JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN
Zhao, putri bangsawan yang terkenal cantik dan keras kepala, kembali membuat kehebohan di kediaman keluarganya. Kali ini, bukan karena pesta atau keributan istana… tapi karena satu hal yang paling ia hindari seumur hidup: perjodohan!
Dirinya dijodohkan dengan Pangeran Wang pangeran kerajaan yang dikenal dingin, tegas, dan katanya... kejam?! Zhao langsung mencari cara kabur, apalagi hatinya telah tertambat pada sosok pria misterius (pangeran yu) yang ia temui di pasar. Tapi semua rencana kacau saat ia malah jatuh secara harfia ke pelukan sang pangeran yang tak pernah ia pilih.
Ketegangan, kekonyolan, dan adu mulut menjadi awal dari kisah mereka. Tapi akankah hubungan cinta-benci ini berubah jadi sesuatu yang lebih hangat dari sekadar perjodohan paksa?
Kisah cinta kerajaan dibalut drama komedi yang manis, dramatis lucu, tegang dan bikin gemas!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Siti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PELARIAN TENGAH MALAM
Malam telah menggulung istana dalam selimut gelap dan sunyi. Lampu-lampu lentera bergoyang pelan tertiup angin, menerangi lorong-lorong panjang yang kini lengang. Hanya suara dedaunan yang berbisik, dan sesekali, langkah patroli penjaga yang lewat seperti hantu.
Tapi di antara keheningan itu ada tiga sosok yang tidak bisa diam.
Dua bayangan kecil mengendap-endap di balik tembok kediaman Pangeran Jae Min, seperti pencuri yang gagal profesional.
“Ehem… Nona yakin Pangeran Jae Min belum tidur?” bisik Meilan, matanya gelisah memindai sekeliling seperti sedang ditodong bayangan.
Zhao menahan tawa, lalu menjawab pendek, “Aku harap belum.”
Meilan makin bingung. “Tapi kita ini mau bawa dia kemana? Tengah malam begini... gelap… dingin… dan ilegal.”
Zhao menoleh dan tersenyum penuh misteri. “Bukan kita yang bawa dia. Tapi dia yang akan membawa kita, Meilan.”
“Eh?” Meilan terdiam. “Itu maksudnya apa…?”
Tak lama, terdengar suara pintu berderit, dan muncullah Pangeran Jae Min dengan rambut berantakan dan mata masih separuh dunia mimpi.
“Kenapa kalian terlihat seperti maling yang salah target?” gumamnya sambil menguap lebar, berdiri di ambang pintu dengan kipas masih di tangan.
“Kita mau keluar, Pangeran,” jawab Zhao santai. “Tapi sebelumnya… kita harus menyamar.”
Jae Min memandang mereka dari atas sampai bawah, lalu menggaruk pelipisnya pakai ujung kipas. “Kenapa menyamar kalau niatnya udah mencurigakan dari awal?”
Meilan, seperti biasa, hanya menarik napas panjang tanda pasrah.
Beberapa menit kemudian, ketiganya muncul dengan pakaian hitam serba longgar dan penutup kepala. Zhao tampak paling semangat, Jae Min seperti orang yang dipaksa ikut acara dadakan, dan Meilan... sudah menandatangani kontrak pasrah seumur hidup.
“Kak Zhao, kau belum bilang… kita mau kemana?” tanya Jae Min sambil melongok kanan kiri seperti anak kecil yang mau kabur dari rumah.
Zhao menyeringai. “Ke tempat paling menyenangkan untukmu.”
Jae Min membelalak. “Hah?! Tempat paling… menyenangkan…?” Lalu matanya membesar seolah baru sadar. “Kau nggak serius mau ajak aku ke tempat itu?! Tempat itu penuh dengan wanita dan anggur! Kalau Kakak tahu, aku bisa dipenggal pakai kipas emas!”
“Kau terlalu dramatis. Lagipula, kalau Pangeran Yu tahu, dia tidak akan buka mulut. Percayalah.” Zhao tersenyum penuh percaya diri.
Jae Min menghela napas. “Aish… kekacauan macam apa lagi ini. Tapi… kenapa aku nggak bisa menolaknya, ya?”
Ketiganya saling bertatapan. Zhao penuh gairah ingin membuat onar, Meilan dalam mode zen, dan Jae Min? Jelas takut, tapi ikut juga.
Mereka pun melompat satu per satu melewati tembok istana. Zhao terkesiap melihat betapa gesitnya Meilan.
“Kenapa kau jago banget manjat gitu?” gumam Zhao nyaris tak terdengar.
Meilan menoleh dan menjawab sambil nyengir, “Kau kira aku cuma tahu cara merapikan rambutmu?”
Zhao mengerutkan dahi. “Kau menyimpan terlalu banyak rahasia untuk seorang dayang…”
Begitu berhasil keluar, mereka berjalan cepat menyusuri jalan setapak yang menuju kota bawah.
“Kau yakin tak ada yang lihat?” tanya Zhao sambil clingak-clinguk ke segala arah.
“Seharusnya tidak, semua sudah tidur tapi....”
BRUK!
Langkah mereka terhenti mendadak. Seorang pria berdiri di tengah jalan, dengan jubah putih dan tatapan seperti detektor dosa.
“…Itu maksudku. Pangeran Yu,” gumam Jae Min pelan.
“Astaga…” desah Zhao.
Pangeran Yu menatap mereka bergantian, tangannya bersedekap. “Mau kemana kalian tengah malam begini… sampai harus panjat tembok segala?”
Zhao mengerang pelan. “Kenapa dia selalu muncul di waktu yang tidak tepat?” bisiknya ke Meilan dan Jae Min.
“Aku sudah menduganya,” sahut Jae Min pasrah.
“Kita cuma… jalan-jalan, Kak,” kata Jae Min dengan senyum awkward.
Zhao dan Meilan langsung mengangguk cepat, seperti dua ayam yang terjebak di kandang macan.
“Malam-malam begini? Jalan-jalan? Itu jawaban terbaik kalian?” tanya Yu, alis terangkat.
“Ini cuma… semacam rencana rahasia,” sahut Zhao sambil tertawa pelan.
“Rahasia yang melibatkan panjat tembok dan kostum ninja?” Pangeran Yu mengerutkan kening. “Zhao, kau benar-benar seperti... wartawan kerajaan yang menyamar.”
Jae Min ikut menimpali, “Kakak, mungkin Zhao hanya ingin melampiaskan kesedihannya… biarkanlah dia. Ini terakhir kalinya, aku janji.”
Meilan dan Zhao langsung mengangguk seolah kepala mereka pegas.
Yu menghela napas. “…Baiklah. Aku ikut.”
“APA?!” Mereka bertiga nyaris pingsan serempak.
“Jangan biarkan orang baik seperti dia ikut!” bisik Zhao.
“Ini bukan tempat menarik untukmu, Kakak,” kata Jae Min polos.
“Kalau tidak menarik, kenapa kalian begitu heboh?” balas Yu sambil tersenyum menang.
Trio pembuat onar saling pandang dengan senyum palsu.
“Baiklah, tapi… istrimu tahu?” tanya Zhao.
Yu menggeleng. “Aku belum menemuinya.”
“Kalau begitu, JANGAN ikut,” potong Zhao tegas.
“Kenapa?”
Zhao berdiri tegak dengan ekspresi dramatis ala aktris tragedi. “Karena kau harus mengutamakan istrimu. Kau tahu rasanya ditinggal suami awal awal pernikahan? Sakit, Pangeran. SAKIT. Jadi kembalilah pada Hwajin sebelum dia menulis surat cerai di kertas bunga.”
Yu terdiam.
Setelah Yu mundur teratur, trio itu segera melanjutkan perjalanan menuju tempat langganan rahasia Pangeran Jae Min tempat penuh lampion, tawa para wanita cantik, dan aroma minuman manis yang bisa membuat lupa akan gelar dan status.
Namun sayang, mereka tidak tahu bahwa dalam bayangan pepohonan gelap, sepasang mata tengah mengintai mereka.
Mata-mata Pangeran Chun sudah siap melancarkan aksinya.
Zhao adalah targetnya.
Orang-orang bayaran Pangeran Chun muncul dari segala arah, mengepung mereka seperti serigala kelaparan. Tanpa aba-aba, mereka langsung menyerang.
Namun kali ini, Pangeran Jae Min tidak lagi hanya bersembunyi di balik kipas. Ia mencabut pedangnya dan melawan. Gerakannya lincah dan terlatih hasil latihannya selama ini.
“Sejak kapan kau sehebat ini?” gumam Zhao dari belakang sambil menunduk menghindari sabetan.
“Sejak sadar bahwa aku sering diculik karena terlalu imut!” seru Jae Min sambil menangkis serangan.
Tapi jumlah mereka terlalu banyak. Pangeran Jae Min mulai kewalahan, nafasnya tersengal.
Meilan yang melihat kondisi itu langsung berbisik, “Nona! Larilah sekarang! Mereka akan membunuhmu jika tetap di sini!”
Zhao tampak ragu. “Tapi”
“Pergilah! Biar kami yang hadapi!” seru Meilan.
Dengan enggan, Zhao berbalik dan berlari secepat yang ia bisa, berharap perhatian musuh teralihkan padanya. Dan benar saja beberapa dari mereka langsung mengejar Zhao.
Namun ketika Zhao menghilang dari pandangan, Meilan berdiri tenang, lalu menatap lawan-lawan di depannya dengan mata yang tajam, seperti mata elang yang sedang menilai buruannya.
Tanpa aba-aba, Meilan bergerak. Langkahnya cepat, presisi, dan mematikan. Dalam hitungan detik, dua orang musuh tumbang.
Pangeran Jae Min terpaku. “Meilan… kau… siapa sebenarnya kau?”
“Aku cuma dayang yang kebetulan jago bela diri,” jawab Meilan singkat, lalu kembali menangkis serangan.
Mereka bertarung berdampingan, saling melindungi, saling menutupi celah. Jae Min tak percaya pada apa yang dilihatnya.
Tiba-tiba seseorang meloncat dari atap dan mendarat dengan gagah.
Pangeran Yu.
Wajahnya serius, dan sorot matanya langsung menilai situasi.
“Aku sudah menduga. Kalian tidak pernah pulang tanpa masalah,” gumamnya sambil menghunus pedang.
Dia memandang Meilan yang masih melawan, matanya menyipit.
‘Gerakannya… seperti seorang prajurit terlatih…’
Namun saat itu Meilan berteriak, “Pangeran Yu! Zhao dalam bahaya! Mereka mengejarnya!”
Yu menoleh cepat. “Apa?!”
Meilan mengangguk penuh tekanan. “Cepat! Tolong dia, Pangeran!”
Mata Yu bersinar tajam, lalu tanpa ragu ia melesat ke kegelapan, berlari seperti angin, menyusuri jejak kaki Zhao.
---
Zhao tersandung akar pohon besar dan jatuh keras ke tanah. Ia meringis. Kakinya tak bisa digerakkan.
“Ah sial… Ini sangat tidak dramatis…” gumamnya lemah, menatap musuh-musuh yang perlahan mendekat. “Mereka benar-benar mengejarku. Saat seperti ini… biasanya Pangeran Wang akan muncul tiba-tiba dan menyelamatkanku… Tapi…”
Ia menggigit bibirnya. “Apa mereka akan membunuhku…?”
Zhao memejamkan mata, bersiap menerima takdir.
Tiba-tiba suara tebasan pedang memecah keheningan. Tubuh-tubuh musuh tumbang satu per satu. Angin berdesir deras, seperti ikut mendramatisasi kemunculannya.
“Sudah kuduga ini akan terjadi…” terdengar suara datar penuh wibawa.
Zhao membuka matanya perlahan. “Pangeran Yu…?”
Ia melihat sosok tegak berdiri di depannya, pedangnya berkilau di bawah cahaya bulan.
“Jangan bicara dulu. Kau terluka,” ucap Pangeran Yu sambil berlutut di sampingnya.
Zhao mengangkat tangan ke kakinya yang terkilir. Yu melihat luka itu dan langsung memapahnya.
“Ayo, ke tempat yang lebih aman. Biar kuobati.”
Zhao hanya diam, matanya menatap jemari Yu yang membersihkan luka dengan penuh perhatian.
“Maaf… Aku menyusahkan lagi, ya…” ucap Zhao pelan, tak sanggup menatap matanya.
Yu mengangkat wajahnya. “Kami sudah terbiasa dengan ulahmu seperti ini.”
Zhao tertawa lemah. “Aku memang sangat menyusahkan…”
“Tapi percayalah… itu menyenangkan.”
Zhao menoleh. Tatapan mereka bertemu. Tapi anehnya tak ada rasa berdebar seperti dulu. Hatinya tenang. Terlalu tenang.
“Sebelum kau masuk istana… semuanya sunyi. Dingin. Seperti tak ada warna. Tapi setelah kau datang, semua berubah. Tawa, kekacauan, kekonyolan, kehidupan semuanya datang bersamaan… terutama untukku.”
Zhao mengerjapkan mata. “Tingkah konyolku ya… Kenapa itu terdengar seperti hinaan yang manis?”
Yu tersenyum. “Mungkin karena memang begitu.”
“Eh tapi… Kau bisa ke sini. Kau sudah bilang ke Hwajin?” tanya Zhao.
Wajah Yu menegang sejenak. Ia mengalihkan pandangan. “Kita harus segera kembali, sebelum keadaan makin kacau.”
Zhao mencibir kecil. ‘Menghindar ya…’
Pangeran Yu terlihat ingin menggendong Zhao, tapi ragu. Untunglah, Pangeran Jae Min dan Meilan tiba.
“Kalian baik-baik saja?!” tanya Yu.
“Kami selamat. Meilan luar biasa! Aku sampai terpukau!” seru Jae Min.
Zhao menatap Meilan, tak percaya.
Yu menoleh. “Meilan, bawa Zhao pulang. Kuat, kan?”
