Sebuah kecelakaan beruntun merenggut nyawa Erna dan membuat Dimas terbaring lemah di ruang ICU. Di detik-detik terakhir hidupnya, Dimas hanya sempat berpesan: "Tolong jaga putri saya..." Reza Naradipta, yang dihantui rasa bersalah karena terlibat dalam tragedi itu, bertekad menebus dosanya dengan cara yang tak terduga-menjodohkan Tessa, putri semata wayang Dimas, dengan putra sulungnya, Rajata. Namun Rajata menolak. Hatinya sudah dimiliki Liora, perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa. Tapi ketika penyakit jantung Reza kambuh akibat penolakannya, Rajata tak punya pilihan selain menyerah pada perjodohan itu. Tessa pun terperangkap dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa harus menjadi beban orang lain. Namun takdir justru menjerat mereka dalam ikatan yang penuh luka. Bisakah Tesha bertahan di antara dinginnya penolakan? Dan mungkinkah kebencian perlahan berubah menjadi cinta?
Foto Unggahan
Rajata menatap layar ponsel dengan dahi berkerut. Foto yang barusan ia unggah ke Instagram Story—Tessa yang sedang menyeruput matcha latte nya di tangan—langsung ia hapus begitu kesadarannya kembali. Untung saja ia cepat. Tidak ada notif siapa pun yang melihatnya.
"Gue kenapa sih? Ngapain upload gituan.." gumamnya dalam hati. Ia mengusap wajahnya cepat, mencoba menepis rasa aneh yang menggantung.
Ponsel Rajata tiba-tiba berdering, memecah lamunannya yang masih terpaku pada insiden story barusan. Sebuah notifikasi WhatsApp muncul.
Liora
|Raja, tolongin aku. Mobilku mogok.
Rajata memandangi layar beberapa detik. Ada dorongan untuk cuek dan mengabaikan pesan itu. Tapi di dasar hatinya, ada sisa rasa yang tidak bisa ia hapus begitu saja. Mau sekeras apapun ia membenci keadaan, Liora pernah jadi rumahnya.
Rajata menghela napas panjang. Jemarinya akhirnya bergerak mengetik.
|Share loc.
Tak lama kemudian, ponselnya kembali bergetar. Lokasi dari Liora muncul di layar. Jaraknya tidak terlalu jauh dari sini.
Rajata terdiam beberapa saat, Wajahnya kembali datar saat ia mengambil dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang.
Melihat pergerakan didepannya, Tessa mendongak, tatapannya lembut, masih memegang gelas matcha yang tinggal separuh.
"Gue ada urusan. Lo balik sendiri ya."
Rajata meletakkan uang itu di meja di hadapan Tessa. Tanpa menunggu jawaban, ia bangkit dari kursinya dan melangkah cepat menuju pintu.
Tessa masih terpaku di kursinya. Matanya menatap punggung Rajata yang semakin menjauh. Jemarinya mengepal, meremas lembaran uang yang tadi disodorkan suaminya tanpa banyak kata.
"Dia kenapa sih... tiba-tiba baik, terus berubah dingin lagi?"
***
Liora berdiri di depan mobil dengan kap mesin terbuka, senyum puas terukir di wajahnya. Ponselnya menempel di telinga, menunggu sahabatnya di seberang menjawab. Begitu tersambung, suara Sisil langsung terdengar dengan nada penuh rasa ingin tahu.
"Gimana? Dia respon nggak?" suara di seberang telepon terdengar antusias.
Liora tersenyum miring, matanya menatap jalan yang sepi sambil menggulung ujung rambutnya ke jemari.
"Siapa sih yang bisa nolak pesona gue? Bahkan Rajata langsung otw begitu gue bilang minta tolong."
Terdengar tawa kecil dari lawan bicaranya. "Emang dasar dia masih sayang. Sok-sokan banget waktu itu minta putus!"
Liora mendengus pelan. "Gue bakal rebut perhatian dia lagi. Cepat atau lambat, dia pasti balik jadi milik gue."
