bercerita tentang seorang gadis buruk rupa bernama Nadia, ia seorang mahasiswi semester 4 berusia 20 tahun yang terlibat cinta satu malam dengan dosennya sendiri bernama Jonathan adhitama yang merupakan kekasih dari sang sahabat, karna kejadian itu Nadia dan Jonathan pun terpaksa melakukan pernikahan rahasia di karenakan Nadia yang tengah berbadan dua, bagaimana kelanjutan hidup Nadia, apakah ia akan berbahagia dengan pernikahan rahasia itu atau justru hidupnya akan semakin menderita,,??? jangan lupa membaca 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33
Beberapa hari kemudian, kondisi Nadia berangsur membaik. Dengan perawatan intensif dan pengawasan dokter yang telaten, kontraksi prematurnya tidak lagi muncul, dan detak jantung sang janin tetap stabil. Hingga akhirnya, dokter menyampaikan kabar bahagia: Nadia diizinkan pulang dengan catatan istirahat total dan pemantauan ketat.
Pagi itu, langit tampak cerah. Udara segar menerpa lembut wajah Nadia saat ia duduk di kursi roda, didorong perlahan oleh Jonathan. Wajah mereka masih menyimpan gurat lelah, namun kini mulai tergantikan oleh harapan baru. Jonathan membantu Nadia naik ke mobil, memastikan sabuk pengamannya terpasang dengan nyaman, lalu menyetir dengan penuh kehati-hatian.
Di sepanjang perjalanan, Nadia menatap keluar jendela dengan pandangan kosong namun damai. Jonathan mencuri pandang ke arahnya beberapa kali. Di balik diamnya, ia tahu Nadia masih menyimpan luka, tetapi juga kekuatan yang luar biasa.
"Mulai sekarang, aku janji akan lebih hadir untukmu," ucap Jonathan lirih, seolah hanya angin yang boleh mendengarnya.
Sesampainya di rumah, Jonathan membuka pintu dengan tangan sedikit gemetar. Rumah yang sebelumnya terasa dingin dan kosong kini telah ditata ulang. Lampu-lampu hangat menyala lembut di langit-langit, memantulkan cahaya ke foto-foto masa lalu yang kini terasa seperti babak pembuka untuk lembaran baru.
Di kamar utama, tempat tidur sudah diganti dengan seprai baru, harum lavender menyambut mereka seakan mengundang kedamaian. Jonathan membantu Nadia duduk perlahan, membungkus tubuhnya dengan selimut lembut.
"Nad," panggilnya lembut.
"Mulai hari ini, aku akan benar-benar ada untukmu. Kita pulang... sebagai keluarga."
Nadia menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku sudah terlalu lama merasa sendirian, Pak..." suaranya pelan, penuh luka, namun ada sedikit senyum yang mencoba tumbuh di bibirnya.
Malam harinya, setelah Nadia selesai mandi dan berbaring santai di tempat tidur, Jonathan masuk dengan membawa segelas susu hangat. Ia duduk di sisi ranjang, menyodorkan gelas itu dengan senyum tulus.
"Ini untuk kamu," katanya.
Nadia bangkit perlahan dan mengambil gelas itu.
"Terima kasih," ucapnya lirih sebelum menyesap susu buatan tangan suaminya.
Jonathan menatapnya, penuh rasa ingin tahu. "Gimana rasanya?"
Nadia mengerucutkan bibirnya sedikit, lalu menggeleng pelan.
"Terlalu encer. Kebanyakan air, Pak."
Jonathan tertawa, tulus dan lepas.
"Maklum, ini pertama kalinya aku bikin susu sendiri. Biasanya tinggal minta ke Mbok."
Tawa mereka meredakan ketegangan yang sempat lama mengisi ruang di antara mereka. Jonathan kemudian menyentuh perut Nadia dengan lembut, merasakan gerakan kecil dari sang calon bayi.
"Masih sakit?" tanyanya pelan.
Nadia menggeleng.