Meilan mengangguk. “Tentu, Pangeran.”
Ia menggendong Zhao ke punggungnya.
“Ayo kita pulang, Nona,” ucap Meilan lembut.
Zhao mendesah. “Kau yakin kuat?”
Meilan tersenyum. “Untuk Nona… aku akan lakukan apa pun. Asal jangan suruh aku nyanyi.”
Zhao tertawa pelan di pundaknya.
Sementara Meilan menggendong Zhao menuju istana, dua pangeran berjalan di belakang mereka.
“Kakak, aku menangkap salah satu dari mereka. Besok kita bisa interogasi,” ucap Jae Min.
Yu mengangguk pelan, matanya terus mengikuti punggung Zhao.
---
(Kediaman Pangeran Yu & Hwajin)
Hwajin duduk sendirian di sisi ranjang. Tatapannya dingin. Tempat tidur itu… masih kosong.
Namun pikirannya tidak meluap dengan cemburu, melainkan penuh tanya dan firasat yang dalam.
---
(Di Ruang Rahasia Pangeran Yu)
Meilan berdiri tenang, menunduk hormat.
“Siapa kau sebenarnya, Meilan?” tanya Yu tegas.
“Saya Meilan… dayang pribadi Nona Zhao,” jawabnya.
Yu menyipitkan mata. “Selain itu?”
Meilan mengangkat wajahnya. “Saya adalah prajurit didikan Pangeran Wang.”
Mata Yu membelalak sedikit. “Prajurit…? Kakak Wang…?”
“Ya, Pangeran. Ia menyelamatkan saya dari perdagangan manusia saat saya kecil. Pangeran wang membeliku, bukan untuk dijual… tapi untuk diselamatkan. Lalu melatih saya seperti prajurit lainnya.”
Yu terdiam.
“Karena saya perempuan, Pangeran Wang mengirim saya ke keluarga Nona Zhao….”
“Jadi Pangeran Wang tahu soal Zhao sejak lama?”
“Tidak, Pangeran. Awalnya tidak. Tapi saat saya tahu ada undangan perjodohan dari istana, saya langsung memberi tahu beliau. Mungkin itu alasan kenapa beliau tidak menolak perjodohan itu.”
Yu mengangguk pelan. “Pantas saja… Dia mempercayakan Zhao begitu dalam.”
Meilan diam.
“Besok… kita akan menginterogasi orang yang kau dan Jae Min tangkap. Mari kita lihat siapa dalang sebenarnya.”
---
(Di Tempat Tersembunyi Pangeran Chun)
Pangeran Chun menghantam meja hingga pecah. “Mereka gagal! Dan salah satu dari mereka tertangkap!”
Matanya membara.
“Pangeran Yu dan pangeran Wang tidak akan tinggal diam… dan aku gagal… lagi.”
Tangannya mengepal. Malam itu… tatapannya tak hanya kesal tapi mematikan.
Malam perlahan memudar. Langit mulai berganti warna, dari hitam kelam menjadi abu-abu kebiruan. Udara dingin masih menggigit, seolah menahan pagi untuk datang.
Di gerbang utama istana, dua penjaga menguap lebar, bosan dengan giliran jaga yang nyaris tak pernah ada kejutan sampai langkah kaki berat terdengar dari kejauhan.
Tap. Tap. Tap.
Suara sepatu bot kulit menyentuh tanah berbatu dengan irama mantap. Di balik kabut fajar, muncul siluet tinggi menjulang, berjubah gelap panjang yang berkibar tertiup angin. Di satu sisi pinggangnya, sebuah pedang terikat rapi. Matanya tajam, menatap ke depan tanpa ragu.
Penjaga pertama memicingkan mata. “Siapa itu…?”
Penjaga kedua terdiam. Mulutnya perlahan terbuka, napasnya tercekat.
Langkah itu berhenti tepat di hadapan gerbang istana.
“Laporkan pada Yang Mulia…” suara itu terdengar dalam, tenang, dan penuh karisma. “Pangeran Wang… telah kembali.”
Penjaga langsung tersentak. Mereka membungkuk dalam-dalam, nyaris menjatuhkan tombaknya karena panik dan tak percaya.
“S-selamat datang kembali, Pangeran…!”
Pangeran Wang menatap langit yang mulai berubah warna. Matanya dingin, tapi ada sesuatu yang tersembunyi di dalamnya sebuah kegelisahan yang tak biasa.
“Aku merasakan sesuatu telah terjadi... dan aku terlalu lama pergi.”
Tanpa sepatah kata pun lagi, ia melangkah masuk melewati gerbang istana. Jubah hitamnya mengepak seperti bayangan elang, menandai akhir dari malam penuh bahaya…
…dan awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.