"Gue dukung lo seratus persen, Li. Bahkan kalau perlu, keluarin deh bakat akting lo biar dia makin nggak bisa nolak."
Liora ikut terkekeh, senyumnya penuh kemenangan. Matanya tiba-tiba menangkap lampu depan mobil yang mendekat di kejauhan. Degup jantungnya sedikit berpacu, tapi bukan karena gugup—melainkan karena kegembiraan rencananya berjalan mulus.
"Udah dulu ya, dia udah sampai nih." Liora buru-buru mematikan telepon. "Bye."
Ia menarik napas panjang, lalu cepat-cepat menyimpan ponselnya di saku. Begitu mobil Rajata berhenti di depan mobilnya yang mogok, Liora mengatur ekspresinya. Mata yang tadi penuh kelicikan kini berubah berkaca-kaca. Ia menggigit bibir bawah, berpura-pura panik seolah benar-benar butuh pertolongan.
"Raja..." panggilnya lirih, tatapannya memelas. "Syukurlah kamu cepet dateng. Aku— nggak tau harus gimana kalau sendirian."
Rajata turun dari mobil dengan langkah cepat, wajahnya terlihat sedikit khawatir. Tanpa ia sadari, simpati mulai menyusup di dadanya.
Mobil Liora terpaksa harus masuk bengkel sore itu.
Rajata berdiri di sisi mobil, menjelaskan sesuatu kepada teknisi. Sesekali terlihat ia mengangguk, mendengarkan dengan saksama.
Dari depan, Liora memperhatikan mereka sambil duduk di halte dekat mobilnya. Ia menopang dagu, matanya tak lepas dari sosok Rajata.
"Kamu emang ganteng banget sih, Ja. Aku harus bisa dapetin kamu lagi!" batinnya penuh tekad.
Lamunannya buyar ketika Rajata menghampirinya.
"Ayo, gue anter balik," ucapnya singkat.
Ada sesak yang menjalari dada Liora. Ia menyadari betul Rajata kini menyebut dirinya dengan "lo-gue," bukan lagi "aku-kamu" seperti dulu. Namun ia buru-buru menepis rasa itu. Semua butuh proses, batinnya mencoba meyakinkan diri.
Di dalam mobil, Liora memutar otak, mencari cara agar bisa lebih lama bersama Rajata. Lalu, sebuah ide tiba-tiba terlintas di pikirannya. Ia meremas perut sambil merintih pelan.
"Kenapa, Li?" Rajata spontan melirik ke arahnya, lalu menepikan mobil.
"Kayaknya asam lambungku kambuh, Ja..." jawab Liora dengan suara lemah.
Rajata tampak sedikit panik. "Lo belum makan?" tanyanya cepat.
Liora hanya menggeleng pelan.
Rajata menghela napas panjang. "Yaudah, kita cari obat sama makan dulu," katanya sambil kembali menyalakan mesin mobil.
Mobil Rajata berhenti di depan sebuah café semi-outdoor dengan lampu-lampu gantung kecil yang menyala hangat. Tanaman hijau menjuntai di dinding kaca, dan meja-meja putih dihiasi lampu meja emas minimalis. Dari luar, tempat itu tampak estetik dan cozy—bukan restoran mewah yang kaku, tapi juga bukan warung biasa. Tempat ini seperti diciptakan untuk orang-orang yang butuh jeda dari riuhnya kota.
"Kita makan di sini dulu. Lo perlu isi perut biar nggak makin parah," ucap Rajata, suaranya tetap datar sambil mematikan mesin mobil.
Liora mengangguk kecil, tangannya refleks memegangi perut. "Makasih banget, Ja... maaf jadi nyusahin."
Tanpa banyak bicara, Rajata turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk Liora. Begitu mereka masuk, aroma kopi dan butter hangat langsung menyambut, bercampur dengan wangi tanaman segar dari sudut ruangan. Musik akustik pelan mengalun, menambah suasana nyaman.
Rajata memilih duduk di pojokan, tepat di meja dekat jendela besar dengan lampu meja emas kecil yang memancarkan cahaya hangat. Suasananya tenang, hanya ada suara musik akustik yang mengalun pelan.
Tak lama kemudian, pelayan datang membawa buku menu.
"Satu sup ayam sama teh hangat tawar. Satu salmon steak sama es green tea lemon," ucap Rajata, singkat tapi jelas.
Liora diam-diam tersenyum. Dalam hati ia berkata:
Dia masih sama... bahkan menu kesukaannya ketika asam lambungnya kambuh pun masih dia ingat.
Liora memperhatikan wajahnya dari seberang meja. Garis rahang tegas itu, rambutnya yang sedikit berantakan tertiup angin, sorot matanya yang tetap tenang meski bibirnya diam. Jantungnya berdetak lebih cepat.
Tak lama, pelayan datang membawa pesanan mereka dengan senyum ramah.
"Satu teh tawar hangat, steak salmon, sup ayam, dan iced green tea lemon ya, Kak. Sudah lengkap semua, saya angkat nomornya ya," ucap pelayan sambil meletakkan piring-piring dengan hati-hati di meja.
"Terima kasih," jawab Rajata singkat dengan nada datar, tapi sopan.
Aroma hangat sup ayam langsung memenuhi udara, bercampur dengan wangi salmon panggang yang masih mengepul. Es green tea lemon di gelas tinggi tampak segar, dengan irisan lemon yang mengapung di antara bongkahan es.
Diam-diam, ia mengangkat ponselnya di bawah meja, berpura-pura mengetik pesan. Namun sebenarnya ia sedang mengaktifkan kamera. Dengan hati-hati, ia mengarahkan lensa ke Rajata yang sedang memutar sedotan di gelasnya sambil menatap ke luar jendela.
Cekrek. Satu foto diamankan.
Liora tersenyum tipis pada layar ponselnya, lalu cepat-cepat menurunkannya lagi. Dengan sengaja ia membuka Instagram, memilih foto Rajata yang diam-diam tadi ia ambil, dan mengunggahnya ke story dengan caption manis:
"thank you 🤍"
Tak butuh waktu lama, Instagramnya langsung banjir komentar terutama dari teman-teman terdekat.
@Sisilia: "Udah langsung balikan ajaa kata gua mah 😭🔥"
@Gladis: "Lo panutan emang Li 😍 queen behavior!!"
Liora tidak menanggapi komentar itu, tapi bibirnya melengkung pada senyum tipis. Ia merasa menang. Sesekali, ia melirik ke arah Rajata yang duduk di seberang. Tidak ada percakapan di antara mereka—hanya suara sendok yang sesekali beradu dengan mangkuk.
Namun di sisi lain, Rajata justru tenggelam dalam pikirannya sendiri. Wajahnya datar, tapi hatinya terasa berisik. Ia baru teringat sesuatu—Tessa. Gadis itu masih di café tadi, sendirian. Apakah dia sudah pulang? Kenapa tadi gue tinggal gitu aja... batinnya.
Rajata meraih ponsel dan sempat mengetik pesan singkat untuk Tessa. Namun jarinya ragu-ragu sebelum akhirnya menghapus kalimat itu dan meletakkan ponselnya kembali di meja.
Liora yang memperhatikan gerak-gerik Rajata pun mengernyit heran.
"Kenapa, Ja?" tanyanya pelan.
"Enggak papa," jawab Rajata singkat, pandangannya kembali menatap keluar jendela.
***
Di tempat lain, Tessa baru saja pulang. Ia menutup pintu pelan, berharap bisa langsung naik ke kamar tanpa gangguan. Namun, langkahnya terhenti saat melihat sosok Renata duduk di kursi ruang tengah sendirian, dengan secangkir teh hangat di tangan. TV menyala, menampilkan berita malam, namun mata Renata tajam tertuju pada Tessa.
"Istri macam apa kamu, jam segini baru pulang?!" ucap Renata ketus, nada suaranya bagai cambuk yang membuat suasana rumah terasa semakin dingin.
