Arwah sekarat Raveena bergentayangan di dalam sebuah novel yang pernah ia kutuk karena baginya memiliki ending yang paling buruk. Di novel itu, menjadi sosok Elira Maeven, tokoh utama yang memiliki sifat lugu dan feminin yang menyukai sosok Arsen Vaelric, si pria manipulatif yang berbahaya.
Sialnya, Raveena memasuki tubuhnya usai Elira mengalami adegan mati konyol akibat bunuh diri di bagian ending cerita. Seolah semesta menuntut pertanggungjawaban dari caciannya, ia dipaksa melanjutkan cerita hidup Elira yang mestinya berakhir setelah mati bunuh diri.
Raveena tak bisa keluar dari dunia itu sebelum menyelesaikan skenario takdir Elira yang tak pernah ditulis dan direncanakan oleh penulis novel itu sendiri.
Sampai tiba hari di mana Arsen mulai menyadari, bahwa sikap membosankan Elira yang selalu ia abaikan, kini bukanlah sosok yang sama lagi.
Namun, Arsen justru sangat menyukainya.
Apakah Raveena mampu kembali ke dunia nyatanya?
Atau justru terkurung selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dandelions_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Flashback on
Di dalam kamar yang temaram, Naomi duduk di tepi ranjang dengan tangan bergetar di pangkuan. Wajahnya sedikit pucat, dan matanya tampak sembap karena terlalu banyak menangis.
Di depannya, Cedric berdiri dengan perasaan yang begitu berantakan. Ia tidak mengerti apa yang terjadi pada orang-orang di sekelilingnya.
"Naomi ... katakanlah padaku, apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya masih berusaha melembut. "Kenapa semua orang menuduhmu? Apa mereka telah menyembunyikan sesuatu dariku?"
Sejak suami-istri itu berbicara empat mata di dalam kamar, pertanyaan yang sama terus terulang. Cedric mulai lelah membujuknya. Namun, Naomi sendiri pun tengah kalut dengan masalah besar yang menimpanya.
"Jangan membuat kesabaranku habis, Naomi." Cedric menatap istrinya yang masih diam sambil memainkan jemari.
Naomi terisak, menunduk semakin dalam. "Cedric … kau harus percaya padaku, aku tidak pernah menggelapkan uang itu. Aku hanya…" suaranya pecah. Kata 'menggelapkan uang' sukses membuat kedua mata lelaki itu membelalak.
"… A-aku hanya dijebak. Tuan Vaelric memanfaatkan posisiku."
Cedric tertegun. "Dijebak? Apa maksudmu?" tanyanya dengan dada yang mulai terasa panas.
Naomi mengangkat wajahnya. Air mata jatuh tanpa bisa ia tahan lagi. "Oleh Tuan Vaelric sendiri," jelasnya.
Cedric melangkah mundur setengah, dengan mata membesar. "Apa? Untuk apa?" kagetnya masih tak percaya.
Naomi menutup wajah dengan kedua tangannya. "Ia memaksaku menandatangani dokumen manipulasi keuangan ...," lirihnya dengan tatapan yang begitu merasa bersalah. "Aku menolak, karena kutahu itu akan merusak reputasiku."
Setiap kalimat yang terlontar, membuat debaran jantung lelaki itu semakin kencang.
"T-tapi alasan utamanya, Cedric-" suaranya mulai patah, Naomi merasa tak sanggup melanjutkannya. Wanita itu menggigit bibir bawahnya. "Dia mencoba menyentuhku. Dia ingin aku menyerahkan diriku sebagai syarat ikut dalam permainannya."
Cedric membeku. Dadanya terasa sesak. "Naomi ..., apa maksud dari kalimat itu?"
"Kehormatan yang kujaga untukmu. Dia bilang, semuanya akan aman jika aku menuruti permintaannya." Naomi tersengguk dan menggeleng keras. "Tentu saja tidak mau! Aku melawan dan terus meneriakinya, meski sejak itu aku tahu ..., aku tidak akan pernah aman lagi."
Cedric memejamkan mata. Berani-beraninya manusia kotor itu mengusik kehidupannya!
Naomi menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan suara bergetar. "Lalu masalah itu meledak. Semua tuduhan diarahkan kepadaku. Penggelapan hingga manipulasi dana." Jemarinya terlihat memutih. Naomi terus bertanya-tanya dalam hatinya, kenapa manusia ini begitu jahat padanya?
"K-kau tahu, Cedric ...," Naomi meraih tangannya dengan tatapan prihatin. "Padahal, aku sendiri tidak pernah tahu angka-angka yang mereka ubah," katanya sambil terus menggeleng-geleng.
"Dan, satu-satunya orang yang tahu kebenaran itu-"
"Ada orang lain yang tahu masalah beratmu dibanding diriku?" Jujur saja, Cedric cemburu. "Kau melukai hatiku, Naomi," ungkapnya sakit.
Tatapan mereka saling bertumbuk. Naomi menggeleng-geleng, berusaha membuat Cedric mengerti jika masalahnya tidak semudah itu.
"Izinkan aku menceritakan semuanya. Waktuku tidak banyak lagi, Cedric," pinta Naomi dengan linangan air mata yang lagi-lagi menetes ke pipi. Cedric hanya menarik napas tanpa merespons apa pun.
"Orang itu adalah Ve, teman dekatku sejak aku bekerja di perusahaan keluarga Vaelric. Dia melihat sendiri malam itu ..., bagaimana Tuan Vaelric mencoba memperlakukanku-"
"Cukup," tukas Cedric. Ia tak sanggup mendengar kelanjutannya lagi. Di sisi lain, Naomi menutup mulutnya menahan isak.
"Kau memang benar-benar telah membuatku kecewa. Namun aku tak mungkin meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini." Cedric duduk di sebelah Naomi, lalu memeluknya.
"A-aku telah membunuhnya," sengguk Naomi dengan cengkraman kuat pada kemeja suaminya. "Dia mati. A-aku telah membunuhnya mati."
Kepala Cedric terasa pening. Dadanya berdebar-debar mendengar itu. "Siapa ... ? Siapa maksudmu?"
"Vaelric! Pria itu telah membunuh Ve!" teriak Naomi membabi-buta. Dia menggeleng keras, berusaha menenangkan diri bahwa ini bukan sepenuhnya salah dirinya, karena ia membela temannya. "Aku hanya membuatnya imbang!"
"Cedric ... a-aku membunuhnya. Vaelric sudah mati." Naomi meremas sisi kepalanya yang terasa sakit. "Dan mereka semua memburuku. Mereka semua menginginkanku mati, seperti kematian tuan mereka."
Flashback off
Cedric membuyarkan segala ingatan masa lalunya. Ia tak mau nasib Elira seperti mendiang istrinya.
Sebelum keluar mobil, Cedric membawa senjata api dari dalam laci dashboardnya. Usai membiarkannya tak tersentuh sejak lama, kini akhirnya Cedric bisa menggunakannya.
"Sampai kapan kau mengungkit utang balas Budi keluargamu yang tak seberapa itu, Arsen Vaelric?" geram Cedric lalu keluar dari mobilnya.
Dor!