Rizal mati-matian menghindar dari perjodohan yang di lakukan orang tuanya, begitupun dengan Yuna. Mereka berdua tidak ingin menikah dengan orang yang tidak mereka cintai. Karena sudah ada satu nama yang selalu melekat di dalam hatinya sampai saat ini.
Rizal bahkan menawarkan agar Yuna bersedia menikah dengannya, agar sang ibu berhenti mencarikannya jodoh.
Bukan tanpa alasan, Rizal meminta Yuna menikah dengannya. Laki-laki itu memang sudah menyukai Yuna sejak dirinya menjadi guru di sekolah Yuna. Hubungan yang tak mungkin berhasil, Rizal dan Yuna mengubur perasaannya masing-masing.
Tapi ternyata, jodoh yang di pilihkan orang tuanya adalah orang yang selama ini ada di dalam hati mereka.
Langkah menuju pernikahan mereka tidak semulus itu, berbagai rintangan mereka hadapi.
Akankah mereka benar-benar berjodoh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoon Aera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Undangan
Ruang makan keluarga Bram malam itu hangat, aroma sup buntut mengepul dari mangkuk besar di tengah meja. Yuna duduk di sebelah Rizal, berusaha menjaga sikap seformal mungkin. Mama Wika di ujung meja, senyum sumringah sejak awal, sedangkan Bram terlihat santai sambil memotong daging.
Obrolan ringan mengalir, sampai Bram meletakkan sendoknya dan menatap keduanya.
“Yuna, Rizal…” Suaranya tegas tapi tenang.
“Papa rasa sudah waktunya kita menentukan tanggal pertunangan kalian.”
Kedua pasangan muda itu hampir bersamaan memasukkan makanan ke mulut, dan nyaris bersamaan pula mereka tersedak.
Uhuk... Uhukkk...
Rizal buru-buru meraih gelas air, Yuna pun sama, sampai keduanya saling melirik dalam kepanikan.
“Batuk dulu, jangan dipaksa telan!” seru Mama Wika, setengah khawatir, setengah menahan tawa.
Begitu keduanya sedikit tenang, Rizal mengusap mulutnya dan menatap ayahnya.
“Pa, kok mendadak banget ngomongnya?”
Yuna hanya menunduk, wajahnya memerah, antara malu, kaget dan sedikit bingung harus bereaksi apa.
Bram tersenyum tipis, memotong daging di piringnya seolah membicarakan hal yang sangat biasa.
“Kenapa harus ditunda? Kalian sudah saling mengenal, sudah dekat. Tidak ada alasan untuk menunggu lebih lama.”
Rizal hendak membantah, tapi tatapan ibunya jelas berkata jangan macam-macam. Sementara Yuna meremas sendok di tangannya, mencoba menelan ludah tanpa tersedak lagi.
Mama Wika menimpali dengan suara lembut tapi penuh arti.
“Mama dan papa kan hanya ingin yang terbaik. Lagi pula… ini bukan hal yang perlu dibesar-besarkan. Pertunangan itu awal dari langkah yang baik.”
Rizal dan Yuna saling pandang sekilas, sama-sama sadar bahwa mereka tidak akan mudah keluar dari pembicaraan ini tanpa keputusan yang mengikat.
*****
Malam itu udara masih lembab sisa hujan. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan di aspal yang basah. Mobil Rizal melaju pelan, seolah ia sengaja memperlambat waktu.
Yuna duduk di kursi penumpang, tangannya memainkan ujung tas di pangkuannya. Sejak makan malam tadi, jantungnya belum juga tenang. Sesekali, ia melirik ke arah Rizal yang fokus menyetir, tapi bibirnya seperti menyimpan senyum tipis.
Sesampainya di depan rumah Yuna, mobil berhenti.
“Sudah sampai.” Ucap Rizal pelan, suaranya agak berat.
“Hmm… makasih sudah nganter.” Balas Yuna, matanya masih menatap ke depan, tidak berani menoleh.
Hening sejenak.
Rizal akhirnya menoleh, menatap wajah Yuna yang separuh tertutup rambut.
