Yujin hanya ingin keluarga utuh dengan suami yang tidak selingkuh dengan iparnya sendiri.
Jisung hanya ingin mempertahankan putrinya dan melepas istri yang tega berkhianat dengan kakak kandungnya sendiri.
Yumin hanya ingin melindungi mama dan adiknya dari luka yang ditorehkan oleh sang papa dan tante.
Yewon hanya ingin menjalani kehidupan kecil tanpa harus dibayangi pengkhianatan mamanya dengan sang paman.
______
Ketika keluarga besar Kim dihancurkan oleh nafsu semata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caca Lavender, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hidup yang Mereka Pilih
Rumah itu modern dan sederhana. Tidak sebesar rumah Yujin ataupun rumah keluarga besar Kim. Dinding putih dengan sentuhan kayu terang, jendela besar yang menyambut cahaya pagi, dan lantai keramik putih. Cukup nyaman untuk ditempati keluarga kecil. Tapi tidak ada suara tawa anak-anak. Tidak ada panggilan "Papa!" atau "Mama!". Yang ada Hanya gema langkah kaki yang tak berarti.
Hana duduk di meja makan, sendok bubur tak disentuh di hadapannya. Ia mengenakan sweater rajut biru muda dengan rambut dikuncir rapi. Di seberangnya, Jihoon sedang menatap layar tablet, pria itu mengenakan kemeja putih dan celana kain abu-abu. Dasi tergantung di lehernya, belum sempat dikencangkan.
"Kamu tidur jam berapa kemarin malam?" Hana bertanya pelan sambil menatap bubur yang sudah mulai dingin.
"Jam tiga," jawab Jihoon tanpa mengalihkan pandangan dari laporan keuangan di layarnya.
"Ada banyak pekerjaan?" tanya Hana.
"Rapat investor minggu depan. Dan Yujin juga mulai aktif di RHEA lagi membuatku semakin pusing,” keluh Jihoon.
Hana terdiam. Ia mengambil sendok, lalu mengaduk-aduk bubur tanpa benar-benar ingin memakannya, “kamar anak-anak sudah selesai. Aku taruh boneka panda di tempat tidur Yewon. Sunghan suka mainan serigala, jadi aku tambahkan di raknya. Dan kalau Sumin mau ikut kita, dia bisa tidur bersama Yewon."
Jihoon Hanya mengangguk. Tidak menjawab.
"Kamu yakin mereka akan mau tinggal di sini?" tanya Hana dengan suara kecil.
"Mau tidak mau, mereka akan terbiasa," jawab Jihoon singkat. Tapi di matanya, keraguan tampak samar.
Rumah yang mereka sebut sebagai permulaan baru, ternyata sunyi. Mereka mengira bahwa akhir mereka akan bahagia jika mereka bersama. Nyatanya, justru kekosongan menghantui mereka.
...----------------...
Siang harinya, Hana berdiri di depan kamar yang ia siapkan untuk Yewon. Dindingnya berwarna sage green. Tirai tipis bergoyang lembut terkena angin. Ranjang kecil telah dihiasi dengan seprai bergambar hewan-hewan lucu. Boneka panda Yewon yang diam-diam ia selamatkan sebelum Jisung mengemasi semua barang-barang putrinya, kini duduk manis di pojok bantal.
Hana duduk di tepi ranjang dengan pandangan kosong. Lalu, perlahan ia menarik boneka itu ke pelukannya.
Air matanya jatuh dalam senyap.
"Kami hanya jatuh cinta ... apa itu salah?" bisik Hana berusaha menepis jawaban pasti atas pertanyaan yang ia sendiri sudah tahu jawabannya.
Hana masih ingin percaya bahwa yang ia pilih adalah jalan menuju kebahagiaan. Bahwa Jihoon adalah cinta sejatinya. Tapi tidak ada yang mengajarinya cara hidup dengan rasa bersalah seperti ini.
Ia membuka ponsel, lalu membaca pesan yang ia kirim tiga hari lalu ke Yewon.
Mama kangen kamu, Wonnie. Kamu sehat? Mama mau kamu pulang sama mama.
Masih centang satu.
Hana mencoba menelepon, tapi tidak diangkat. Lalu ia menulis pesan baru. Kali ini lebih singkat.
Mama di rumah baru. Kapan-kapan mau lihat kamarmu?
Ia tahu bahwa jawaban Yewon mungkin tidak akan pernah datang padanya.
...----------------...
Sementara itu, di ruang kerja, Jihoon menutup laptopnya. Ia baru saja membaca ringkasan rapat internal RHEA. Yujin muncul dalam catatan sebagai pemimpin presentasi desain kampanye Fall 2025. Para investor mulai mempertanyakan peran Jihoon sebagai CEO. Mempertanyakan mengapa istri yang telah ia lukai justru kini kembali sebagai penyelamat perusahaan.
