NovelToon NovelToon
Simpul Yang Terurai

Simpul Yang Terurai

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Perjodohan / Diam-Diam Cinta / Mengubah Takdir / Persahabatan / Pihak Ketiga
Popularitas:763
Nilai: 5
Nama Author: Simun Elthaf

Haisya, gadis cerdas berhati teguh, meraih beasiswa ke Negeri Fir'aun, namun hatinya telah terpaut cinta pertama dari pesantren. Di Inggris, ia bertemu seseorang yang awalnya membencinya karena perbedaan, namun berubah menjadi cinta mendalam. Kembali ke tanah air, Haisya dijodohkan. Betapa terkejutnya ia, lelaki itu adalah sosok yang diam-diam dicintainya. Kini, masa lalu kembali menghantuinya, menguji keteguhan hati dan imannya. Ikuti perjalanan Haisya menyingkap simpul-simpul takdir, dalam kisah tentang cinta, pengorbanan, dan kekuatan iman yang akan memikat hatimu hingga akhir.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Simun Elthaf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Titik Balik di Angkasa

Langit terhampar begitu menawan, birunya tak bertepi. Awan putih berarak perlahan, seumpama barisan malaikat yang sedang rukuk dalam keheningan, membentang sepanjang mata memandang. Panorama semacam itu sungguh luar biasa indahnya, sebuah maha karya agung yang tak akan mampu ditandingi oleh pelukis terhebat sekalipun. Tiada tangan manusia yang bisa menciptakan lukisan seelok ciptaan Sang Maha Pencipta.

Dari jendela pesawat, Haisya menikmati setiap jengkal ayat-ayat kauniyah—ayat-ayat alam semesta—yang terbentang di bawah sana. Hatinya tak henti bertasbih, memuji kebesaran Allah. Rasa syukur yang meluap-luap memenuhi dadanya, hingga tak terasa cairan bening membasahi pelupuk matanya. Ia merasa seolah sedang bermimpi, sebuah mimpi indah yang tak terduga. Namun, ini bukanlah mimpi, melainkan kenyataan. Sebuah kenyataan yang lebih indah dari semua mimpinya.

Bertahun-tahun lamanya ia telah merasakan keindahan dan kenikmatan hidup yang tak terhingga. Allah, dengan segala kemurahan-Nya, mengizinkan ia merasakan pengalaman-pengalaman baru di belahan bumi yang berbeda, bahkan di dunia yang sebelumnya tak pernah ia bayangkan akan ia injak. Mesir, dengan segala sejarah dan keilmuannya, telah menjadi rumah keduanya, tempat ia tumbuh dan belajar. Ia merasa Allah sangat menyayanginya, seperti terus mendekap dan membawanya menyelami sebagian kecil saja dari samudra kebesaran-Nya yang tak terbatas.

Tak lama kemudian, sebuah suara lembut dari pengeras suara memecah lamunannya. Seseorang dalam pesawat memberikan aba-aba, menginformasikan bahwa pesawat akan segera mendarat. Terdengar desah lega bercampur antusiasme dari penumpang lain.

Setelah melalui proses imigrasi yang cukup panjang, mengambil bagasi yang memakan waktu, dan melewati detektor bea cukai dengan hati-hati, gadis berwajah ayu khas Indonesia dengan jilbab biru dongker yang rapi itu melangkah keluar dari gerbang kedatangan. Ia mendorong troli berisi dua koper besar yang penuh kenangan dari negeri piramida. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya. Ia merasa begitu bahagia, lega, dan tak sabar karena telah kembali ke Tanah Air tercinta, Indonesia, dan ia akan segera bertemu dengan orang-orang yang paling ia cintai—keluarga yang telah lama ia rindukan.

Area penjemputan di bandara dipenuhi oleh hiruk-pikuk orang. Begitu banyak penjemput yang menunggu atau mencari sanak saudara mereka di antara keramaian itu. Pandangan mata Haisya langsung tertuju pada dua lelaki setengah baya yang berdiri sedikit menjauh dari kerumunan. Salah satunya memakai jaket hitam, sementara yang lain mengenakan baju batik berwarna coklat. Senyum di wajah Haisya langsung merekah, mengembang sempurna, saat kedua orang itu telah melihatnya. Matanya berkaca-kaca, menahan genangan air mata haru. Tanpa membuang waktu, Haisya langsung mempercepat langkahnya, setengah berlari, dan begitu sampai di hadapan kedua orang itu, seketika ia memeluk seorang yang lebih dekat darinya, sebuah pelukan erat yang menyimpan kerinduan bertahun-tahun. Ia lalu bergantian memeluk satu orang lainnya, tak kalah erat.

