Revana Arnelita...tidak ada niatan menjadi istri simpanan dari Pimpinannya di Kantor. namun kondisi keluarganya yang mempunyai hutang banyak, dan Ayahnya yang sakit-sakitan, membuat Revana menerima tawaran menjadi istri simpanan dari Adrian Wijaksana, lelaki berusia hampir 40 tahun itu, sudah mempunyai istri dan dua anak. namun selama 17 tahun pernikahanya, Adrian tidak pernah mendapatkan perhatian dari istrinya.
melihat sikap Revana yang selalu detail memperhatikan dan melayaninya di kantor, membuat Adrian tertarik menjadikannya istri simpanan. konflik mulai bermunculan ketika Adrian benar-benar menaruh hatinya penuh pada Revana. akankah Revana bertahan menjadi istri simpanan Adrian, atau malah Revana menyerah di tengah jalan, dengan segala dampak kehidupan yang lumayan menguras tenaga dan airmatanya. ?
baca kisah Revana selanjutnya...semoga pembaca suka 🫶🫰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Bab 16
Lorong rumah besar itu sepi. Adrian melangkah pelan setelah memastikan Alesya dan Andrew sudah tertidur lelap di kamar masing-masing. Ia menatap wajah polos anak-anaknya yang begitu tenang, lalu menghela napas panjang.
Setelahnya, ia berjalan menuju kamar utama. Tangannya sempat ragu ketika hendak mengetuk pintu. Namun akhirnya ia beranikan diri.
Tok… tok… tok…
Maria yang sudah siap mau tidur, terpaksa beranjak, segera ia membuka pintu.
“Adrian? Ada apa malam-malam begini? Anak-anak sudah tidur kan?” tanya Maria, wajahnya penuh keheranan.
Adrian mengangguk.
“Sudah, Ma. Aku ingin bicara sebentar dengan Ayah dan Mama . Boleh?”
Gerald yang tengah duduk membaca buku di kursi santai menoleh.
“Masuklah, Nak. Duduk.” sahutnya cepat.
Adrian masuk, lalu duduk berhadapan dengan kedua orangtuanya. Suasana hening sesaat, hanya terdengar detik jam dinding. Adrian tampak gelisah, tangannya saling meremas.
“Kamu bikin Mama khawatir, Adrian. Apa ada masalah di kantor? Atau soal Nadya?” tanya Maria penasaran.
Adrian menatap mereka dengan sorot mata mantap meski wajahnya menegang.
“Bukan soal kantor, Ma. Dan… ya, memang ada hubungannya dengan Nadya. Malam ini aku ingin jujur. Kalau...Aku… berniat mau menikah lagi.”
Maria spontan terperanjat, menutup mulutnya dengan tangan.
“Apa yang kamu katakan, Adrian?! Menikah lagi?”
Gerald menatap tajam putranya, berusaha menahan keterkejutannya.
“Wanita siapa yang membuatmu berpikir sejauh itu?”
Adrian menunduk sesaat, lalu perlahan menjawab.
“Revana. Dia sekretarisku yang baru beberapa bulan bekerja. Aku merasa Dia berbeda… sederhana, tulus, dan membuatku merasa dihargai sebagai seorang pria, bukan hanya sebagai mesin pencetak uang. Aku tahu ini terdengar gila, tapi aku serius.”
Maria menggeleng, wajahnya tegang.
“Tapi kamu sudah beristri, Adrian! Bagaimana dengan Nadya? Bagaimana dengan anak-anakmu?”
Adrian menghela napas panjang, namun sorot matanya tajam penuh kemantapan hati.
“Justru karena anak-anak aku bertahan selama ini, Ma. Dengan Nadya… rumah tangga kami sudah lama hampa. Tidak ada lagi kehangatan. Yang tersisa hanya pertengkaran atau diam-diaman. Aku lelah… dan aku tidak ingin selamanya hidup dalam kepalsuan.”
Gerald masih menatap Adrian dengan sorot tajam penuh pertimbangan, sementara Maria menunduk, bingung antara marah dan iba.
“Adrian… kalau kamu benar-benar serius dengan ucapanmu malam ini, berarti jalan yang akan kamu tempuh bukan sekadar keputusan pribadi. Itu menyangkut nama baik keluarga kita. Kamu harus benar-benar yakin… apakah ini cinta, atau hanya pelarian.” kata Gerald penuh penegasan.
Adrian menatap ayahnya penuh keyakinan.
“Aku yakin, Yah. Aku tidak ingin lagi menipu diriku sendiri.”
Maria menatap anaknya dengan wajah cemas, jantungnya berdegup kencang. Wanita paruh baya itu duduk di sisi ranjang, memandang Adrian dengan sorot bercampur antara bingung, cemas, dan ingin tahu lebih dalam. Tangannya meremas kain dasternya sendiri, seolah menahan emosi.
