Apakah persahabatan antara laki-laki dan perempuan memang selalu berujung pada perasaan?
Celia Tisya Athara percaya bahwa jawabannya adalah tidak. Bagi Tisya, persahabatan sejati tak mengenal batasan gender. Tapi pendapatnya itu diuji ketika ia bertemu Maaz Azzam, seorang cowok skeptis yang percaya bahwa sahabat lawan jenis hanyalah mitos sebelum cinta datang merusak semuanya.
Azzam: "Nggak percaya. Semua cewek yang temenan sama gue pasti ujung-ujungnya suka."
Astagfirullah. Percaya diri banget nih orang.
Tisya: "Ya udah, ayo. Kita sahabatan. Biar lo lihat sendiri gue beda."
Ketika tawa mulai terasa hangat dan cemburu mulai muncul diam-diam,apakah mereka masih bisa memegang janji itu? Atau justru batas yang mereka buat akan menghancurkan hubungan yang telah susah payah mereka bangun?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princess Saraah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Baikan
Hari Senin kelabu. Sudah lebih dari seminggu aku mendiamkan Nizan. Rasanya hampa. Dan sialnya, aku mulai menyadari ternyata aku juga rindu kerandomannya.
Pulang sekolah, hujan turun deras sekali. Aku berdiri sendirian di depan kelas sambil memandangi anak-anak yang riuh bermain air, beberapa sibuk memakai mantel, yang lainnya menunggu jemputan sambil tertawa, dan ada juga yang pasrah pulang dengan mandi hujan karena tidak membawa payung ataupun mantel.
Aku hanya diam. Menyandarkan punggung ke tembok, membiarkan udara dingin menampar wajahku. Sampai sebuah suara yang sangat kukenal memecah lamunanku.
"Mikirin apa, Sya? Serius banget."
Aku menoleh sedikit, hanya untuk menjeling sebentar sebelum cepat-cepat membuang muka.
Jantungku refleks berdegup lebih kencang. Tapi aku menahan wajahku agar tetap datar.
"Sya?"
Aku masih tak bergeming.
"Kalau kamu nggak mau ngomong sama aku, aku akan berlutut disini sampai kamu maafin aku," ancamnya.
Aku mendengus pelan. "Apaan sih lo, Zan?" jawabku malas.
"Nah! Akhirnya dijawab juga. Kangen tau sama omelan kamu."
Aku melirik tajam. Tapi dia tetap tersenyum, senyum bodoh yang entah kenapa malah bikin aku makin kesal.
"Kamu makin cantik deh kalau prengat-prengut gitu."
"Zan, lo jangan mancing keributan ya."
"Ayo, ribut ajalah. Biasa juga tiap hari kamu bawel ke aku," ucapnya sambil terus menatapku. "Aku lebih suka ribut sama kamu daripada kamu diem kayak gini. Aku sampai nggak bisa kerja tau nggak? Mikirin gimana caranya supaya kamu maafin aku."
Suaranya mulai parau. Matanya berkaca-kaca.
Sial.
Hati kecilku runtuh pelan-pelan.
Aku ingin berbalik. Pergi menyelamatkan diri dari wajah sedihnya.
Tapi sebelum sempat aku melangkah, tangan Nizan lebih dulu menarik pergelangan tanganku.
"Sya, tunggu."
Dengan sedikit tenaga, ia menarikku ke halaman belakang sekolah yang sudah sepi, karena semua anak-anak sudah pulang atau bersembunyi dari hujan.
"Lepasin, Zan!" Aku mencoba melepaskan diri, tapi genggamannya terlalu kuat. Bukan kasar, tapi penuh panik dan putus asa.
"Dengerin aku sebentar aja. Please!"
Aku tak bisa membalas. Air mataku nyaris tumpah. Antara marah, rindu, bingung, dan takut kalau aku benar-benar melemah.
"Lo ngeselin! Lo egois! Gue kesel! Aaaaakhh!"
Semua emosi yang kutahan selama seminggu lebih akhirnya meledak. Suaraku bergema di sudut halaman belakang sekolah yang sepi. Begitu Nizan melepaskan genggamannya, aku mendorong dadanya dan memukulnya berkali-kali, tanpa kekuatan, namun penuh rasa marah yang tertumpuk.
Nizan tak melawan. Ia hanya diam, menerima semua amarahku, seolah tahu bahwa ini satu-satunya cara agar aku bisa tenang dan memaafkannya.
"Bisa-bisanya lo mukul Yoga," ucapku sambil terisak. "Yoga, temen lo sendiri. Cuma karena gue minta dia anterin pulang!"
Nafasku naik turun. Air mata tak tertahan lagi mengalir dari sudut mata. "Gue ga masalah lo posesif ke gue. Tapi gue gak bisa terima lo adu otot. Gue udah bilang dari awal, gue gak suka kekerasan, Zan. Apalagi Yoga temen gue bahkan sebelum gue kenal lo. Kalau ngga karena Yoga kita juga mungkin ga bakal jadi dekat kaya sekarang."