"Mas..." Haisya menyalami kedua laki-laki itu dengan takzim, mencium tangan mereka.

"Alhamdulillah... kamu sampai di Tanah Air dengan selamat, Dek," ucap salah satu dari mereka, suaranya bergetar menahan haru. Wajahnya memancarkan kelegaan yang luar biasa.

Sesaat keduanya berpelukan dalam keheningan yang penuh makna, mereka bertiga beranjak dari tempat itu dan menuju ke sebuah stasiun. Kali ini Haisya dan kedua kakaknya, Anto dan Imam, akan kembali ke Jawa, ke kampung halaman mereka yang sudah lama ia tinggalkan. Perjalanan masih panjang, namun setiap langkah terasa lebih dekat dengan rumah.

***

Aroma Tanah Kelahiran

Perjalanan dari stasiun menuju kampung halaman mereka terasa berbeda. Cuaca di Indonesia memang benar-benar berbeda dengan Mesir. Udara di sini masih segar dan sejuk, tanpa debu gurun yang selalu menempel. Terlebih, embun pagi yang menerpa wajahnya di perjalanan benar-benar menyegarkan, membersihkan sisa-sisa lelah akibat perjalanan jauh. Wajahnya yang sempat tampak letih kini tetap terlihat fresh dan ceria, seolah diisi ulang oleh energi tanah kelahirannya.

Haisya dan Anto, kakaknya, mengendarai motor dengan sangat berhati-hati melintasi jalanan pedesaan yang berliku. Haisya melayangkan kedua tangannya di udara dengan sangat riang, membiarkan angin menerpa jemarinya, seperti anak kecil yang bahagia. Senyuman tak pernah pudar dari wajahnya, ia berseru-seru kegirangan. Sementara Imam, kakaknya yang lain, mengendarai sepeda motornya di belakang, menjaga jarak aman. Anto membawa barang-barang bawaan Haisya di motornya. Wajah Imam juga selalu bahagia menyaksikan adik perempuannya yang telah lama jauh darinya kini kembali, membawa kebahagiaan untuk semua orang. Tanaman padi di sepanjang jalan menari-nari mengikuti iringan angin, menciptakan pemandangan hijau yang menenangkan hati. Haisya memejamkan matanya, menikmati setiap sensasi yang ia rasakan, dan memeluk Anto dengan erat, menyalurkan semua kerinduan yang ia pendam.

"Dek... Dek... Dek... Haisya... Jangan tidur, sih!" Anto menegur, suaranya sedikit meninggi namun penuh kelembutan.

"Iiiih, apaan sih... siapa juga yang tidur..." Haisya membantah, bibirnya mengerucut.

"Oh, kirain tidur, habisnya diam mulu sih. Jangan tidur ya! Takut jatuh, sebentar lagi sampai kok." Anto tertawa kecil.

"Iyaaaah, Mamasku sayang..." Haisya menjawab manja, membuat Anto tersenyum.

"Kamu yah... dari dulu masih sama saja, enggak ada berubah-berubahnya sama Mas... hehehe." Anto menggelengkan kepala, geli.

"Kan aku kangen... enggak boleh apaaa?" Haisya semakin mengeratkan pelukannya, seolah tak ingin melepaskan Anto.

Tiba-tiba, suara lain menyusul dari belakang. "Woy, Abang juga mau! Abang juga kangen kali... kok yang dipeluk Abang Anto aja, Bang Imamnya enggak huuu..." Imam menyejajari motor mereka, pura-pura merajuk.

Haisya terkekeh riang. "He... he... he... kan lagi di jalan, Mas!"

***

Pelukan Hangat Keluarga

Tepat pukul 10.00 WIB, rombongan kecil mereka sampai di pelataran rumah. Sebuah rumah sederhana namun hangat, dengan halaman luas yang selalu ramai oleh canda tawa anak-anak. Dari kejauhan, Dayat, Putra, Fatimah, Ardy, Anggun, dan Dika—yang notabenenya adalah keponakan-keponakan Haisya—telah menunggu kedatangan tante mereka di rumah nenek dan kakek. Keceriaan terpancar jelas dari wajah-wajah mungil mereka yang penuh harap.

Saat motor Anto dan Imam memasuki halaman, satu sorotan mata tertuju kepada lelaki dengan jaket hitam—Imam. Lelaki itu datang membawa sebuah koper berukuran besar milik Haisya, yang tadi dibawa oleh Anto.

