NovelToon NovelToon
Ayo, Menikah!

Ayo, Menikah!

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Romantis / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Office Romance / Cintapertama
Popularitas:957
Nilai: 5
Nama Author: QueenBwi

Arkan itu cowok baik—terlalu baik malah. Polos, sopan, dan sering jadi sasaran empuk godaan Elira, si gadis centil dengan energi tak terbatas.

Bagi Elira, membuat Arkan salah tingkah adalah hiburan utama.
Bagi Arkan, Elira adalah sumber stres… sekaligus alasan dia tersenyum tiap hari.

Antara rayuan iseng dan kehebohan yang mereka ciptakan sendiri, siapa sangka hubungan “teman konyol” ini bisa berubah jadi sesuatu yang jauh lebih manis (dan bikin deg-degan)?

Cinta kadang datang bukan karena cocok—tapi karena satu pihak nggak bisa berhenti gangguin yang lain.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QueenBwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dua Puluh

Emi melirik ke arah Elira yang duduk termenung di sofa ruang tengah. Tangannya sibuk menata hidangan di meja makan. Tidak ada sekat antara dapur dan ruang tengah, jadi setiap gerak Elira bisa ia perhatikan dengan mudah.

Arkan sedang di luar—mengurus urusan kantor dan sekalian menjenguk ibu Salva bersama Ayana. Elira menolak ikut dengan alasan tidak enak badan, jadi Arkan meminta Emi datang untuk memantau keadaannya sekaligus menyiapkan makan malam.

Awalnya Emi sempat ragu. Tapi setelah dengar alasan Arkan, hatinya luluh juga. Ia jadi kasihan pada Elira.

“Lira, makanannya sudah siap. Ayo makan sebelum dingin,” panggil Emi lembut.

Tidak ada jawaban. Elira tetap diam, pandangannya kosong.

Emi melepas apron, menggantungkannya di kursi, lalu berjalan mendekat.

“Elira?”

Masih hening. Gadis itu tampak larut dalam pikirannya sendiri.

Emi akhirnya menepuk pundaknya pelan.

“Elira?”

Tubuh Elira tersentak kecil. Ia mendongak cepat, mata terbelalak.

“A-ah, Kak Emi... maaf. Ada apa?”

Emi tersenyum hangat. “Makan malam sudah siap. Ayo, makan dulu.” Ia menggenggam tangan Elira dan tanpa sadar tangan satunya mengusap perutnya sendiri.

Elira memperhatikan gerakan itu, lalu menatap meja makan yang penuh lauk.

“Maaf, aku tidak bantu apa-apa, Kak. Padahal Kakak lagi hamil.”

“Tidak apa-apa. Aku dengar kau tidak cocok di dapur. Lebih baik aku yang masak daripada dapurnya hancur, kan?” goda Emi sambil terkekeh.

Elira tersipu.

“Ayo, makan. Aku harap masakanku cocok di lidahmu.”

“Aku bukan pemilih kok,” jawab Elira sambil mencoba satu suapan ikan. Matanya langsung berbinar.

“Hmm... enak.”

Emi tertawa kecil, pipinya merona. Ia tak menyangka akan dapat pujian seperti itu.

“Ngomong-ngomong, Kak, udah berapa bulan?” tanya Elira.

“Baru mau masuk empat bulan,” jawab Emi tenang.

“Anak pertama?”

“Iya.”

Elira menatap wajah Emi yang tampak bahagia.

“Sebahagia itu, Kak?”

Emi terkekeh. “Kau tahu, Arfan sampai nangis waktu tahu aku hamil.”

Senyum kecil muncul di wajah Elira. Hangat. Tapi hanya sebentar.

“Aku iri, Kak,” ucapnya pelan.

Emi menatapnya bingung, tapi belum sempat bertanya, Elira mendongak dengan senyum tipis dan mata berkaca.

“Aku... tidak akan bisa kasih Arkan anak. Rahimku rusak,” bisiknya hampir tak terdengar.

Emi terdiam. Tak tahu harus bilang apa.

***

“Elira sudah tidur, Kak?” suara Arkan terdengar lewat telepon, di sela angin malam.

“Baru saja,” jawab Emi. “Kau masih lama?”

“Aku mau mampir ke rumah sakit sebentar, habis itu langsung pulang. Kakak istirahat saja, ya. Aku telepon kak Arfan biar jemput. Terima kasih sudah repot-repot.”

“Tidak apa-apa,” sahut Emi pelan. Ada jeda sebentar. “Arkan...”

“Ya?”

Beberapa detik hening. Arkan sempat melirik ponselnya, khawatir sinyalnya hilang.

“Kak? Ada apa?”

“Tidak... cuma, aku berharap kalian berdua bahagia. Aku doakan kalian.”

Arkan terkekeh kecil. “Kak, sepertinya kehamilan bikin Kakak jadi lebih lembut, ya?”

“Kau mau bilang aku biasanya galak?” Nada Emi langsung berubah.

Arkan menelan ludah. “Bukan begitu maksudku—”

“Terserah. Aku mau tidur. Jangan lupa telepon Arfan.”

Telepon langsung terputus.

Arkan geleng-geleng kepala sambil tersenyum. “Ibu hamil ternyata bisa segalak itu,” gumamnya. Ia jadi membayangkan, apakah nanti Elira juga akan seperti itu. Pikirannya membuatnya tersenyum samar.

***

“Bagaimana keadaan Elira?” tanya Ayana sambil berjalan di koridor rumah sakit bersama Arkan.

“Baik. Kak Emi bilang dia udah tidur,” jawab Arkan.

Ayana mengangguk. Baru saja ingin bicara lagi, matanya menangkap seseorang di ujung lorong.

“Itu... Salva, kan?”

Arkan menoleh. “Iya. Salva!” panggilnya pelan.

Salva menoleh, wajahnya langsung cerah. “Kukira kalian tidak jadi datang! Ayo, Ibu udah nunggu!”

“Ibumu tahu kami mau datang?” tanya Ayana.

“Tahu dong. Aku sudah bilang.”

Mereka berjalan bersama menuju kamar rawat. Salva membuka pintu perlahan.

“Ibu, ini mereka—rekan kantorku, Kak Ayana sama Kak Ark—”

“Arkan?” Suara sang ibu memotongnya.

Salva tertegun. “Ibu kenal Kak Arkan?”

Brakk! Keranjang buah yang dibawa Arkan terjatuh. Buah-buahnya berhamburan ke lantai.

“Ibu?” suara Arkan bergetar. Senyum pahit muncul di wajahnya, matanya memerah.

“Wanita jahat,” desisnya lirih sebelum berbalik pergi.

“Arkan! Tunggu!” Ayana buru-buru mengejarnya.

Salva terpaku. Ia menatap ibunya yang kini menangis tersedu.

“Ibu... apa yang terjadi? Kenapa Ibu kenal Kak Arkan?”

Tidak ada jawaban. Hanya tangis panjang yang terdengar.

***

“Arkan! Tunggu!” Ayana berlari di belakangnya. Langkah Arkan cepat, tapi tak sampai berlari. Ayana menenteng sepatu haknya, terengah.

“Arkan—”

“AAARRGGHHH!!” teriak Arkan tiba-tiba. Suaranya memecah udara malam.

“Bagaimana bisa dia melakukan ini padaku?! