Novel ini adalah musim ke 3 dari kisah cinta beda usia antara Pram dan Kailla.
- Istri Kecil Sang Presdir ( season 1 )
Pernikahan karena perjodohan antara Pram dan Kailla. Rumah tangga yang diwarnai
dengan konflik ringan karena tidak hanya karakter tetapi juga umur keduanya berbeda jauh. Perjuangan Pram, sebagai seorang suami untuk meraih cinta istrinya. Rumah tangga mereka berakhir dengan keguguran Kailla.
- Istri Sang Presdir ( season 2 )
Kehadiran mama Pram yang tiba-tiba muncul, mewarnai perjalanan rumah tangga mereka. Konflik antara menantu dan mertua, kehadiran orang ketiga, ada banyak kehilangan yang membentuk karakter Kailla yang manja menjadi lebih dewasa. Akhir dari season 2 adalah kelahiran bayi kembar Pram dan Kailla.
Season ketiga adalah perjalanan rumah tangga Pram dan Kailla bersama kedua bayi kembar mereka. Ada orang-orang dari masa lalu yang juga ikut menguji kekuatan cinta mereka. Pram dengan dewasa dan kematangannya. Kailla dengan kemanjaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pram & Kailla 15
Bayu terpaksa membuka pintu mobil dan keluar sebelum amukan massa semakin menjadi. Situasi sudah tidak kondusif, bahkan mobil Pram tak lepas dari kemarahan warga dan pengguna jalan lainnya.
"Tenang, Pak. Kami tidak akan kabur. Dan aku akan bertanggung jawab." Pram berusaha menengahi, ikut keluar dari mobil. Ia tidak ingin Bayu terluka karena beberapa oknum yang bertindak brutal. Dalam keadaan panik, terlihat Pram menghubungi seseorang.
"Don, tolong temui aku di Jalan Kencana, tidak jauh dari pintu keluar tol. Dan minta Ricko juga. Bawa dua mobil. Bayu menabrak seseorang dan aku membutuhkan kalian berdua," titah Pram pada gawai yang menempel di telinga.
Tampak Kailla menyusul turun. "Sayang, aku takut ...." Kailla memeluk erat pinggang Pram, sesaat setelah keluar dari mobil. Ia tidak mau ditinggal sendirian. Di dalam mobil atau di luar sama menakutkannya. Yang paling nyaman hanya di pelukan Pram.
"Tidak apa-apa," bisik Pram, memeluk Kailla di tengah keramaian. Didekapnya erat, agar sang istri tidak pergi jauh darinya.
"Apa dia ... meninggal?" bisik Kailla terbata. Matanya menatap nanar dari kejauhan, korban sedang digotong. Darah segar menghiasi separuh wajah korban yang sudah lemas tak sadarkan diri.
Pram menggeleng. "Jangan melihatnya lagi. Aku tidak mau kamu menyimpannya di dalam otakmu." Pram bergeser, berdiri di depan Kailla untuk menghalangi pandangan Mommy si kembar. Ia tidak mau Kailla mengingat hal-hal mengerikan seperti ini. Terbersit sesal, harusnya ia tidak memaksa Kailla semobil dengannya. Dengan begitu, Kailla tidak menghadapi hal ini.
Tak lama, petugas kepolisian datang bersama ambulans. Beberapa pria berseragam itu turun dari mobil dan mengurai kerumunan massa, membuat jalan tersendat kembali lancar. Sebagian pengguna jalan membubarkan diri, meneruskan perjalanan. Sebagian lagi menepi, untuk melanjutkan keingintahuan.
Amis darah menyengat. Cairan merah kehitaman pekat itu menggenang di jalanan. Pemandangan mengerikan itu segera ditutupi dengan beberapa koran bekas dan dedaunan oleh warga.
"Sayang, melihat darahnya ... sepertinya ...." Bibir mungil Kailla merapat, tak sanggup melanjutkan kalimatnya.
"Sstt! Semua pasti baik-baik saja. Jangan khawatir." Pelukan Pram semakin erat, menyalurkan kekuatan pada tubuh gemetar Kailla. “Jangan takut, Sayang. Semua pasti baik-baik saja.”
Sempat menjadi bulan-bulanan pemakai jalan dan warga sekitar, akhirnya petugas kepolisian berhasil mengamankan Bayu. Mengurai kerumunan di tepi jalan, agar tidak terjadi keributan yang semakin parah.
"Pak, kami butuh kesaksian dari sopir. Kami akan membawanya ke kantor." Seorang petugas terlihat mendatangi Pram bersama dengan Bayu. Wajah sopir merangkap asisten itu pucat dengan beberapa luka memar di wajah akibat pukulan warga.
"Ya, Pak." Pram menjawab singkat.
"Bay, aku akan mengurusi Kinar dan putrimu. Jangan khawatir. Aku akan mengirim Pieter dan pengacara untuk mendampingimu di kantor polisi.” Pram berusaha menenangkan Bayu.
“Sekarang aku harus ke rumah sakit dan menemui keluarga korban. Mudah-mudahan semuanya baik-baik saja." Pram menepuk lengan Bayu, menyemangati Bayu yang kacau.
***
"Pieter, tolong urus Bayu di kantor polisi. Hubungi pengacaraku. Bayu menabrak seseorang," titah Pram. Sejak tadi, ponsel selalu menempel di telinganya.
"Sayang ...." Kailla berbisik lirih, memeluk pinggang Pram dengan erat. Seakan suaminya itu akan menghilang.