"Mas, Mbak... Ayahku sudah pulang tuh lihat!" Ardy, yang paling sigap, menunjuk ke arah Imam yang sedang memarkirkan sepeda motornya.

"Iya tuh Om Imam sudah pulang, tapi kok enggak sama Tante Haisya?" Anggun, dengan polosnya, mencari-cari keberadaan Haisya, wajahnya sedikit cemberut karena belum menemukan sosok yang dinanti.

"Mungkin di belakang sama Ayahku," Fatimah turut berbicara, mencoba menebak.

Tiba-tiba, suara teriakan kegirangan pecah. "Iya tuh Tante kita sudah sampai!" Dayat dan Putra berteriak bersamaan, tak sabar. Mereka berlari sekencang-kencangnya ke arah Haisya yang baru saja turun dari motor. Dengan sigap, mereka memeluk Haisya bersama-sama, pelukan bertubi-tubi hingga Haisya nyaris tak terlihat batang hidungnya, tenggelam dalam pelukan hangat keponakan-keponakannya.

"Masya Allah... keponakan-keponakan Tante sudah pada besar-besar!" Haisya berseru bahagia, sambil memegangi pipi chubby anak-anak itu, matanya berkaca-kaca menahan haru.

"Yaiyalah... sudah besar, orang dikasih makan!" Syakila, kakak perempuan Haisya, datang sambil menggendong seorang bayi mungil, diikuti oleh suaminya. Ia tersenyum lebar, melihat pemandangan adiknya yang kembali.

"Mbaaaak..." Haisya langsung melepaskan pelukannya dari keponakan-keponakan, lalu berhambur memeluk Syakila dengan erat. "Ibu dan Bapak di mana, Mba?"

"Ada di dapur tuh," jawab Syakila, menunjuk ke arah belakang rumah.

Haisya langsung mencari orang tuanya. Ia berjalan menyusuri sudut rumah, melewati ruang tamu, tempat salat, ruang keluarga, dan ruang makan, hingga akhirnya sampai di dapur yang terletak di bagian belakang. Sepanjang jalan, matanya menangkap beberapa foto masa kecilnya yang telah usang terpajang di dinding. Fotonya saat masih bayi, masa ia kecil dan saat dirinya sedang nakal-nakalnya, hingga masa dia remaja. Dilihatnya juga beberapa piala, medali, dan penghargaan-penghargaan lainnya yang masih tersimpan rapi di dalam sebuah lemari kaca yang selalu bersih. Ia mengingat masa-masa itu dan tersenyum membayangkannya, nostalgia memenuhi hatinya.

"Assalamualaikum..." Haisya muncul dari pintu dapur, suaranya bergetar menahan haru.

"Wa'alaikumussalam... Masya Allah... putriku..." Bapak dan Ibu, Rohman dan Kurni, yang sedang sibuk di dapur, segera berbalik dan langsung memeluk Haisya dengan erat, pelukan yang sarat kerinduan dan cinta.

Haisya menyalami dan mencium tangan mereka dengan penuh takzim, menempelkan pipinya ke pipi mereka yang keriput. Ibunya, Kurni, menciumi Haisya berkali-kali di pipi dan kening, seolah tak ingin melepaskan, hingga Haisya susah untuk bernapas dan merasa sumuk (gerah) karena terhimpit. Namun ia tidak berusaha untuk melepaskan diri, ia hanya pasrah, menikmati setiap sentuhan kasih sayang itu. Selama kurang lebih empat tahun ia benar-benar tidak pernah bertemu dengan mereka secara langsung. Masa remajanya pun ia habiskan di pondok pesantren dan pulang hanya satu semester sekali, itupun hanya beberapa hari di rumah. Jadi Haisya memang benar-benar kurang kebersamaan yang intens dengan kedua orang tuanya.

Kurni, sang ibu, kemudian mengajak Haisya ke kamarnya. Kamar yang dulu ia huni, kini terasa begitu asing baginya. Empat tahun berlalu telah mengubah segalanya, dinding-dindingnya seolah menyimpan banyak cerita disana yang telah Haisya lewatkan. Haisya meletakkan kopernya di samping ranjang, ia duduk di tepi ranjang dan tak berniat untuk menata pakaiannya ke dalam lemari, terlalu lelah dan terlalu banyak yang ingin ia rasakan. Rohman dan Kurni mengajak Haisya berbincang-bincang sebentar, menanyakan banyak hal tentang perjalanannya, lalu mereka pergi, membiarkannya beristirahat di kamarnya, memberinya ruang untuk menyerap kembali suasana rumah.