Suaraku pecah, tubuhku gemetar. "Gue gak mau ya pertemanan lo sama Yoga rusak cuma karena gue. Gue gak mauuuu! Lo ngerti nggak sih, Zan?!"
Aku terduduk, memeluk lututku, wajahku terkubur dalam dekapanku sendiri. Isakku terdengar jelas di antara gemuruh hujan yang lebat itu.
Nizan berjongkok di hadapanku, pelan-pelan mengusap bahuku. "Iya, Sya. Aku ngerti," ucapnya lirih. "Mami juga udah jelasin. Aku ngerti alasan kamu semarah itu. Maafin aku ya. Aku yang salah."
Dia menarik napas panjang, wajahnya terlihat bersalah.
"Yah, aku bikin kamu nangis lagi," gumamnya sedih.
Aku mengangkat wajah, masih sesenggukan.
"Gue kesel tau nggak. Lo bahkan gak pernah mau diajak bolos atau mandi hujan sama gue. Tapi lo gak rela kalau gue ngelakuin itu sama orang lain. Aneh emang, taunya posesif aja lo."
Aku mengusap air mataku. "Sebelum ada lo, Yoga yang nemenin gue ngelakuin semua itu, Zan. Lo kan tau."
Nizan mengangguk. "Oke, aku yang salah. Aku cemburu. Maksud aku tuh gini, aku cuma pengen kamu gak bolos terus atau kabur dari eskul. Aku cuma khawatir."
Matanya menatapku tulus. "Tapi kamu gak senang ya? Aku minta maaf ya, Tisya. Maafin aku ya, bawel?"
Aku menatapnya. Lelah. Tapi lega. Dan untuk pertama kalinya setelah seminggu hatiku terasa tenang. Aku mengangguk pelan.
"Sekarang kamu mau ngapain?" tanyanya tiba-tiba. "Mau mandi hujan?"
Aku tersenyum kecil. Mengangguk.
Nizan langsung berdiri, berlari ke kelasnya mengambil helm.
Beberapa menit kemudian, kami berdua sudah berlarian di bawah hujan deras.
...****************...
Sesampainya di rumah, baju kami basah total. Mami hanya geleng-geleng melihat kami seperti dua bebek habis diceburin ke kolam.
"Jadi kamu udah maafin aku, kan?" tanya Nizan, masih terengah tapi penuh harap.
Aku berpikir sebentar. Lalu menjawab setengah malas, "Hmm, iya deh. Tapi awas ya kalau kamu mukul-mukul orang lagi.”
"YESSSS!! Iya iya janji ga mukul orang lagi." serunya riang.
Nizan tertawa. "Chat aku dibales ya, cantik."
Aku tertawa kecil, melambai pelan ke arahnya. "Iya, makasih ya. Hati-hati, Zan."
Ia mengangguk, tersenyum, lalu pergi sambil sesekali menoleh ke belakang.
Dan aku tahu meski hujan mengguyur sepanjang jalan, langit dalam hatiku mulai sedikit terang.
Sehabis mandi, aku duduk di ruang tamu. Rambutku masih setengah basah, handuk kecil melingkar di leher. Tanganku refleks meraih ponsel di meja namun tidak ada notifikasi baru. Aku membuka WhatsApp, berharap ada pesan dari Nizan, tapi kosong.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan lebih. Seharusnya kalau ia sudah sampai rumah, ia sudah mengabari seperti biasanya. Tapi hari ini tidak ada.
Akhirnya aku mengetik duluan.
...Nizan...
^^^Zan, udah sampai rumah nggak? ^^^
^^^Kok nggak ngabarin aku? ^^^
Kukirim pesan itu sambil menggigit bibir bawahku. Centang satu.
Aku menatap layar lama, berharap tiba-tiba berubah jadi dua. Tapi tidak juga. Cuma satu. Ceklis satu. Artinya, dia belum online. Atau mungkin... hmmm.
Aku buru-buru menepis pikiran buruk. Mungkin dia ketiduran, pikirku. Atau mungkin baterainya habis kali ya. Bisa juga lagi makan. Atau lupa pegang HP. Aku berusaha berpikir sepositif. Meski tetap saja ada sedikit gelisah yang menggigit pelan.
Tiba-tiba, ponselku berbunyi.
Tung!
Mataku langsung berbinar. Kutatap layar dengan degup yang tidak biasa. Tapi begitu nama pengirim muncul di layar, ternyata Azzam. Bukan Nizan.
Aku terdiam. Layar yang tadinya kusambut penuh harap, kini terasa datar.
Kubuka pesannya.
...Azzam...
Kapan mau edit filmnya?
^^^Lo bisanya kapan? ^^^
^^^Gue ikut aja.^^^
Besok.
^^^Ya udah besok.^^^
Ok.
Akhirnya kumatikan saja ponselku agar tidak terus memikirkan yang aneh-aneh. Mending aku tidur biar besok ada tenaga untuk memarahi Nizan karena tidak mengabariku, gumamku dalam hati.