Jihoon menatap meja kosong di seberangnya. Dulu, di rumah lamanya, Yujin sering duduk di hadapannya, menemaninya bekerja, dan membantunya menyusun presentasi. Ia bisa mendengar tawa lembut istrinya, aroma kopi buatan Yujin, bahkan suara kecil Sunghan yang kadang menyelinap masuk untuk meminta pelukan.
Dan Sumin.
Putri sulungnya yang dulu begitu bangga padanya. Yang pernah berdiri di depan teman-teman sekolahnya dan berkata, "papa Jihoon adalah laki-laki paling keren di dunia!"
Sekarang, anak itu bahkan tidak sudi menatapnya. Setiap tatapan Sumin seperti tamparan yang membakar. Penuh kebencian dan kekecewaan. Jihoon tidak menginginkan hal ini. Kebencian anak sulungnya padanya lebih menyakitkan daripada kebencian istrinya sendiri.
Jihoon meraih ponselnya, lalu membuka kontak Sumin. Jarinya melayang di atas tombol panggilan. Tapi berhenti di tengah. Tangannya gemetar, ia belum siap menghadapi gadis itu. Ia tahu, jika suara anak itu terdengar, hatinya bisa runtuh. Ia juga tahu bahwa Sumin tidak akan mau mengangkatnya. Bahkan jika diangkat, Sumin hanya akan melontarkan kalimat penuh kebencian yang siap membunuhnya kapan saja.
Ia meletakkan ponsel pelan, lalu menangkup wajah dengan kedua tangan. Suara napasnya berat. Di dalam dirinya, pertanyaan yang sama terus berputar.
Apakah cinta yang ia perjuangkan ... sepadan dengan semua yang ia hancurkan?
...----------------...
Dua hari kemudian, Jihoon dan Hana berdiri di halaman TK tempat Sunghan dan Yewon bersekolah. Mereka berpakaian rapi, mencoba terlihat seperti orang tua biasa.
Guru menyambut mereka dengan raut wajah ramah namun waspada, "selamat pagi, Tuan Kim, Nyonya Seo."
"Pagi, Bu guru," sapa Jihoon balik.
"Kami ingin menjemput Sunghan dan Yewon. Sekadar mengajak makan siang keluarga di luar," kata Hana sambil tersenyum kaku.
Guru itu menunduk sebentar, "maaf, Nyonya Seo. Saat ini, nama Nyonya Seo dan Tuan Kim sudah dicabut dari daftar wali Kim Yewon dan Kim Sunghan. Dan kami diminta oleh wali mereka untuk tidak mempertemukan mereka dengan Tuan dan Nyonya dulu."
"Saya ayahnya Sunghan," kata Jihoon dengan tegas tegas, "saya punya hak untuk menemui anak saya."
"Benar, Pak. Tapi kami juga bertanggung jawab atas kesejahteraan emosional anak selama di sekolah. Saat ini, berdasarkan arahan wali dan psikolog sekolah, pertemuan langsung kalian dengan anak-anak dinilai belum sehat," balas sang guru.
Hana menggenggam tasnya erat-erat, "saya cuma ingin melihat anak saya, Bu. Itu saja."
Guru itu menunjukkan raut wajah prihatin mendengar ketulusan Hana, "Yewon menunjukkan gejala stres berat setiap kali topik ini dibicarakan. Dan Sunghan semakin sensitif dan mudah marah di kelas. Jadi, kami mohon pengertian tuan dan nyonya. Kami ingin menjaga kestabilan mereka."
Jihoon menoleh ke taman bermain. Di kejauhan, Sunghan sedang mendorong ayunan tempat yang diduduki Yewon. Mereka tampak senang sekali seolah tidak ada beban. Dan memang seharusnya begitu. Anak-anak itu tidak seharusnya menanggung beban yang ditimbulkan oleh orang tua tidak bertanggung jawab seperti dirinya.
...----------------...
Sekolah Sumin dipulangkan lebih awal karena ada rapat guru. Ia memutuskan untuk meminta pengasuh Sunghan dan Yewon libur hari ini karena ia akan menjemput adik-adiknya sendiri. Ketika sampai di depan TK Sunghan dan Yewon, sudah banyak orang tua yang menjemput.
Tapi ada yang menarik perhatiannya. Mobil putih yang sangat ia hafal terparkir di bawah pohon depan sekolah. Itu mobil Jihoon. Tangan Sumin mengepal keras. Ia menahan diri untuk tidak langsung menghampiri papanya dan membuat keributan.
Sumin menghela napas untuk meredakan emosi. Ia memilih untuk menunggu adik-adiknya tepat di depan gerbang.
"Minnie..."
