 
                            Di kehidupan sebelumnya, Max dan ibunya dihukum pancung karena terjebak sekema jahat yang telah direncanakan oleh Putra Mahkota. Setelah kelahiran kembalinya di masa lalu, Max berencana untuk membalaskan dendam kepada Putra Mahkota sekaligus menjungkirbalikkan Kekaisaran Zenos yang telah membunuhnya.
Dihadapkan dengan probelema serta konflik baru dari kehidupan sebelumnya, mampukah Max mengubah masa depan kelam yang menunggunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wira Yudha Cs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 TIDAK TAHU MALU
Setelah menyewwa dua kamar di penginapan Bugenvil, Max meminta ibunya untuk segera beristirahat. Tak lupa dia meminta pelayan untuk membawakan makanan ke kamar sang ibu. Max membawa Ansel ke serikat kependudukan untuk mendaftarkan identitas agar mereka menjadi warga sah dari wilayah Utara. Awalnya Max ingin pergi seorang diri. Namun, ketika melihat wajah Ansel yang masih tampak sedih, dia berniat ingin menghibur bocah itu dengan mengajaknya jalan-jalan. Benar saja, ketika tiba di keramaian, bocah itu sangat aktif menunjuk ini dan itu. Max mengikuti permintaannya untuk sementara waktu. Lagipula dia tidak
terlalu terburu-buru untuk pergi ke serikat kependudukan.
"Ayah! Ini sangat lezat. Aku ingin memakannya setiap hari!" Ansel berseru gembira sembari memakan daging panggang yang ditusuk dengan kayu kecil. Mulutnya sedikit berlumuran bumbu daging, Max tidak tahan untuk tidak menyeka mulut
mungil itu.
"Makan perlahan. Jangan sampai tersedak," ujar Max usai menyeka mulut bocah itu dengan tangannya. Beberapa gadis yang berlalu-lalang menatap interaksi Max dengan mata penuh gairah. Mereka kagum pada sosok muda nan tampan itu. Tidak biasanya mereka melihat pemuda tampan yang sangat perhatian dengan anak kecil. Apalagi sampai membawa anak kecil berjalan di tengah keramaian seperti ini. Max sendiri
tahu, banyak pasang mata yang menatapnya. Namun, dia abai. Seakan tidak merasakannya.
"Apa lagi yang kamu inginkan?" tanya Max sembari memperhatikan wajah Ansel yang sedang mengunyah.
"Lanjutkan perjalananmu, Ayah. Aku akan mengatakannya jika aku ingin makan sesuatu," balas bocah itu setelah dia berhasil menelan daging terakhir dari tusuknya. Max hanya mengangguk kecil sebagai tanggapan. Dia kembali
melangkah sembari memperhatikan sekitarnya. Suasana ibu kota wilayah Utara sangat ramai. Bahkan lebih ramai daripada pasar yang ada di ibu kota Kekaisaran Zenos. Di tiap sudut dan lapak dagang, Max dapat melihat orang-orang melakukan transaksi jual-beli. Sangat hidup dan bersahaja. Max merasa, keputusannya untuk pindah ke wilayah ini tidaklah salah.
Tak butuh waktu lama, Max segera menemukan bangunan dua tingkat dengan palang bertuliskan serikat kependudukan di depannya. Ketika masuk ke tempat, dia lagi-lagi mendapatkan sambutan ramah oleh para pekerja. Max segera menyelesaikan pendaftaran kependudukan dengan menyertakan identitasnya, sang ibu, dan juga Ansel. Untuk biaya pendaftarannya, Max menghabiskan sebesar 2500 koin emas. 2000 emas untuknya dan sang ibu, serta 500 koin untuk pendaftaran Ansel. Mulai hari ini, Max dan keluarganya sudah tercatat sebagai penduduk sah wilayah Utara. Sebagai tanda bukti, Max mendapatkan tiga token perunggu berbentuk segi empat. Di mana tiap token berisikan nama masing-masing anggota keluarga. Token tersebut diukir dengan cepat oleh pekerja saat pertama kali Max mendaftarkan nama-nama Keluarganya. Max mengucapkan terima kasih kepada para pekerja yang melayaninya sebelum pergi meninggalkan tempat itu. Sementara Ansel, bocah itu sedikit mengantuk setelah perutnya terisi penuh. Bocah itu memeluk erat leher
Max dan menenggelamkan wajah di dadanya.
