Adaptasi dari kisah nyata sorang wanita yang begitu mencintai pasangannya. Menutupi segala keburukan pasangan dengan kebohongan. Dan tidak mau mendengar nasehat untuk kebaikan dirinya. Hingga cinta itu membuatnya buta. Menjerumuskan diri dan ketiga anak-anaknya dalam kehidupan yang menyengsarakan mereka.
Bersumber, dari salah satu sahabat yang memberi ijin dan menceritakan masalah kehidupannya sehingga novel ini tercipta untuk pembelajaran hidup bagi kaum wanita.
Simak kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Bertemu Keluarga Di Kampung
Bab 15. Bertemu Keluarga Di Kampung
POV Umi
Masalah seperti ini sudah aku khawatirkan sejak dulu. Dan itu terjadi sekarang.
Sifat Airin dan Lola berbeda sejak kecil. Semakin berbeda sejak Lola di tinggal ke dua orang tuanya.
Aku salah, selama ini tidak terlalu memperhatikan Lola. Bagaimana pun, dia anak dari mendiang kakakku. Tapi sifatnya yang keras kepala itu terkadang membuat ku benar-benar harus bersabar.
Jemin bukan pemuda yang baik untuk Lola, menurut ku. Tapi anak itu sungguh keras kepala ingin tetap bersama pemuda itu. Dan akhirnya, hamil di luar nikah.
Sekarang aku sedang dalam perjalanan menuju kampung halaman Almarhum Bang Cahyo. Kampungnya ini hanya bisa dilewati dengan jalur air. Namun di sana nanti ada jalur darat yang cukup berkembang. Hanya saja, jarang bisa melihat ada mobil disana.
Mayoritas masyarakat sana hidup dengan bertani dan berkebun. Namun ada beberapa yang sukses tetapi tidak bisa memiliki mobil karena keterbatasan sarana angkut untuk sampai kesana.
Tiba di pelabuhan kecil, aku naik ojek menuju rumah adik Bang Cahyo. Aku ingat, Kak Ruri dulu sering mengajak ku kesini di setiap momen hari lebaran.
Rumah satu lantai yang dengan dinding semen yang memiliki luas 10x20 meter itu adalah rumah peninggalan orang tua Bang Cahyo yang kini di tinggali oleh, Rino dan Neneng, adik-adik Bang Cahyo.
"Loh, kak Tini?!"
"Assalamualaikum..." Salam dan sapa ku ketika melihat Neneng terkejut atas ke datang ku.
"Wa'alaikumsalam. Ya Allah Kak... sudah lama sekali...!"
Neneng yang sedang menjemur padi bergegas menghampiriku dan memeluk aku. Air mata haru pun mengembun di pelupuk mata kami.
"Sehat kamu Neng?"
"Alhamdulillah sehat Kak. Kak Tini gimana sehat? Apa kabar Airin Kak?"
"Alhamdulillah, sehat semua Neng."
"Lola gimana Kak?"
"Kebetulan kamu bertanya. Kakak datang kesini terkait dengan Lola."
"Oh ya? Apa dia buat masalah lagi Kak?"
"Hehehe. Kamu ini, kok langsung berpikiran jelek aja sih?"
"Kayak nggak kenal Lola aja Kak. Oh ya, sampai lupa nawarin masuk. Ayo Kak, masuk. Sini tasnya Neneng bawain."
"Iya. Hehehe... makasih ya."
Kami pun berjalan memasuki rumah dan duduk di ruang tamu dengan kursi usang yang terawat peninggalan orang tua Bang Cahyo.
"Berapa lama nginap sini? Sebulan ya Kak."
"Halah, kamu ini. Bisa ngomel Airin nanti. Hehehe..."
"Hehehe... Biar Neneng bisa bawa Kakak puasin kampung sini. Ada air terjun loh Kak disini."
"Masa? Dulu nggak ada kan?"
"Ada Kak. Cuma di dalam hutan. Sekarang sudah di kasih akses jalan dan jadi tempat wisata. Bagus loh Kak."
"Jauh?"
"Nggak juga, empat puluh sampai lima puluh menit dari sini. Nanti masuk hutan jalan sekitar sepuluhan menit aja."
"Lumayan juga ya."
"Kalau mau kesana mending pagi sekalian olah raga. Nggak pagi amat sih, sekitar jam delapan pagi gitu kita turunannya dari rumah."
"Boleh deh. Nanti kita atur waktunya. Kakak disini mungkin sekitar 4 hari aja."
"Ih, kok cepet. Sebulan ya?"
"Hehehe, ngawur kamu."
Kami pun saling bertukar kabar dan cerita. Lalu tas ku di bawa ke kamar Neneng. Selama disini, aku akan tidur dengan Neneng.
Neneng belum menikah di usianya yang sudah menginjak tiga puluh lima tahun. Cacat pada sebelah matanya membuatnya tidak percaya diri dan menutup diri. Sedangkan Rino, dia sudah menikah dan memiliki dua anak, Bagas dan Bagus.
