Karena menyelamatkan pria yang terluka, kehidupan Aruna berubah, dan terjebak dunia mafia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dina Auliya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelarian Yang Mustahil
Hening.
Begitulah suasana kamar besar itu malam ini, meski kenyataannya kepala Aruna dipenuhi suara-suara. Jam berdetik, hujan menetes di luar, dan di dalam hatinya—rasa takut, sesak, dan kerinduan akan hidup yang normal terus berdentum seperti genderang perang.
Aruna duduk di tepi ranjang, menatap ke arah Leonardo yang terlelap di kursi kulit hitam dengan pistol masih dalam genggaman. Wajahnya tampak damai, kontras dengan kenyataan bahwa ia adalah King Mafia yang ditakuti seluruh Italia.
Aruna menggigit bibirnya, menahan isak yang hampir pecah. Ia mengingat kembali tulisan ancaman di kertas: “Burung dalam sangkar tetap bisa mati.”
Kata-kata itu terpatri di kepalanya, membuatnya merasa benar-benar terjebak.
"Jika aku terus di sini, aku akan mati. Jika aku pergi, mungkin aku juga mati. Tapi setidaknya… aku akan mati sebagai diriku sendiri," batinnya lirih.
Tangannya meremas sprei dengan kuat. Tekad mulai terbentuk. Untuk pertama kalinya sejak ia berada di mansion ini, ia memikirkan satu hal yang terlarang: melarikan diri dari Leonardo King.
---
Pagi menjelang, tapi langit masih muram oleh mendung. Leonardo sudah bangun sebelum matahari terbit, memanggil Marco dan anak buah lainnya untuk rapat.
Aruna berpura-pura masih tidur, meski sebenarnya matanya terbuka sedikit, mengamati. Leonardo memberi perintah singkat namun keras:
“Perketat penjagaan di semua pintu keluar. Vittorio akan mencoba lagi. Tidak ada seorang pun—aku ulangi, tidak ada seorang pun—yang keluar masuk mansion tanpa izin dariku.”
Marco mengangguk patuh. “Dimengerti, Boss.”
Aruna merasakan dingin merambati tulangnya. Kata-kata itu, tanpa disadari Leonardo, justru memperkuat keyakinannya: ia adalah tawanan, bukan tamu.
Begitu Leonardo meninggalkan kamar, Aruna bangkit perlahan. Ia berjalan ke cermin besar, menatap wajahnya yang pucat dengan lingkaran hitam di bawah mata.
“Siapa kau sekarang, Aruna?” bisiknya pada bayangan. “Seorang wanita yang jatuh cinta pada pria yang sama sekali tidak mengenal kata ‘bebas’? Atau… hanya burung yang menunggu waktunya untuk disembelih?”
Air matanya jatuh, tapi ia cepat-cepat menghapusnya. Ia tahu menangis tidak akan mengubah apa pun.
---
Hari itu, Aruna berpura-pura menjalani rutinitas normal. Ia makan bersama Leonardo di ruang makan, menanggapi sedikit percakapannya, meski hatinya tidak ada di sana.
Leonardo, seperti biasa, memperhatikannya dengan tatapan obsesif. “Kau kelihatan pucat, Aruna. Apa kau masih memikirkan ancaman itu?”
Aruna menunduk, memainkan sendok di tangannya. “Aku hanya… lelah, Leo. Semua ini terasa berat.”
Leonardo mengulurkan tangannya, menyentuh pipinya lembut. “Aku tahu. Tapi percayalah, hanya aku yang bisa menjagamu. Dunia di luar sana jauh lebih kejam daripada yang kau bayangkan.”
Aruna memaksakan senyum. “Ya… aku percaya padamu.”
Tapi dalam hatinya, ia berteriak: “Tidak, Leo. Dunia di luar mungkin kejam, tapi aku lebih takut hidup terkurung di dalam sangkarmu.”