“Tadi waktu Papa ngomong soal pertunangan… kamu kaget ya?”
“Kaget banget… tapi bukan berarti aku...” Yuna menghela napas kecil lalu berhenti bicara, lidahnya kelu.
Rizal sedikit mendekat, jarak di antara mereka semakin sempit.
“Bukan berarti kamu nolak kan?”
Pandangannya dalam, membuat Yuna tak sanggup menatap balik. Ia hanya menggeleng pelan, pipinya mulai panas.
Tiba-tiba Rizal mengangkat tangannya, menyelipkan helai rambut yang menutupi pipi Yuna. Gerakan itu begitu lembut, tapi cukup membuat degup jantungnya berlari liar.
Yuna menelan ludah, napasnya terasa berat.
“Mas… Rizal…” Suaranya nyaris berbisik.
Rizal tersenyum tipis, lalu tanpa banyak kata, ia mendekat lagi, hingga Yuna bisa merasakan hangat napasnya. Jantungnya seperti meledak saat bibir mereka akhirnya bertemu, lembut dan hati-hati, seolah Rizal takut Yuna akan menghilang jika ia terlalu cepat.
Ciuman itu singkat, tapi cukup untuk membuat dunia di sekitar mereka seakan hilang. Begitu berpisah, Yuna menunduk, wajahnya merah merona.
“Mas…” Ia menggumam, masih belum berani menatap.
Rizal hanya tersenyum, mengusap pipinya pelan.
“Hati-hati masuk. Dan… jangan mimpiin aku malam ini.”
Yuna hampir protes, tapi malah tersenyum malu. Ia turun dari mobil, dan sebelum masuk rumah, sempat menoleh. Rizal masih di sana, menatapnya, seolah enggan pergi.
*****
Nadine sedang melangkah di koridor lantai atas ketika samar-samar terdengar suara ayah tirinya, Indra, sedang berbicara di ruang kerja. Awalnya ia tak terlalu peduli, sampai telinganya menangkap nama Rizal dan Yuna disebut.
Ia berhenti di depan pintu yang sedikit terbuka, rasa penasaran mendorongnya untuk menguping.
Suara Indra terdengar jelas kali ini.
“Ya, Bram… kalau memang mau dipercepat, saya ikut saja. Kalau itu memang keputusan keluarga, kita tinggal tentukan tanggalnya. Nanti biar saya yang bilang pada Sania dan Nadine untuk membantu.”
Mata Nadine membelalak.
Pertunangan? Dipercepat?
Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Bibirnya mengatup rapat menahan luapan emosi yang tiba-tiba menggelegak di dada.
Jadi benar… mereka semua sedang berencana untuk mengikat Rizal dengan Yuna secepat mungkin?
“Baiklah, saya tunggu kabar selanjutnya dari kamu, Bram.” Indra tertawa kecil dari dalam ruangan.
Telepon ditutup.
Nadine mundur beberapa langkah sebelum Indra sempat keluar, napasnya tersengal. Rahangnya mengeras.
“Selalu aja Yuna… Yuna... Yuna terus.” Gerutunya, suaranya nyaris seperti bisikan penuh kebencian.
*****
Beberapa hari kemudian, kantor Yuna mendadak riuh. Berita pertunangannya dengan Rizal menyebar begitu cepat, seolah ada yang sengaja membocorkannya.
“Eh, serius nih? Yuna tunangan sama Pak Rizal?” Bisik salah satu rekan kerjanya sambil melirik ke arah meja Yuna.
“Iya, aku lihat undangannya di meja kepala divisi. Elegan banget… cuma orang-orang penting aja yang diundang.” Jawab yang lain dengan nada setengah iri.
Undangan berwarna putih gading dengan cetakan emas itu memang terlihat mewah. Meski acaranya bersifat tertutup, beberapa posisi penting di perusahaan sudah mendapatkannya, membuat gosip makin panas.
Di tengah riuhnya obrolan, Yuna hanya duduk diam di meja kerjanya. Tangan memegang pulpen, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Sesekali dia mendengar namanya disebut, lalu suara-suara itu kembali merendah begitu dia menoleh.