"Nggak. Cuma capek sedikit."
Dengan lembut, Jonathan mendekatkan wajahnya dan mengecup singkat bibir sang istri. "Sayang... aku kangen kamu."
Suaranya berat, penuh rindu yang sudah lama ia tahan. Sentuhannya tak terburu-buru, ia hanya ingin merasakan kembali kehangatan dari wanita yang kini menjadi segalanya baginya. Nadia membalas tatapannya, tak berkata apa-apa, ia tahu, apa yang sedang diinginkan suaminya saat ini.
Jonathan kembali memajukan wajahnya, mengecup bibir Nadia. Sebuah ciuman yang hangat dan dalam. Jonathan melumat lembut bibir Nadia. Mata mereka terpejam. Merasakan hawa panas yang menjalar di sekujur tubuh. Tangan besarnya mulai menyusuri setiap inchi tubuh Nadia. Menimbulkan sensasi yang telah lama tidak ia rasakan.
" Emhh... Pelan-pelan." Suara Nadia lirih. desahan keluar dari mulutnya. Jonathan yang mendengar itu pun tersenyum. Ia sangat menyukai suara itu.
" Iya. Sayang... Aku akan melakukan nya dengan perlahan." Ucap Jonathan. Yang mulai melakukan penyatuan.
Di bawah cahaya temaram kamar, mereka larut dalam keintiman yang perlahan namun dalam. Bukan sekadar kerinduan fisik, tapi penyatuan dua hati yang sempat tercerai oleh luka dan waktu.
Desahan dan erangan menggema seisi ruangan, namun Jonathan tetap melakukan nya dengan perlahan. Ia mencium kening Nadia, lalu memeluknya erat seolah tak ingin melepaskan lagi.
Malam itu, tak ada yang lebih mereka butuhkan selain kehadiran satu sama lain. Dalam pelukan yang sunyi, mereka menemukan kehangatan baru yang tak lagi rapuh.
...
Pagi menjelang dengan sinar matahari yang perlahan menyelinap melalui celah tirai. Udara pagi yang segar membawa aroma embun yang menenangkan. Nadia terbangun lebih dulu, tubuhnya masih bersandar pada dada Jonathan yang memeluknya erat semalaman. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa tidur tanpa mimpi buruk, tanpa rasa takut, tanpa beban yang menghimpit.
Ia memalingkan wajahnya perlahan, menatap wajah Jonathan yang masih tertidur. Ada ketenangan di sana. Garis-garis lelah yang dulu selalu menghiasi wajah suaminya kini tampak lebih lembut, seperti beban yang perlahan mulai terangkat. Dengan ujung jarinya, Nadia menyentuh pipi Jonathan, dan senyum kecil terukir di bibirnya.
Tak lama, Jonathan membuka matanya perlahan, seperti merespon sentuhan itu.
"Pagi, sayang," ucapnya serak, suara baru bangun tidur yang terdengar hangat di telinga Nadia.
"Pagi..." balas Nadia pelan. Ia menunduk sedikit, merasa gugup, walau mereka telah begitu dekat semalam.
Jonathan menyentuh pipi istrinya dan mengangkat dagunya agar mereka bisa bertatapan.
"Kamu menyesal?" tanyanya hati-hati.
Nadia menggeleng tegas, lalu menjawab, "Enggak. Justru... aku merasa pulang. Untuk pertama kalinya."
Pelukan hangat kembali menyatukan mereka. Tak banyak kata yang dibutuhkan pagi itu. Cukup tatapan, cukup pelukan, cukup rasa aman yang perlahan tumbuh kembali.
Pagi itu, setelah sarapan sederhana yang dibuat Jonathan sendiri. dengan roti panggang setengah gosong dan telur dadar yang terlalu asin. Nadia tertawa pelan sambil memegang perutnya.
"Pak, ini telur apa garam?" godanya sambil menahan tawa.
Jonathan yang baru saja duduk di seberang meja tampak salah tingkah.