Max pun memperbaiki posisi bocah itu agar merasa nyaman di dalam gendongannya. Beruntung, cuaca di pagi hari masih cukup sejuk. Jadi Max tidak terlalu khawatir anaknya akan
kepanasan.
"Tidak ada lagi yang kamu inginkan?" tanya Max sembari
mengusap punggung bocah itu dengan lembut. Ansel hanya menggeleng di dadanya.
"Aku lelah, Ayah. Perutku sudah sangat kenyang."
Max tersenyum kecil ketika mendengarnya. Dia kembali
melanjutkan perjalanan pulang ke penginapan Bugenvil. Tanpa Max sadari, ada sosok hitam yang memperhatikannya dari balik bayangan.
Di perjalanan pulang, Max membeli beberapa pakaian untuk Ansel dan dirinya. Ketika dia melewati rumah nmakan yang cukup besar, Max samar-samar mendengar suara pria tua
sedang bercerita. Max sedikit penasaran, terlebih rumah makan itu cukup ramai pengunjung dari berbagai kalangan. Dia pun masuk dan memperhatikan sekitar. Orang-orang yang duduk di meja makan sedang memperhatikan seorang kakek bercerita di atas panggung kecil di sudut ruang.
Ternyata kakek itu adalah seorang pendongeng yang dipekerjakan oleh pemilik rumah makan. Cerita yang ia
bawakan juga banyak mengandung humor yang sangat menghibur. Sesekali gelak tawa bahkan terdengar memenuhi rumah makan itu dengan sangat gembira. Cerita berakhir dan tepuk tangan meriah kembali memenuhi rumah
makan. Seorang anak perempuan memegang kotak berkeliling untuk memungut uang dari para pelanggan. Ada yang melempar perak, tembaga, bahkan emas dan uang kertas. Anak perempuan itu cukup senang ketika mendapatkannya.
Saat kotak itu tiba di depan Max, pemuda tampan itu juga tak lupa melemparkan emas. Namun, mungkin aksinya sedikit menarik perhatian. Sebab, Max tanpa sadar melemparkan
lima koin emas. Lebih banyak dari yang dilemparkan oleh salah satu keluarga bangsawan yang juga mendengarkan dongeng itu. Dia menjadi pusat perhatian untuk sementara waktu. Namun, Max tetap mempertahankan wajah tanpa ekspresinya.
"Sepertinya dia saudagar dari suatu tempat. Dia terlihat sangat kaya."
"Tidak hanya itu, wajahnya juga sangat tampan. Apakah itu anaknya? Sayang sekali, jika dia masih belum memiliki istri, aku akan menawarkan anakku padanya."
"Apa kau gila? Ingatlah, anakmu adalah seorang laki-laki! Kau tidak mempunyai seorang putri!"
"Hahaha aku melupakan hal itu."
"Ibu, apa kamu bisa menanyakan padanya, apakah dia mau menerima seorang selir?"
"Nak! Umurmu masih sepuluh tahun! Aku tidak akan membiarkanmu menjadi seorang selir!" Dan masih banyak lagi percakapan yang tercipta dengan Max sebagai pusat perhatiannya. Sementara sosok yang dibicarakan hanya memasang wajah dingin seakan tak terpengaruh oleh percakapan itu. Max memesan secangkir teh dan duduk sebentar di meja makan yang berada di samping jendela. Ansel masih berada di dalam gendongannya. Bocah itu tertidur cukup pulas. Max cukup leleh untuk melanjutkan perjalanan.
Tak ada salahnya untuk melepas penat sejenak di tempat ini.
"Tuan, ini ada kue kering untukmu sebagai ucapan terima kasih karena telah banyak memberikan kami emas." Anak perempuan yang memungut uang dengan kotak tadi menghampiri Max dengan sepiring kue kering berbentuk
bulan sabit.
Max hanya mengangguk kecil tanpa menolaknya. Anak perempuan itu pun tersenyum cerah dan sekali lagi membungkuk mengucapkan terima kasih sebelum pergi.
