ia mengira Boqin Changing butuh waktu untuk menenangkan diri. Mungkin merenungkan apakah murid sepertinya masih layak dipertahankan atau tidak.
Namun kenyataannya… jauh berbeda. Di dalam kamar, Boqin Changing duduk santai. Ia bahkan tidak terlihat marah sama sekali. Cahaya redup dari lampu minyak memantulkan bayangan lembut di dinding kayu. Di tangannya, sebuah cincin hitam berukir gelombang energi gelap berputar pelan. Itu adalah cincin ruang.
Cincin milik salah satu pendekar bumi aliran hitam yang ia bunuh di dunia luar sebelum memasuki pagoda. Boqin Changing memutarnya di antara jari-jari, matanya dingin namun tenang.
“Sumber daya yang dibawa orang ini… benar-benar gila.”
Beberapa waktu lalu saat memeriksanya ia terkejut. Di dalamnya, ia menemukan banyak sekali tanaman herbal langka, ratusan peti batu giok berisi pil, gulungan teknik rahasia, artefak, pusaka dalam jumlah yang sulit dipercaya, hingga kristal energi yang sudah dimurnikan. Itu jelas bukan cincin ruang biasa, itu gudang sekte.
Rasanya seperti semua sumber daya satu sekte dimasukkan paksa ke satu cincin. Pendekar bumi yang ia bunuh jelas bukan anggota biasa. Ia kemungkinan adalah tetua sumber daya. Orang yang bertugas mengurus pembagian sumber daya untuk seluruh sekte. Orang yang posisinya sangat penting.
Namun Boqin Changing akhirnya tahu satu hal. Semua itu masih belum cukup. Ia bersandar sedikit, memijat pelipisnya.
Ranah pendekar bumi… ranah yang lebih tinggi dari pendekar suci. Setiap kenaikan tingkat di ranah itu bukan sekadar masalah waktu, tapi masalah ketersediaan sumber daya dalam jumlah gila.
Ia sudah merasakannya sendiri. Bertahun-tahun hidup di dalam Pagoda, melakukan pelatihan tertutup dengan sumber daya yang ia kumpulkan dari hasil jarahan cincin ruang para pendekar aliran hitam dan hasilnya? Hanya seribu lingkaran qi tambahan. Hanya itu.
Seribu lingkaran qi terlihat besar. Tapi di ranah pendekar bumi… itu bahkan tidak cukup untuk menembus tahap tengah.
“Sial. Bukan masalah jumlah… tapi masalah kualitas sumber daya. Ranah pendekar bumi… benar-benar rakus sumber daya.”
Ia menutup cincin ruang itu kembali dan menyimpannya. Sumber daya dalam cincin ini sudah hampir habis. Tidak cukup lagi untuk menaikkan kekuatannya.
Lagipula Gao Rui… muridnya sekarang sudah mencapai ranah pendekar ahli. Di usia yang sama, ia sudah jauh melewati rata-rata murid dari sekte besar mana pun di luar sana. Dengan kekuatannya sekarang, ia bisa disebut jenius beladiri. Ia tidak perlu lagi bersembunyi.
Boqin Changing bergumam pelan.
“Sudah waktunya.”
Ia menatap ke luar jendela. Di luar, Gao Rui masih berlutut sendirian di bawah dinginnya malam.
“Kita keluar dari pagoda ini bukan karena aku marah, murid bodoh. Kau butuh dunia nyata untuk bertumbuh. Dan aku… butuh sumber daya lebih untuk meningkatkan kekuatanku.”
Mata Boqin Changing memandang langit-langit kamarnya.
“Sudahlah tidur saja malam ini.”
Langit malam tetap sunyi. Namun sesuatu mengatakan akan ada kejutan untuk mereka berdua dalam waktu yang tidak terlalu lama.
...******...
Hari berganti pagi.
Kabut tipis turun dari puncak gunung, menyelimuti halaman rumah yang sepi. Udara begitu dingin hingga embun membeku di rerumputan. Namun di tengah udara beku itu, Gao Rui masih berlutut di tempat yang sama sejak semalam.
Matanya tampak berat dan merah, kelopak matanya berkedut menahan kantuk. Napasnya berembus pelan, kadang terhuyung karena tubuhnya sudah kelelahan. Tapi ia tetap teguh.
“Guru… aku tidak akan berhenti berlutut sampai kau memaafkanku…”
Ia menggenggam kedua tangannya, menahannya di lutut. Kepalanya sedikit tertunduk namun tetap sadar penuh akan tekadnya.
“…Hoooaammmm.” Tubuhnya goyah sedikit. Rasa kantuk tidak bisa lagi ia lawan. Kelopak mata kanan terpejam separuh, lalu tanpa sengaja matanya melirik ke kiri.
Awalnya ia tidak bereaksi. Namun… berapa detik kemudian, ia menyadari apa yang ia lihat dan kesadarannya langsung tersentak sepenuhnya.
“T-Tidak mungkin!!!”
Di sampingnya, hanya berjarak tiga langkah, berdiri seekor makhluk besar berwarna putih dengan tanduk bercahaya samar. Nafas makhluk itu mengembun di udara dingin. Tatapannya tajam namun tidak mengancam.