"Sudah tidak apa-apa. Tarik napas, hembuskan. Percaya padaku, semua akan baik-baik saja." Pram tersenyum. Meraih tengkuk Kailla dan mencium kening istrinya lembut dan dalam. Keduanya berdiri di tepi jalan, menunggu Donny dan Ricko.
Kalau boleh jujur, perasaan Pram juga tidak lebih baik dari Kailla. Banyak kekhawatiran menari di benaknya. Terbayang, andai korban sampai meninggal. Bagaimana nasib Bayu ke depannya. Bagaimana dengan Kinar dan anak mereka nantinya.
"Sayang, aku akan ke rumah sakit bersama Donny. Kamu pulang dengan Ricko. Tolong minta Tom jemput Kinar dan anaknya, biarkan mereka menginap di tempat Mama selama Bayu ditahan pihak kepolisian. Jangan katakan apapun pada Mama atau Kinar. Aku akan berusaha membuat Bayu bisa pulang ke rumah secepatnya." Pram memerintah saat melihat Donny dan Ricko berjalan ke arahnya.
"Aku mau ikut ke rumah sakit, Sayang." Kailla menolak.
"Tidak. Pulang ke rumah dan urus anak-anak. Mereka membutuhkanmu malam ini. Kamu juga lelah seharian ini," bujuk Pram dengan tangan menangkup wajah Kailla.
"Tapi ...." Kailla masih protes.
"Sstt, aku mohon kamu mendengarkanku kali ini, Kai. Kasihan anak-anak di rumah. Mereka pasti mencarimu." Pram membujuk.
"Aku mau bersamamu." Kailla memeluk Pram dan melabuhkan kecupan di pipi suaminya.
"Sudah. Ricko sudah datang. Pulang sekarang, aku akan mengabarimu nanti," pinta Pram.
“Sayang ....” Suara Kailla mengambang, saat Pram mendekapnya erat.
“Dengarkan aku, Sayang. Pulang ke rumah, istirahat dan tunggu kabar dariku.” Pram mengecup pucuk kepala Kailla sekilas.
Dengan langkah gontai, Kailla menurut. Berjalan menjauh, sesekali berbalik dan melambaikan tangan pada Pram dengan wajah cemberut.
***
Pram bergegas menuju Instalasi Gawat Darurat dengan Donny mengekor di belakang. Ia panik, segala pikiran buruk mengumpul. Berusaha bersikap tenang di depan Kailla, wajah Pram memucat saat melihat seorang perempuan tua dan anak gadisnya menangis di depan ruangan.
Besar kemungkinan dua orang ini adalah keluarga korban, melihat tidak ada siapa-siapa lagi di dekat mereka. Detik-detik menegangkan, terlihat Pram mengusap kasar wajahnya. Ia hanya bisa berdoa di dalam hati, semoga semua baik-baik saja.
Di tengah kegalauannya, tiba-tiba seorang pria dengan blazer putih muncul bersama dengan perawat wanita dari pintu kaca ruang IGD
"Keluarga pasien ... korban kecelakaan?" tanya sang pria. Raut wajah datar itu terlihat menghela napas berkali-kali.
"Pasien harus segera ditangani. Benturan di kepalanya menyebabkan pendarahan parah. Kami harus segera melakukan operasi ...."
Perempuan tua itu melemas dari dekapan gadis muda. Ia jatuh pingsan, tidak sanggup mendengar berita yang disampaikan dokter hingga selesai. Tubuh rentanya luruh, membentur lantai dingin rumah sakit.
"Bu, bangun ... Jangan begini." Gadis muda itu bersimpuh dan mendekap tubuh ibunya.
"Dok, saya yang bertanggung jawab. Lakukan yang terbaik untuk pasien." Pram bersuara, sembari berjalan mendekat.
"Baik." Dokter menyunggingkan senyum sekilas.
"Lakukan yang terbaik. Saya tidak masalah dengan biayanya. Datangkan saja dokter terbaik. Yang terpenting pasien selamat," lanjut Pram.
Mendengar suara Pram, gadis muda yang tadinya fokus dengan ibunya jadi terusik. Berdiri menantang, gadis yang diperkirakan berusia 17 tahun itu bertolak pinggang dengan mata berapi-api menahan amarah.
"Jadi ini ulah Om. Aku akan menuntut Om," ancamnya setelah mengusap kasar wajahnya yang basah oleh air mata. Telunjuknya mengarah tegas ke wajah Pram. Tidak ada ketakutan sama sekali.
"Jangan pikir kami miskin, Om bisa berbuat seenaknya. Kalau terjadi sesuatu dengan Ayah, aku akan membuat Om membusuk di penjara," ancamnya lagi dengan tatapan mengerikan.
"Maaf, Nona. Nanti kita bicarakan baik-baik. Kasihan Ibunya." Pram menunjuk ke arah perempuan tua yang terbaring tak sadarkan diri di atas lantai.
"Ibu ...." Sang gadis segera memeluk ibunya. Ekspresi amarah itu berganti dalam sekejap.
"Don, tolong diurusi!" perintah Pram, menatap Ibu dan anak di depannya.
"Baik, Pak."
"Pilihkan kamar terbaik untuknya," lanjut Pram.
***
Tbc
untuk yg lain aqu sdh melimpir kak...SEMANGAT ...
membayangkan Pram kok mumet mboyong keluarga ke negri singa dan gak tau sampe kapan demi keamanan.
sat set sat set