Pada tahun 2086, umat manusia berdiri di puncak kejayaan teknologi. Negara-negara besar bersatu di bawah Proyek Helios — percobaan menciptakan sumber energi tak terbatas dengan memanipulasi ruang dan materi gelap.
Namun pada malam ketika Helios Reactor diaktifkan untuk pertama kalinya, sesuatu terjadi. Langit di atas Samudra Pasifik retak seperti kaca yang dilempar batu. Membentuk celah raksasa bercahaya ungu, berdenyut seperti nadi dunia yang terluka.
Seekor makhluk bersisik emas, bersayap seperti petir, mengaum di atas laut. Lalu menyusul bayangan-bayangan lain: raksasa dari batu, wanita bersayap burung gagak, binatang bertanduk dari legenda kuno.
Nuklir ditembakkan, senjata diluncurkan. Sebuah kedatangan para makhluk mitologi yang mengancam ras manusia berdatangan dan membawa pesan,
“Kalian membuka pintu tanpa izin. Dunia kami hancur karenanya. Kini, keseimbangan harus ditegakkan.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon See You Soon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertandingan Ketiga
Asap perlahan memudar dari arena. Yang tersisa hanyalah puing-puing logam hangus, bekas truk pemadam yang kini menjadi monumen bisu dari keberanian manusia.
Di tribun barat, para manusia berdiri dalam diam. Tidak ada tepuk tangan. Tidak ada sorak kemenangan.
Hanya kesunyian dalam bentuk paling murninya.
Beberapa menunduk, yang lain menggenggam dada, menahan air mata.
Bukan karena kalah… melainkan karena mereka kehilangan pahlawan.
Presiden berdiri tegap di singgasananya, wajahnya keras namun matanya bergetar.
Kerut di keningnya semakin dalam, tanda dari usia dan beban bangsa yang kini ia pikul.
Ia menatap langit, menahan napas yang berat.
“Selamat jalan, Jonatan,” gumamnya pelan.
“Kau bukan hanya penyelamat… kau adalah nyala kecil yang membuat manusia berani menantang langit.”
Johan berdiri di belakangnya, kedua tangannya mengepal erat hingga buku jarinya memutih.
Sorot matanya bukan sekadar duka, melainkan amarah yang tertahan.
Semua perhitungannya, strategi briliannya, racikan ilmiahnya… semuanya runtuh di hadapan kekuatan yang tak bisa dijelaskan logika.
Ia menunduk, lalu berbisik getir,
“Bahkan ilmu pengetahuan pun tak berdaya bila keadilan tak berpihak.”
Di sisi lain arena, di tribun timur, para makhluk mitologi bersorak liar.
Sorakan mereka mengguncang langit. Teriakan kemenangan dari bangsa yang merasa kembali di atas takhta dunia.
Para dwarf memukulkan palu mereka ke batu sebagai tanda kejayaan.
Para troll menumbuk dada sambil tertawa bergemuruh.
Bagi mereka, kemenangan ini bukan sekadar hasil pertarungan, melainkan pembuktian bahwa mereka masih ditakuti.
Namun tidak semua bersuka cita.
Yue, sang Huli Jing muda, masih berdiri di atas balkon itu.
Wajahnya muram, matanya mengikuti bayangan naga yang terbang menjauh.
Ia menunduk, bulu ekornya bergetar halus dalam keheningan.
“Manusia itu... mereka kalah, tapi tidak hancur,” gumamnya lirih.
Untuk pertama kalinya, Yue merasa sesuatu yang tak ia mengerti. Rasa hormat kepada makhluk fana.
Di tengah singgasana, Sang Virgo menatap timbangannya yang masih berayun pelan, seolah belum rela berhenti.
Tatapannya lembut, tapi matanya menyiratkan kelelahan batin.
“Keberanian manusia menambah berat di sisi yang tak terukur,” bisiknya pelan.
Ia menatap Presiden dari kejauhan, seolah ingin berkata sesuatu, namun memilih diam.
Dan di atas semua itu, The Ancient One berdiri dengan gagah dan bangga.
Sayap emasnya terbentang, menampakkan wibawa yang menindas.
Ia menatap langit Colosseum dengan senyum kemenangan, sementara cahaya dari pilar surya di belakangnya menyoroti wajahnya yang seperti diukir dari marmer surgawi.
“Beginilah seharusnya dunia berjalan,” katanya dalam bahasa para dewa, “kekuatanlah yang menulis takdir.”
Sorak-sorai terus berlanjut, gema kemenangan menembus awan.
Namun tiba-tiba, di tengah keramaian yang menggila itu. The Ancient One merasakan sesuatu.
Desiran angin aneh berhembus di dekat telinganya, dingin, tajam, dan berbisik dengan suara yang tak asing.
“Aku tahu kau berbuat curang, Burung.
Dan aku akan membalasnya… di pertandingan berikutnya.”
Seketika senyum di wajahnya lenyap.
Matanya menyipit, sayapnya mengepak pelan, menciptakan getaran kecil di udara.
Ia menoleh cepat ke kanan, lalu ke kiri. Tak ada siapa pun.
Hanya udara kosong, hanya kerumunan yang bersorak tanpa sadar apa yang baru terjadi.
Namun, di balik tatapan tenang The Ancient One, ada bayangan kegelisahan.
Siapa yang berani menantangnya dengan begitu berani dan begitu halus?
Cahaya di langit Colosseum perlahan meredup.