“Kalau begitu, Adrian… ada satu hal yang Mama minta. Kalau kamu benar-benar serius dengan gadis itu, Mama ingin melihat dan mengenalnya sendiri. Mama tidak bisa hanya mendengar dari mulutmu saja. Mama ingin tahu siapa dia, bagaimana sikapnya, dan apakah dia memang pantas untukmu… dan pantas untuk anak-anakmu, jika sifat dan kelakuannya tidak jauh berbeda dengan Nadya, Mama tak akan menginjinkan..sudah cukup Nadya saja yang membuat Mama pusing.”
Adrian mengangguk pelan. Wajahnya tegas, seakan sudah memperkirakan permintaan ini.
“Ya, aku akan membuat Mama dan Ayah mengenalnya secara natural, Aku tidak ingin sembunyi-sembunyi. Justru aku ingin kalian melihat sendiri, dia bukan sekadar wanita yang menggoda laki-laki beristri. Dia berbeda… dia tulus, bahkan sebenarnya dia menolak untuk aku nikahi, tapi aku tak akan menyerah untuk mendapatkan dia, karena aku yakin dia sebenernya juga ingin bersamaku.”
Gerald masih berdiam, menatap Adrian dengan pandangan penuh kalkulasi.
“Kamu harus ingat, Adrian. Kalau memang gadis itu seperti yang kamu katakan, dia akan diuji. Tidak mudah menjadi bagian dari keluarga kita, apalagi dalam posisi seperti ini. Siapkah dia?”
Adrian menatap ayahnya penuh keyakinan.
“Biarkan aku yang pastikan itu, Yah. Aku sudah punya rencana. Waktunya akan segera tiba.”
Maria menghela napas panjang, matanya masih menyimpan kegelisahan.
“Aku tidak ingin cucu-cucuku terluka, Adrian. Itu saja yang paling penting. Kalau kamu ingin membawa gadis itu ke hadapan Mama… pastikan dia benar-benar tulus, bukan hanya demi uang atau kenyamanan.”
Adrian mendekati ibunya, lalu menggenggam tangannya dengan lembut.
“Percayalah, Ma. Revana bukan tipe wanita seperti itu. Aku tahu dia berbeda. Nanti, kalian akan lihat sendiri.”
☘️⚘️☘️
Suasana kantor pagi itu berjalan normal, hingga Adrian memanggil Revana masuk ke ruangannya.
Revana sempat merasa tegang, tapi ia mencoba tetap profesional.
Adrian menatap Revana penuh arti.
“Revana, kamu tau sendiri, hari ini jadwalku padat. Supir Andrew sedang izin, dan Mbak Sari juga sedang pulang kampung. Aku mau kamu yang jemput Andrew di sekolah.”
Revana menatap Adrian dengan wajah ragu.
“Saya, Pak? Tapi… apa tidak ada yang lain? Saya takut Andrew tidak nyaman dengan saya.”
Adrian menggeleng pelan, menyelipkan senyum samar.
“Andrew anak yang pintar, dia cepat dekat dengan orang yang tulus. Aku percaya kamu bisa. Anggap saja ini bukan hanya tugas, tapi kesempatan untuk mengenal anakku lebih dekat.”
Revana terdiam, hatinya terasa berdebar. Ada sesuatu yang aneh dari cara Adrian bicara, tapi ia tidak berani membantah.
Revana menghela napas.
“Baiklah, Pak. Saya akan menjemput Andrew.”
Adrian tersenyum puas. Dalam hatinya, rencana berjalan mulus.
Beberapa saat kemudian.
Revana sudah menunggu di depan gerbang sekolah. Tak lama kemudian, Andrew keluar sambil menggandeng tasnya. Tatapannya sempat bingung ketika melihat Revana.
Segera Revana mendekat dan berjongkok agar sejajar dengan anak itu.
Revana tersenyum hangat.
“Hai Andrew, aku Tante Revana, sekretaris Papi Adrian. Hari ini Tante diminta Papi untuk jemput kamu. Pak Supir dan Mbak Sari sedang ijin pulang kampung.”
Andrew menatap sebentar, lalu tiba-tiba tersenyum lebar.
“Ooh… Tante Revana ya? Kak Alesya pernah cerita tentang Tante. Katanya Tante baik dan cantik sekali.”
Pipi Revana langsung memerah mendengar itu, ia hanya tersenyum canggung.
“Ah… masa sih? Kak Alesya bisa saja.”
Andrew tertawa kecil, lalu menggandeng tangan Revana dengan percaya diri.
“Kalau begitu, ayo kita pulang ke rumah Oma. Aku mau kasih tahu Oma kalau aku dijemput Tante Revana.”
"Kerumah Oma ?" tanya Revana menatap Andrew bingung.
"Iya Tante, sekarang aku dan Kak Alesya tinggal di rumah Oma, karena di sana lebih menyenangkan daripada dirumah Mama." jawab Andrew polos.
Revana mengangguk mengerti, bersamaan dengan itu notif pesan di ponselnya berbunyi. Adrian mengirimkan share lokasi alamat rumah orangtuanya.
Hati Revana berdegub kencang, ia belum siap bertemu dengan kedua orangtua Adrian, tapi dia juga tak bisa menghindar. Senyuman Andrew yang duduk di sampingnya seolah memaksanya untuk terus melakukan tugas yang Adrian perintahkan.
⚘️
⚘️
⚘️