Tessa menarik napas dalam, menoleh dengan hati-hati. "Maaf, Ma... tadi aku keluar sama Rajata. Tapi dia ada urusan, jadi aku pulang sendiri," jawabnya pelan.
Memang benar. Dia tidak berbohong kalau tadi memang bersama Rajata. Hanya saja, ia memilih tinggal lebih lama di café hingga malam. Ia kira Rajata sudah pulang lebih dulu, tapi mobil laki-laki itu tak ada di depan rumah.
Renata mendengus sinis. "Kamu jangan kesenangan, ya, kalau anak sama suami saya selalu bela kamu. Seharusnya kamu sadar diri, kamu itu siapa. Sejak kamu hadir, rumah ini jadi nggak pernah tenang."
Sejak kamu hadir... kamu merusak segalanya. Kata-kata itu hanya terlintas di kepala Renata, tapi ia menahannya agar tak meluncur keluar. Ada rasa asing yang menyelusup di dadanya—bukan hanya amarah, tapi juga rasa takut. Takut kalau Rajata akan lebih menyayangi Tessa daripada dirinya, ibunya sendiri. Takut kalau Rajata akan buta oleh cinta dan tak lagi memedulikan keluarga yang sudah susah payah ia jaga.
Apalagi, Tessa... perempuan itu bukan dari kalangan yang setara dengan mereka. Bagi Renata, itu adalah cacat yang tidak bisa dimaafkan.
Tessa diam. Wajahnya datar, tak ada ekspresi yang muncul, tapi hatinya terasa sesak. Ada gumpalan di dadanya yang rasanya ingin pecah. Bukan mauku jadi seperti ini...
Akhirnya, ia mendongak menatap Renata dengan mata yang mulai berkaca-kaca namun tetap tegas.
"Aku udah bilang, Ma. Kalau Mama nggak mau saya di sini, silakan suruh Rajata ceraikan aku."
Tanpa menunggu balasan, Tessa melangkah cepat menuju tangga dan naik ke atas. Ia tahu ini salah... tapi ia juga tak mau ditindas terus-menerus oleh ibu mertuanya.
Pintu kamar tertutup. Tessa jatuh terduduk di depan sana, lutut tertekuk, air mata akhirnya pecah tanpa suara.
"Kenapa hidupku jadi begini...?" bisiknya lirih. Ia rindu rumah, rindu hangatnya pelukan ayah dan ibu. Keluarganya memang tidak sekaya keluarga Rajata, tapi cukup hangat dan penuh cinta didalam nya.
"Salahku apa, Tuhan? Kenapa Kau hukum aku begini...?" teriak Tessa dalam hati. Sesak di dadanya membuat napasnya tercekat. Ia menangis tanpa suara, tubuhnya lunglai di depan pintu.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Notifikasi dari grup kecil berisi Putri, Raisa, dan Diana saling bersahutan.
PEJUANG TOGA 🎓
Putri: "Tess, Rajata sama Liora balikan ya?"
SEND PICT 📸
Diana: "Lah, baru juga gue seneng mereka putus."
Raisa: "Tess, bilangin saudara lo. Liora nggak baik buat dia. Mending sama gue aja!!"
Diana: "Siapa lo kocak!! Hahaha. Tapi serius Tess, bilangin Rajata jangan mau balikan."
Tessa terdiam, matanya menatap layar yang dipenuhi celoteh itu. Bukan kata-kata mereka yang membuatnya membeku—melainkan foto yang menyusul masuk.
Sebuah foto. Liora dan Rajata duduk berdua di sebuah café. Rajata memakai kaos yang sama persis dengan yang ia kenakan saat bersamanya tadi.
"Jadi... dia buru-buru pergi karena mau nemuin Liora?" gumam Tessa lirih. Sebuah senyum sinis tersungging di wajahnya, tapi matanya tetap basah. Ada muak, ada sakit, ada getir yang tak bisa ia luapkan.
"Salahku apa, Tuhan? Kenapa Kau hukum aku begini...?" teriaknya dalam hati. Sesak di dadanya membuat napasnya tersengal.
ini kerjaan othor nih Jaa/Facepalm/
jangan2...