Sore berlalu, malam semakin menjelang. Yuna duduk di tepi ranjang sambil memegang undangan reuni yang di terimanya, setelah undangan pertunangannya tersebar. Warna undangannya mewah, dengan lambang hotel berbentuk elegan di bagian atas, hotel milik Sinta, sahabatnya.
Matanya berlama-lama menatap nama pengirimnya. Sinta Rahardian. Nama yang dulu selalu identik dengan tawa dan rahasia kecil mereka berdua… sampai semuanya hancur gara-gara kesalahpahaman di masa sekolah.
Yuna menarik napas dalam. Di satu sisi, hatinya ingin sekali menghadiri reuni itu, berharap bisa meluruskan apa yang dulu terjadi. Siapa tahu, setelah bertahun-tahun, Sinta mau mendengar penjelasannya. Tapi di sisi lain, bayangan wajah-wajah yang dulu merundungnya, mungkin masih menyimpan cibiran, membuat perutnya terasa mengeras.
Apalagi sekarang… semua orang sepertinya sudah tahu kabar pertunangannya dengan Rizal. Tinggal seminggu lagi dan pasti topik itu akan jadi salah satu bahan gosip di reuni. Yuna tidak bisa membayangkan harus menghadapi tatapan penuh tanya atau mungkin sindiran, di depan orang-orang yang dulu membuatnya trauma.
Dia memejamkan mata, jemarinya meremas undangan itu.
Kalau aku datang, aku bisa bereskan masalah masa lalu. Tapi… kalau aku datang, aku juga membuka peluang untuk dilukai lagi.
Suara hujan yang mulai mengetuk kaca jendela membuat pikirannya semakin berat. Yuna tahu, dia tidak punya banyak waktu untuk memutuskan.
Malam itu rumah keluarga Lesamana terasa lengang. Papi-nya sedang membaca tabletnya di ruang tamu, Sania sibuk belanja melalui aplikasi marketplace dan Nadine, seperti biasa, memanjakan diri dengan masker wajah di kamar. Yuna duduk di tepi ranjangnya, menatap ponsel yang sejak tadi ada di genggaman.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengetik pesan singkat pada Rizal.
Mas, boleh telpon sebentar?
Balasan datang hanya dalam hitungan detik.
Sekarang?
Iya.
Tak lama kemudian, nada dering panggilan masuk. Yuna menekan tombol hijau.
"Masih sibuk?" Tanyanya hati-hati.
"Kalau untuk kamu, nggak pernah," jawab Rizal, nada suaranya terdengar santai tapi hangat.
"Ada apa?"
Yuna ragu sejenak sebelum akhirnya berkata.
"Aku… diundang reuni. Di hotel milik sahabat aku. Dulu kami pernah berselisih paham dan sampai sekarang belum pernah bicara lagi. Aku mau kesalahpahaman itu selesai, tapi di sisi lain… aku takut. Apalagi, berita pertunangan kita sudah tersebar. Takutnya malah jadi bahan omongan."
Rizal diam sebentar, seolah mempertimbangkan kata-kata Yuna.
"Kamu mau aku jawab sebagai atasan, atau sebagai calon tunangan?"
"Sebagai… calon tunangan, deh." Yuna tersenyum kecil.
"Kalau begitu, aku bakal bilang... pergilah kalau kamu siap menghadapi semua kemungkinan. Tapi kalau hatimu masih belum mantap, nggak usah memaksakan diri. Kamu nggak punya kewajiban membuktikan apapun ke mereka. Yang penting, kamu tahu siapa dirimu dan apa yang kamu perjuangkan."
"Jadi… Mas nggak keberatan kalau aku datang?"
"Asal kamu nggak datang sendirian," Kata Rizal pelan.
"Kalau kamu mau, aku bisa nemenin." Imbuhnya.
Yuna terdiam. Membayangkan datang ke reuni bersama Rizal, yang akan segera jadi tunangannya, membuat perasaannya campur aduk.