Sorak kemenangan memudar menjadi gema jauh.
Dan di tengah keheningan itu, terdengar lagi bisikan samar dari angin…
seolah ada sesuatu atau seseorang yang mulai bergerak di balik tabir langit.
Pertandingan ketiga… akan segera dimulai.
...****************...
Colosseum Langit — Sebelum Pertarungan Ketiga
Dua kekalahan beruntun membuat wajah Presiden tampak lebih tua dari biasanya. Kerut di dahinya bukan sekadar tanda usia, melainkan simbol beban seluruh umat manusia yang kini bertumpu di pundaknya. Ia duduk diam di singgasananya, Singgasana Teknologi, yang dinginnya logam seolah ikut menyalin rasa putus asa di hatinya.
Tangannya memijat pelipis, bukan karena pening, tetapi demi menenangkan syaraf-syaraf kepalanya yang tegang agar pikirannya tetap jernih di tengah badai kegagalan.
Di sisi lain, Johan berdiri tegak di belakangnya, diam namun gelisah. Ia menatap sang Presiden dengan mata yang menyimpan iba dan rasa bersalah. Rencana paling brilian yang mereka susun bersama untuk mengalahkan naga berkepala dua, panggung yang dihiasi tanaman racun, semuanya hancur dalam sekejap oleh amarah sang makhluk purba.
Kini Johan hanya bisa berdiri dalam diam, merasa seperti seorang prajurit tanpa guna di hadapan tuannya.
Dari sisi seberang arena, The Ancient One bersandar malas di Singgasana Surya miliknya. Zirah emas di dadanya berkilau memantulkan sinar matahari buatan Colosseum, sementara senyum congkak tergurat jelas di paruh wajahnya yang menyerupai garuda.
Ia menikmati pemandangan penderitaan manusia sebagaimana raja memandangi caturannya yang hampir kalah. “Ah… lihatlah,” gumamnya lirih, “bahkan cahaya peradaban mereka meredup di bawah bayangku.”
Di balik barisan kursi marmer, bangsa elf berdiri dengan kepala tegak. Dua kemenangan atas kubu manusia telah membuat mereka mabuk akan kemenangan. Lagu puji-pujian untuk Sang Ancient One menggema di seluruh Colosseum; suara para penyanyi elf begitu merdu, seolah setiap nada mampu mengguncang jiwa makhluk fana yang mendengarnya.
Nada-nada itu bergulung di udara, melambung hingga ke langit arena, mengiringi setiap langkah Ancient One saat ia berdiri.
“Untuk pertandingan berikutnya…” suaranya berat, dalam, menggema hingga ke seluruh penjuru Colosseum. “Dari kubu mitologi, aku menitahkan seseorang dari ras kalian, wahai Bangsa Elf. Aku akan memanggil… Sang Pangeran Cahaya ke-XIV dari Kerajaan Elf yang Agung!”
Sorak sorai memecah langit.
Ribuan elf menjeritkan nama pangeran mereka dengan kebanggaan yang membara. Cahaya keemasan menari dari tongkat-tongkat sihir yang mereka acungkan tinggi, menerangi wajah-wajah penuh keyakinan.
Di sisi manusia, Presiden hanya bisa memejamkan mata sesaat, lalu tersenyum tipis.
“Cahaya, ya…,” gumamnya pelan, “mungkin cahaya akan lenyap bila malam datang. Aku tahu siapa yang bisa memadamkannya.”
Johan yang mendengar nada yakin itu, segera menatap atasannya penuh tanda tanya.
“Apakah Anda sudah menemukan kandidat yang tepat untuk pertarungan berikutnya, Pak?” tanyanya dengan suara rendah namun penuh hormat.
Presiden membuka matanya, sorotnya tajam kembali.
“Seseorang yang hidup di antara bayangan, yang menjadikan kegelapan sebagai sekutunya. Ahli dalam penyusupan, sabotase, dan pengintaian… Dialah yang mampu menghadapi keangkuhan elf dengan kesunyian yang mematikan.”
Ia menatap Johan, lalu menambahkan dengan nada tegas,
“Mintalah arena diubah menjadi malam yang abadi tanpa bintang, tanpa rembulan. Biarkan gelap itu menjadi temannya.”
“Baik, Pak,” jawab Johan, menunduk. “Namun, dengan kriteria sehalus itu… apakah Anda maksudkan seseorang dari pejuang bayangan Timur Tengah? Atau mungkin cucu veteran perang Vietnam yang ahli menelusuri terowongan bawah tanah?”
Presiden tersenyum samar. Senyum seorang pemimpin yang mulai menemukan kembali bara keyakinannya.
“Tidak, Johan,” ucapnya pelan, namun berwibawa.
“Yang kumaksud… adalah seseorang dari negeri matahari terbit.
Seorang yang telah mempelajari seni bayangan dan kematian selama berabad-abad.”
Ia berdiri, menatap ke arah The Ancient One di kejauhan.
“Untuk menghadapi Sang Pangeran Cahaya dari Elf… aku akan mengirim seorang Shinobi.”
Ni mungkin lebih alami dan baik kalo dirimu gak maksa make gpt buat proofreading paksa
Jangan dipaksa, manual aja, suruh dia koreksi/nyari typo, habis tuh benerin sendiri manual, kelihatan entar kemampuanmu yang asli ama kagak
mampir nih .
peperangan di abad serba canggih yah !