Seekor Kuda Bertanduk. Bukan kuda biasa, itu binatang suci dari hutan yang kemarin menolongnya dari Rubah Ekor Sembilan.
“K- Kau!!!!”
Refleks, Gao Rui meloncat mundur dan mengambil posisi bertarung.
“Apa yang kau lakukan di sini!?”
Kuda Bertanduk itu mengangkat kepalanya pelan, tak menunjukkan tanda ingin bertarung. Ia justru menarik napas dalam, lalu berbicara.
“Santai, bocah. Aku tidak datang untuk bertarung.”
Suara itu dalam, sedikit berat, penuh tekanan alamiah seperti gemuruh dalam gua.
Gao Rui memicingkan mata, napasnya masih siaga.
Kuda itu mendengus kecil. Ia melangkah satu langkah maju. Gao Rui otomatis meningkatkan kewaspadaan.
Namun kuda itu justru berkata dengan nada tenang.
“Aku ingin bertemu dengan gurumu.”
Gao Rui menggeram.
“Untuk apa?”
“Untuk bicara. Bukan untuk bertarung.”
“Mana mungkin aku percaya!”
“Mau percaya atau tidak, terserah,” potong kuda itu datar. “Tapi kalau aku berniat buruk, kau sudah mati sebelum sempat bergerak.”
Gao Rui terdiam.
Benar juga, ia bahkan tidak merasakan kapan makhluk itu datang.
Tatapan mata Kuda Bertanduk itu berubah sedikit lebih serius.
“Aku tidak datang sebagai musuh. Aku datang karena…aku hendak menebus kesalahanku kemarin.”
Suasana pagi yang dingin mendadak dipenuhi ketegangan baru. Boqin Changing, yang mereka bicarakan masih tidur nyenyak di kasurnya. Posisi tidurnya aneh dengan kaki yang terulur ke bawah. Kadang-kadang igauan yang tidak jelas muncul dari mulutnya....
“Hmmm... Sate ayam ini enak sekali, Paman...”
...*****...
Sudah dua jam berlalu semenjak kedatangan binatang suci itu, namun pintu rumah tetap tertutup rapat. Gao Rui masih berlutut di halaman rumah dengan mata sayu karena kurang tidur, sementara Kuda Bertanduk berdiri tidak jauh darinya.
“Kenapa gurumu belum keluar juga?” tanya Kuda Bertanduk, “Apakah dia memang suka bangun telat?”
Gao Rui mengangkat kepalanya sedikit.
“Kadang-kadang. Kadang dia bangun lebih cepat dariku, tapi kadang juga dia baru muncul setelah aku selesai berlatih. Mungkin guru sedang melakukan pelatihan tertutup.”
“Oh…” Kuda Bertanduk mengangguk pelan.
Lima belas menit kemudian, pintu rumah itu akhirnya terbuka. Boqin Changing keluar dengan pakaian sederhana, rambut tergerai acak namun entah kenapa tetap tampak berwibawa. Tatapannya langsung tertuju pada Kuda Bertanduk. Pandangannya begitu tajam, sinis, penuh peringatan. Kuda Bertanduk jelas mengerti ia sedang dihakimi.
Gao Rui yang melihat itu langsung pucat. Ia buru-buru menunduk, mengira gurunya sedang menatapnya.
“Gu-guru… aku… aku......”
“Diam,” Boqin Changing memotongnya datar, tanpa menoleh. “Aku tidak sedang berbicara denganmu.”
Gao Rui langsung membeku seperti patung.
Boqin Changing menatap Kuda Bertanduk sambil bertanya dengan nada dingin.
“Binatang suci sepertimu meninggalkan sarangnya dan datang ke tempat ini, apa maksudnya?”
Kuda Bertanduk menarik napas panjang, lalu menundukkan kepala.
“Aku datang… untuk meminta maaf atas kejadian kemarin. Kami… jelas bersalah.”
“Oh?” Boqin Changing menyilangkan tangan. “Dan?”
“Dan… aku membawa kompensasi.” Suaranya terdengar gugup.
Tiba-tiba, entah dari mana, sebuah kotak kayu muncul begitu saja, melayang di udara lalu meluncur ke arah Boqin Changing. Ia menangkapnya dengan mudah, alisnya sedikit terangkat.
“Kompensasi?” ulang Boqin Changing datar.
“Kami berharap kau tidak memperpanjang masalah ini,” kata kuda itu hati-hati. “Hadiah itu berasal dari kaumku untukmu.”
Boqin Changing tidak menjawab. Ia membuka kotak kayu tersebut dan seketika ekspresinya berubah. Tatapan tenangnya bergeser, pupilnya sedikit menyempit, seolah ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“…Ini…” gumamnya. “Dari mana kau mendapatkannya?”
Kuda Bertanduk menunduk dalam-dalam.
“Itu… warisan leluhur kami.”
Gao Rui yang berada di samping hanya bisa menatap kosong, tak paham sama sekali.
“Apa isinya? Kenapa gurunya terlihat terkejut?”