"Hei, aku kan masih belajar. Setidaknya aku nggak ngasih kamu mi instan."
"Aku malah kangen mi instan, lho," celetuk Nadia dengan senyum manja.
Jonathan mendengus pelan. "Lain kali, aku bikin. Tapi tetap kamu harus makan yang sehat. Dokter bilang kandunganmu harus dijaga betul."
Nadia mengangguk, matanya menatap penuh syukur.
"Aku bersyukur, bapak sekarang lebih perhatian."
" Sayang. Bisa tidak, jangan memanggilku dengan sebutan. Bapak." Ucap Jonathan, ia merasa risih karena Nadia selalu memanggil nya bapak.
Nadia terdiam sejenak, lalu menatap Jonathan dengan senyum geli yang tak bisa ditahan.
“Terus... harus manggil apa?” tanyanya, dengan nada menggoda.
" Kan sudah terbiasa, kalau lagi di kampus manggilnya, bapak." Lanjutnya.
Jonathan menghela napas, lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, menatap Nadia dengan pandangan serius namun tetap lembut.
"Kalau di kampus, iya... kamu mahasiswa, aku dosen. Tapi di rumah, kamu istriku, Nad. Bukan mahasiswaku. Aku pengen kamu manggil aku... yang lebih personal. Lebih... hangat."
Nadia mengerjap pelan, lalu menyeringai. “Masa manggilnya ‘Yang’? Kayak sinetron banget.”
Jonathan mengangkat alisnya.
“Kenapa nggak? Kedengerannya romantis, lho. Atau, kamu punya panggilan lain?”
Nadia pura-pura berpikir sambil memainkan sendok di tangannya.
“Hmm… ‘Mas’? Atau ‘Sayang’? Atau… ‘Jon’?”
Jonathan meringis geli. “Jangan ‘Jon’, Nad. Kayak tukang bakso keliling.”
Nadia tak tahan, tawanya meledak. Jonathan ikut tertawa. Tawa itu terasa ringan, seperti angin yang meniup debu-debu luka masa lalu.
“Gimana kalau aku panggil kamu ‘Mas’? Kayaknya itu paling netral dan... enak didengar,” usul Nadia akhirnya.
Jonathan mengangguk, tampak puas.
“Setuju. Tapi nanti kalau kamu udah siap, boleh juga panggil aku ‘Ayah’.”
Wajah Nadia berubah sedikit merah. Pandangannya beralih pada perutnya yang perlahan membuncit. Ia meraba lembut permukaan perut itu, seolah menyapa kehidupan yang sedang tumbuh di dalamnya.
“Ayah…” gumamnya pelan, mencoba menyuarakan kata itu. “Aku suka.”
Mata Jonathan melembut. Ia bangkit dari kursinya, menghampiri Nadia, lalu berlutut di hadapannya. Kedua tangannya menyentuh lembut lutut istrinya.
“Nad, aku tahu aku banyak salah. Tapi aku mau berubah. Aku mau jadi suami yang kamu butuhkan. Dan ayah yang anak kita butuhkan.”
Nadia mengangguk, matanya berkaca-kaca.
“Kita belajar sama-sama, Mas. Aku juga belum sepenuhnya sembuh. Tapi… aku mau mulai dari sini. Dari pagi ini. Dari kamu dan anak kita.”
Mereka saling tatap, penuh kehangatan yang menguar perlahan seperti matahari yang mulai naik tinggi. Rumah itu, yang dulu penuh keheningan dan kesepian, kini mulai dipenuhi suara tawa kecil, percakapan lembut, dan detak jantung yang selaras.
salut sma Thor pinter bngt. di buat kbakaran jdi Bella gda tempat tinggal lgi klu kebakran...
gda alasan Ntuk Bella bertahan di gubuknya...
Kevin pasti bwa Bella ke kota🥰
smoga kelak Tuhan mmngganti brkali lipat bahagia untukmu bella... atas smua luka dan duka yg km rsakn slm ini...