---
Malam itu, saat mansion terlelap, Aruna bangkit dari ranjang dengan hati-hati. Ia sudah menyiapkan rencana sederhana: menyelinap lewat pintu belakang dapur yang terkadang longgar penjagaannya.
Ia mengenakan pakaian gelap—celana panjang hitam dan jaket tipis. Rambutnya diikat kencang agar tidak mengganggu gerakannya. Jantungnya berdegup kencang, tapi tekadnya lebih kuat daripada ketakutannya.
Ia berjalan perlahan menyusuri koridor, menahan napas setiap kali mendengar langkah pengawal. Suara detak jantungnya seakan lebih keras daripada hujan di luar.
Akhirnya, ia sampai di dekat dapur. Dari celah pintu, ia bisa melihat dua pengawal sedang mengobrol sambil merokok.
Aruna menahan napas. Ia tahu jika ketahuan, konsekuensinya bisa sangat buruk. Tapi ia harus mencoba.
Ketika kedua pengawal itu berjalan menjauh sebentar, Aruna mengambil kesempatan. Ia berlari cepat, membuka pintu belakang, dan keluar ke taman gelap di luar mansion.
Udara malam menyambutnya, dingin dan basah oleh hujan. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Aruna merasakan sekelumit kebebasan.
---
Namun kebebasan itu hanya bertahan sebentar.
“Aruna.”
Suara dalam dan berat itu menghentikan langkahnya. Aruna membeku, perlahan menoleh.
Leonardo berdiri di bawah lampu taman, tubuhnya menjulang dengan jas hitam. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi, tapi matanya menyala penuh kemarahan.
Aruna terengah. “Leo… aku…”
Leonardo berjalan mendekat perlahan, setiap langkahnya terdengar seperti dentuman. “Kau ingin pergi dariku?”
Air mata Aruna pecah. Ia ingin berlari, tapi tubuhnya tak bisa digerakkan. Leonardo sudah terlalu dekat.
“Aku… aku hanya ingin… bernapas, Leo. Aku ingin merasakan hidupku sendiri lagi…” suaranya pecah, penuh kepedihan.
Leonardo terdiam sesaat, menatapnya lama. Lalu ia tertawa kecil, pahit. “Bernapas? Kau pikir dunia di luar akan memberimu napas? Tidak, Aruna. Dunia itu akan mencekikmu. Aku satu-satunya alasan kau masih bernapas sampai sekarang.”
Aruna mundur selangkah. “Tapi… aku bukan milikmu, Leo. Aku milik diriku sendiri.”
Ucapan itu seperti pisau menusuk dada Leonardo. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal. Namun alih-alih marah, ia melangkah lebih dekat, meraih wajah Aruna dengan kedua tangannya.
“Mungkin kau pikir kau bisa lari dariku. Tapi kau salah, Aruna. Kau sudah menjadi bagian dari diriku. Jika kau pergi, maka aku juga akan mati bersamamu.”
Air mata Aruna semakin deras. “Leo… kau tidak bisa terus seperti ini. Cinta bukan berarti mengurung. Cinta bukan berarti membuatku takut setiap detik…”
Leonardo menunduk, menempelkan dahinya ke dahinya. Suaranya bergetar, nyaris putus asa. “Aku tidak tahu cara mencintai dengan benar, Aruna. Yang aku tahu hanyalah cara memiliki. Dan aku tidak akan membiarkanmu pergi, apa pun yang terjadi.”
---
Malam itu berakhir dengan keheningan mencekam. Leonardo membawa Aruna kembali ke kamar, tanpa berkata banyak lagi.
Aruna menangis diam-diam hingga tertidur, sementara Leonardo duduk di kursi, matanya menatap kosong ke arah jendela.
Ia tahu satu hal: semakin Aruna mencoba pergi, semakin besar obsesinya untuk mengikatnya.
Dan di luar sana, Don Vittorio Mancini tersenyum puas. Ia tidak perlu menembakkan satu peluru pun malam itu—karena ia tahu, retakan di hati Aruna sudah mulai tumbuh.