Sesekali Max memperbaiki posisi Ansel agar tidak jatuh dari
gendongannya. Setelah itu dia dengan tenang menyesap teh sembari memperhatikan orang yang berlalu-lalang di luar sana melalui jendela.
Suara bisikan demi bisikan orang- orang yang ada di rumah makan masih terdengar di telinga Max. Mereka benar-benar penasaran dengan sosok asing yang memiliki paras rupawan itu. Kira-kira, berasal dari keluarga bangsawan mana pemuda itu? Pikir para gadis dan wanita dewasa. Akhirnya, salah satu gadis bangsawan kelas menengah memberanikan diri menghampiri Max dengan senyum malu-malu. Paras cantiknya membuat para pemuda lain di rumah makan itu terpukau dan
mereka iri pada pemuda tampan yang dihampiri oleh gadis itu.
"Tuan, maafkan saya jika lancang. Saya ingin bertanya, apakah Anda sudah memiliki pasangan?" tanya gadis itu dengan suara lembut. Max menoleh dan mengangguk kecil sebelum menjawab dengan nada datar,
"Ya. Saya sudah memiliki pasangan." Wajah gadis itu seketika memerah karena menahan malu. Namun, dia masih berusaha untuk tetap tersenyum. Biar bagaimanapun, pemuda tampan ini benar-benar telah berhasil memikat hatinya.
"Jika Tuan tidak keberatan, apakah Tuan mau menerima saya sebagai istri kedua?" Pertanyaan itu membuat gaduh para pemuda yang menyaksikan. Sebagian mengagumi keberanian
gadis itu, sebagian lainnya menganggap gadis itu tidak tahu malu. Berbagai bisikan tidak sedap kembali terdengar. Max jadi merasa tidak nyaman. Jika dia menolak secara langsung, gadis itu pasti akan menjadi bahan tertawaan. Max benar-benar berada dalam posisi yang tidak menguntungkan.
"Terima saja. Dia anak seorang Baron yang kaya raya. Kau bisa hidup nyaman tanpa harus bekerja." Itu adalah suara bujukan dari seorang pria dewasa yang duduk tepat di belakang kursi Max.
Mendengar kata 'anak seorang Baron' Max semakin tidak ingin
menyinggung gadis itu. Dia baru tiba di wilayah Utara dan tidak mempunyai koneksi apa-apa untuk membantunya. Akan panjang urusannya jika dia menyinggung gadis itu secara tidak
langsung. Namun, Max juga merasa bahwa dia harus bersikap tegas. Jika tidak, maka di masa depan dia tidak akan pernah bisa terbebas dari situasi seperti ini.
"Saya hanya seorang pendatang baru di wilayah Utara. Saya juga bukan berasal dari keluarga bangsawan. Anda akan sengsara hidup bersama saya." Implikasinya, Max menolak gadis itu secara halus.
Ketika orang-orang mendengar bahwa pemuda itu bukan berasal dari keluarga bangsawan, beberapa orang ada yang menghela napas kecewa.
Sayang sekali wajah tampan itu jika bekerja sebagai penambang atau petani. Padahal, pemuda itu sangat
memancarkan aura kebangsawanan yang sangat tinggi. Namun, setelah orang-orang itu pikirkan, pemuda itu pasti berkata jujur. Buktinya saja pemuda itu tidak memakai pakaian
brokat mewah seperti keluarga bangsavwan.
Gadis cantik yang menawarkan diri menjadi istri kedua, mendadak tertegun dan merasa malu. Wajahnya berubah hijau, kedua tangannya mengepal dengan keras. Dia berpikir, pemuda tampan ini pastilah pembohong besar. Jika bukan berasal
dari keluarga bangsawan, bagaimana mungkin dia bisa melemparkan lima koin emas ke dalam kotak sumbangan
dengan santai.
Baru saja gadis itu ingin berteriak marah karena telah ditolak, seorang pelayan sebaya datang menenangkannya. Dia membisikkan sesuatu kepada gadis itu. Alhasil, gadis cantik yang merupakan anak seorang Baron itu pun hanya bisa mendengkus kesal sembari menatap Max dengan tatapan tajam. Setelah itu, dia berbalik dan pergi tanpa mengucapkan beberapa patah kata.
