Seorang wanita muda dengan ambisinya menjadi seorang manager marketing di perusahaan besar. Tasya harus bersaing dengan Revan Aditya, seorang pemuda tampan dan cerdas. Saat mereka sedang mempresentasikan strategi marketing tiba-tiba data Tasya ada yang menyabotase. Tasya menuduh Revan yang sudah merusak datanya karena mengingat mereka adalah rivalitas. Apakah Revan yang merusak semua data milik Tasya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Healing
Keesokan paginya, suasana kantor terasa berbeda. Semua karyawan masih terbawa euforia keberhasilan acara besar yang kemarin digelar. Ruang rapat dipenuhi wajah-wajah ceria ketika Pak Arman, pemilik perusahaan sekaligus direktur utama, berdiri di depan dengan senyum puas.
"Kerja kalian luar biasa," ucapnya mantap. "Acara kemarin berjalan sukses berkat kerja keras tim marketing. Sebagai bentuk apresiasi, aku ingin kalian semua menghabiskan akhir pekan ini di sebuah villa di Puncak. Anggap saja hadiah kecil dari perusahaan untuk melepas penat."
Sorak-sorai langsung terdengar. Wajah Fira dan Tasya ikut berbinar, seakan beban yang mereka pikul selama berminggu-minggu terbayar lunas.
"Ya ampun, Tas!" bisik Fira sambil menggenggam lengan sahabatnya. "Kita bisa kabur sejenak dari rutinitas, akhirnya!"
Tasya tersenyum tipis, merasa ikut senang meski ada sedikit kegelisahan yang tak bisa ia ceritakan. Setidaknya, liburan ini bisa memberinya jeda dari semua pikiran yang menyesakkan.
---
Sabtu pagi, halaman kantor sudah penuh dengan tawa riang. Karyawan tim marketing berbaris memasukkan koper ke dalam bagasi, suasana penuh semangat menyambut liburan ke Puncak.
Revan berdiri di depan semua orang, memberi arahan dengan suara tegas.
"Jalan ke Puncak padat dan banyak tikungan. Jadi tolong pengemudi jangan ada yang ugal-ugalan. Kita pergi bareng, harus pulang bareng juga. Kalau capek, berhenti. Jangan maksa. Kita bisa chat di group whatsapp kalau ada apa-apa."
"Siap, Pak!" jawab beberapa orang hampir serempak.
Setelah itu, daftar mobil mulai dibacakan. Semua orang saling bersorak ketika tahu kelompoknya masing-masing. Tapi begitu mendengar namanya disebut, Tasya menegang.
"Mobil ketiga, Revan dan Tasya."
Tasya langsung melirik Fira dengan wajah kaget. "Apa? Kok aku bareng dia?" bisiknya panik.
Fira sama-sama terkejut. "Seriusan? Aku kira kita pasti satu mobil, Tas!" Nada kecewanya jelas terdengar.
Aldo yang mendengar dari belakang spontan mengernyit, rahangnya mengeras. Ia bahkan sempat menghela napas kasar, jelas tak suka dengan pengumuman itu.
Tasya buru-buru menghampiri panitia yang membacakan list. "Maaf, boleh tukeran mobil nggak? Aku sama Fira biasanya barengan."
Si panitia menatap bingung, lalu menggeleng. "Waduh, maaf banget, Tasya. Itu list sudah fix dari atasan. Kami nggak bisa ubah."
Tasya terdiam, hatinya makin berdebar. Ia tahu persis siapa atasan yang dimaksud. Matanya otomatis menoleh ke arah Revan, yang berdiri tenang tak jauh dari sana, seolah tidak ada yang salah.
Fira meremas lengan Tasya pelan. "Tas, aku bener-bener nggak suka ini."
"Aku juga," bisik Tasya getir.
Tapi mau bagaimana lagi? Keputusan sudah dibuat. Dan saat Revan dengan santai membuka pintu mobil untuknya, Tasya hanya bisa menghela napas berat.
Dengan langkah terpaksa, ia masuk ke dalam mobil. Wajahnya jelas menunjukkan kalau ia tidak bahagia dengan situasi itu.
Revan menutup pintu dengan ekspresi tenang, lalu masuk ke kursi kemudi. Tak ada kata-kata, tapi jelas sekali, semua berjalan sesuai rencananya.
Hujan deras membuat laju mobil tersendat. Wiper terus bergerak bolak-balik, menyingkirkan butiran air yang jatuh tanpa henti. Suasana di dalam mobil justru hening, hanya suara hujan dan sesekali klakson dari kendaraan lain yang terdengar.