Ia memejamkan mata saat mendengar suara familiar itu dari belakang. Sumin mengumpulkan ketenangan sebelum berbalik untuk menghadapi Jihoon. Ia sedikit terkejut dan hampir kehilangan kesabaran saat melihat Jihoon berdiri di depannya bersama Hana. Selama ini, ia kira dua orang itu berpisah, ternyata masih tetap saja bersama dan melakukan zina.
"Apa?" tanya Sumin dengan nada dingin.
Jihoon menelan ludah kasar, "papa hanya ingin menyapa. Sudah lama kita tidak bertemu, sayang."
Sumin Hanya berdeham, lalu memutar bola mata dengan sinis. Ia kembali mengalihkan pandangan ke arah pintu kelas Sunghan dan Yewon.
"Kamu mau ikut kami? Kita bisa jalan-jalan sebentar ke tempat bermain. Sunghan dan Ye--"
"Ck, berisik," desis Sumin tanpa menoleh membuat Jihoon terdiam seketika.
"Sumin, kami ingin quality time bersama Sunghan dan Yewon. Kamu pasti tidak akan membiarkan mereka bersama kami sendirian, kan? Jadi kamu bisa ikut untuk menjaga mereka," ucap Hana berusaha meyakinkan.
Sumin menghela napas, lalu menatap malas Hana sambil bersedekap, "dengan atau tanpaku, Sunghan dan Yewon tidak akan pergi bersama kalian."
"Sumin, Yewon itu anak tante. Kamu kejam kalau mau memisahkan Yewon dan mamanya," balas Hana tidak terima.
"Aku kira kamu bisa memahami ucapanku sebelumnya, Nona Seo Hana. Ternyata kamu sangat keras kepala, ya," ucap Sumin dengan nada tenang namun menusuk, "sudah aku bilang kan kalau jangan pernah muncul lagi di hadapan keluarga kami."
Jihoon hendak menegur nada bicara Sumin yang tidak sopan, tapi gadis itu sudah lebih dulu menatap tajam supaya Jihoon tidak menyela ucapannya.
"Jika kalian sudah berbuat kotor, kalian seharusnya merenungkan kesalahan. Bukan malah muncul bersama di hadapan umum. Tidak tahu malu," desis Sumin sembari menatap sekitar.
Hana ikut memandang sekitar. Dirinya langsung malu dan merapat pada Jihoon saat para orang tua memandang mereka dengan raut tidak menyenangkan sambil beberapa kali berbisik.
Tidak lama kemudian, suara anak-anak terdengar berlarian keluar kelas karena sudah dipulangkan. Sumin langsung memasang senyum lebar ketika melihat Sunghan dan Yewon. Dua anak itu sempat ragu untuk mendekat saat melihat Jihoon dan Hana juga ada di sana. Tapi Sumin langsung berlutut dan membuka lebar lengannya agar dua anak kecil itu langsung masuk ke pelukannya. Setelah itu, ia menggandeng tangan Sunghan dan Yewon di sisi kanan dan kirinya.
"Ayo kita pulang," ucap Sumin hendak membawa Sunghan dan Yewon pergi dari sana.
"Tunggu," sahut Hana, "kamu tidak membawa kendaraan sendiri, Sumin. Lebih baik kami mengantar kalian pulang."
"Kami akan naik bus," jawab Sumin singkat.
Hana beralih dan tersenyum lembut pada Yewon dan Sunghan, "Wonnie dan Hannie ikut naik mobil saja ya, Sayang. Pasti lebih nyaman kalau naik mobil."
Yewon dan Sunghan Hanya diam dan mengeratkan genggaman pada tangan Sumin.
"Yewon dan Sunghan tidak mau ikut dengan kalian," sinis Sumin.
"Sumin, jangan egois. Pikirkan kenyamanan adikmu. Mereka diam karena masih kecil. Tapi kamu sudah besar, seharusnya kamu bersikap lebih dewasa," ucap Jihoon menengahi mereka.
Sumin menatap nyalang mereka, "aku ingatkan sekali lagi. Hak kalian atas Yewon dan Sunghan sudah dibatasi. Dan kalaupun bukan karena hukum tertulis, kalian bisa lihat sendiri kalau Yewon dan Sunghan tidak nyaman berada di dekat kalian."
Sumin melihat Jihoon dari atas ke bawah dengan tatapan merendahkan, "tolong berkacalah sebentar, siapa yang seharusnya bersikap dewasa di sini, Tuan Kim Jihoon."
Sumin langsung menggandeng Yewon dan Sunghan untuk pergi dari sana. Jihoon dan Hana juga tidak berani lagi melawan. Selain karena kepalang malu, mereka juga tidak mau mengambil risiko dibawa ke jalur hukum karena mengganggu anak-anak.
...🥀🥀🥀🥀🥀...