Kenangan Haisya di Mata Dayat

POV Dayat

Subhanallah walhamdulillah walailahaillallah wallahu Akbar!

Degupan jantungku masih terasa kencang. Ini bukanlah sebuah mimpi, namun kenyataan yang begitu nyata. Seorang wanita yang dulu selalu mengurusku sejak kecil, yang selalu memandikan, menyuapi, dan menemaniku bermain saat kedua orang tuaku pergi ke kantor, kini kembali. Tante Haisya, malaikat kecilku.

Saat itu usiaku menginjak umur 7 tahun, sedangkan Putra, adikku, berusia 3 tahun. Meskipun Tante Isha—begitu kami memanggilnya—masih berstatus pelajar sekolah menengah pertama, tapi beliau begitu sabar dan telaten merawat kami. Setiap pagi, ia akan membangunkan kami, memastikan kami mandi, lalu menyuapi kami sarapan dengan penuh kesabaran, meski kami sering rewel. Belum lagi ketika hari Ahad tiba. Bukan hanya aku dan Putra yang merepotkannya, namun sepupu-sepupu kami seperti Anggun, Fatimah, dan Ardy juga ikut membuat Tante Isha lebih kewalahan. Rumah ini selalu ramai, dan Tante Isha adalah pusatnya, meskipun ia juga masih seorang remaja.

Aku adalah keponakan yang paling sering dimarahi olehnya. Baik itu karena kesalahanku sendiri yang sering berbuat ulah, maupun karena kesalahan saudara-saudaraku yang lain. Tapi aku mengerti. Aku memang yang paling besar di antara mereka. Harusnya aku membantu Tante Isha untuk menjaga mereka, bukannya malah ikut membuat mereka menangis, hehehe. Aku memang dulu sangat nakal, seringkali membuat Tante Isha pusing. Aku selalu kabur saat disuruh mengerjakan PR dan aku selalu bermain sampai lupa waktu, sehingga di sore hari Tante Isha harus mencariku ke setiap sudut kampung, agar aku mau mandi dan berangkat mengaji di Madrasah TPQ. Ah, betapa sabarnya dia dulu.

Yaaah... masa-masa itu begitu indah untuk dikenang. Setiap kenangan bersamanya kini terasa seperti hadiah berharga.

Tahun 2018, aku kehilangan sosok itu, kehilangan kehadiran Tante Isha yang selalu ada. Tante memutuskan masuk pesantren setelah lulus sekolah menengah pertama. Rumah terasa sepi tanpa tawanya, tanpa omelannya. Tahun 2022, Tante lulus sekolah menengah atas dari pesantren, namun Allah belum menakdirkan kami bisa bersama lagi seperti dulu. Pada tahun itu juga Tante Isha melanjutkan perguruan tingginya di luar negeri, di Mesir. Tekadnya memang benar-benar kuat, impiannya untuk bisa kuliah di Negara Timur Tengah telah terwujud, sebuah cita-cita yang ia ceritakan padaku saat aku masih kecil. Dan alhamdulillah, sekarang tahun 2028, setelah sekian lama, aku bisa memeluknya kembali. Pelukannya masih sama hangatnya, sama menenangkannya.

Saat ini aku sudah besar, Tante. Jadi tenang saja, aku tidak akan merepotkannya lagi dengan meminta jajan atau hal-hal kecil lainnya. Mungkin aku akan merepotkannya dengan memintanya untuk segera menikah. Ya, kenapa tidak? Usia Tante Haisya sudah menginjak angka 26 tahun. Kalau tidak segera menikah bisa gawat dong. Aku tidak mau punya Tante yang jadi perawan tua... hahaha. Aku hanya ingin melihatnya bahagia, lengkap dengan kebahagiaan berumah tangga.

Aku harap Tante kesayanganku ini mendapatkan jodoh yang terbaik untuknya. Yang bisa menjadi imam, pelindung, dan teman hidupnya yang sejati. Seseorang yang pantas mendampingi wanita hebat sepertinya.

Insya Allah aku akan mengikuti jejaknya. Aku akan belajar dengan sungguh-sungguh agar bisa berprestasi dan menjadi hebat seperti dirinya. Aku ingin membuat Tante Haisya bangga, seperti ia selalu membuatku bangga.

POV Dayat Off

1
Jaku jj
Baper abis!
Simun Elthaf: nanti di akhir" part akan banyak yg bikin salting lagi kak😊
total 1 replies
Fiqri Skuy Skuy
Jelas banget ceritanya!
Simun Elthaf: Terimakasih sudah mampir kak, saya baru belajar menukis☺🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!