Tasya melipat tangan di dada, tatapannya lurus ke depan dengan wajah cemberut. Hatinya masih panas mengingat ucapan Revan semalam.
Akhirnya ia tak tahan lagi.
"Revan, aku nggak ngerti kenapa cuma kita berdua di mobil ini. Mobil lain isinya rame-rame, ada yang berempat, ada yang berenam. Kenapa aku harus sendirian sama kamu?" tanyanya ketus, alisnya bertaut.
Revan melirik sekilas, senyum tipis muncul di wajahnya. "Biar kamu nyaman."
Jawaban itu membuat Tasya makin jengah. "Nyaman? Aku malah nggak nyaman. Apalagi setelah semalam …" kalimatnya menggantung, pipinya merona tanpa ia sadari.
Revan tetap sabar, tangannya meraih tombol AC lalu mengecilkan suhunya. "Aku nggak maksud bikin kamu nggak enak. Aku cuma … pengen kamu bisa istirahat sepanjang jalan. Nggak terganggu sama yang lain."
Tasya mendengus, menoleh ke jendela. "Kamu itu selalu seenaknya. Kenapa harus aku yang kamu atur-atur?!"
Alih-alih tersinggung, Revan justru terkekeh pelan. "Kalau aku nggak peduli sama kamu, aku nggak bakal repot-repot ngatur begini, Sya."
Tasya terdiam. Jantungnya berdebar kencang, tapi gengsi membuatnya tetap pasang wajah masam. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha keras menepis rasa hangat yang diam-diam menyelinap ke hatinya.
Revan meliriknya sekali lagi, senyumnya tak hilang. "Kamu marah pun tetep keliatan manis."
Tasya spontan menoleh, matanya membesar. "Revan!" serunya.
Revan hanya tertawa kecil, kembali menatap jalanan. Suasana kembali hening, tapi kali ini bukan karena canggung, melainkan karena Tasya sibuk berperang dengan perasaannya sendiri.
"Sya, aku itu beneran sayang sama kamu. Dan aku yakin kamu juga ngerasain hal yang sama kayak aku," ucap Revan tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya.
Tasya menatap Revan. "Ngerasain hal yang sama? Jadi maksud kamu, aku juga sayang sama kamu? Gitu?" sahut Tasya yang ujungnya malah dia tertawa karena Revan sangat percaya diri.
Revan melirik sekilas, sudut bibirnya terangkat tipis. "Dari cara kaku natap aku juga udah kelihatan, Sya, kalau kamu itu juga sayang sama aku."
Tasya mengerjap, jantungnya berdegup tak karuan. "Kamu … pede banget, ya?"
"Bukan pede," jawab Revan santai, tatapannya tetap ke jalan. "Aku cuma yakin. Hati nggak bisa dibohongin."
Tasya mendengus, berusaha menutupi wajahnya yang mulai panas. "Kamu tuh ngeselin. Kenapa sih selalu ngomong seenaknya?"
"Karena aku bisa ngerasain itu, Sya." Revan akhirnya menoleh sekilas, matanya teduh. "Aku udah bilang, aku beneran sayang sama kamu, Sya. Dan aku serius mau buat kamu bahagia terus. Aku mau kita sama-sama terus, bukan cuma saat bahagia, tapi juga saat ada rasa hancur. Aku mau kita bagi itu sama-sama, Sya."
Tasya tercekat. Kata-kata itu menancap terlalu dalam, membuatnya kehabisan kalimat balasan. Bibirnya hanya mampu terbuka sedikit, tapi tak ada suara keluar.
Suasana di mobil tiba-tiba terasa hangat dan asing bagi Tasya. Hangat karena ia tahu Revan tulus, tapi asing karena ia belum siap menerima perasaan itu. Lebih tepatnya karena dia takut melukai Revan.
"Kalau aku nggak suka sama kamu tapi suka sama cowok lain, gimana?" tanya Tasya asal.
"Nggak boleh. Kamu cuma boleh suka, sayang, cinta cuma sama aku. Yang lain nggak boleh," sahut Revan seperti anak kecil yang posesif.
Tepat ketika hening itu nyaris membuat Tasya menyerah membuka hatinya, suara klakson panjang membuyarkan suasana.
Dari balik derasnya hujan, lampu besar sebuah truk tampak berayun liar. Roda truk itu tergelincir di jalanan licin, oleng, dan meluncur tepat ke arah mobil mereka.
"Revan!" seru Tasya.
Revan mendadak menegang, kedua tangannya mencengkeram setir lebih erat. "Tasya, pegangan yang kenceng!" teriaknya.
TO BE CONTINUED