"Paling siang nanti Kak Ayu sama Bang Rino pulang. Kalau Bagas sama Bagus sekolah. Jam 2 siang atau jam 3 sore baru pulang."
"Kebun tahun ini banyak menghasilkan Neng?"
"Alhamdulillah Kak. Walau nggak besar, tapi ada. Kan rejeki dan nikmat sekecil dan sebesar apa pun, harus di syukuri."
"Bener itu."
"Eh iya, malah ke asikkan ngobrol. Kakak pasti belum makan kan? Ayo makan dulu Kak." Ujar Neneng.
Rasanya nanggung, karena jam baru menujukkan pukul 11. Tadi di pelabuhan, aku juga memakan beberapa kue dan masih terasa kenyang.
"Kakak masih kenyang Neng. Nanti saja sama kita makan sama-sama semua ya."
"Kalau begitu, Kakak tidur-tiduran aja dulu di kamar Neneng ya. Pasti capek kan habis perjalanan jauh."
"Kalau itu, Kakak emang pengen rebahan sebentar. Hehehe..."
"Hehehe. Ya sudah, Neneng tinggal mau selesaikan jemur padinya dulu ya Kak."
"Iya.. Mau di bantu nggak?"
"Ih Kakak. Hehehe, kapan istirahatnya kalau gitu."
Kami terkekeh kecil. Kemudian Neneng kembali ke halaman rumah untuk menjemur padi. Dan aku merebahkan diri di tempat tidur Neneng.
***
Malam hari ketika kami berkumpul setelah makan malam bersama. Kami duduk melantai bersama. Ada Rino dan istrinya, Neneng, juga beberapa kerabat yang masih yang aku kurang bergitu kenal karena mereka masih ada ikatan saudara dengan orang tua almarhum Bang Cahyo.
"Sebelumnya, Kakak minta maaf datang tanpa memberi kabar lebih dulu. Kakak sempat mencoba menghubungi Rino, tapi nomornya sudah nggak aktif lagi ya?"
"Eh iya Kak maaf. Hape saya jatuh ke sungai. Jadi saya banyak kehilangan kontak keluarga dan teman-teman." Ungkap Rino.
"Oalah. Nanti kirim ke Kakak ya." Kataku pada Rino. "Jadi Saya kesini ada tujuannya kepada Rino dan keluarga. Rencananya, Lola akan menikah. Dia tengah hamil sekarang. Lebih tepatnya kapan, masih nunggu dari pihak laki-lakinya untuk datang melamar." Kataku pada semua.
Mereka hanya diam mendengarkan. Aku tahu ada gurat kekecewaan di wajah Rino dan Neneng sebagai keluarga yang paling dekat dengan Lola. Dan helaan napas berat pun terdengar dari Rino.
"Kalau sudah terjadi seperti ini, yang hanya bisa di lakukan ya hanya menikahkan mereka saja kan."
"Karena itu, saya kesini. Karena Lola butuh wali nikah."
"Saya akan kesana. Kasih tahu saja Kak, kapan mereka akan datang melamar."
"Iya. Kita tunggu kabar dari Lola. Karena hanya dia yang tahu kapan."
"Siapa calon suaminya Kak?" Tanya Neneng.
Kali ini, aku yang menghela napas berat.
"Beda kepercayaan dengan kita. Tapi kata Lola, dia bersedia pindah agama. Soal pekerjaannya ya, gitu lah. Anak muda masih gonta ganti, cari yang cocok."
"Lola itu keras kepala dari dulu. Kalau di nasehati 'iya', tapi hanya di mulut saja. Susah di atur. Padahal demi kebaikan dia sendiri." Jelas Rino.
Dia pun paham watak Lola. Jadi jika terjadi hal seperti ini, mereka mungkin juga sudah memperkirakannya.
Tidak ada yang terkejut mendengar berita Lola. Tapi pasti mereka kecewa dalam hatinya.
Setelah itu kami mengobrol tentang kehidupan Rino dan keluarganya. Juga membicarakan Bagas dan Bagus yang nantinya ingin kuliah di kota.
"Dari pada sewa, lebih baik ngambil perumahan saja disana. Rumah KPR walau pun lima belas sampai dua puluh tahun, nantinya bisa di teruskan ke Bagas kalau dia sudah berkerja. Toh buat dia juga nanti. Sekarang walau pun jauh, kalau ngontrak mau kuliah juga kebanyakan dapat murah di daerah yang sedikit jauh dari kampus. Saran Kakak sih ya begitu."
"Ibu setuju sama saran Kak Tini Pak. HItung-hitung kita sudah mempersiapkan rumah untuk mereka." Ujar Ayu, istri Rino.
"Ya sudah. Nanti saat acara Lola, Bapak coba tanya sama developernya. Kalau misal ada perumahan yang menurut Kakak bagus, kabari saya ya Kak."
"Nanti Kakak tanya Airin atau Herlan. Mereka biasanya banyak informasi tentang itu dari teman-teman mereka."
Bersambung...
Jangan lupa dukung Author dengan like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
mayan buat iklan biar gk sepaneng kebawa pikiran yg lg ruwet🤭🤣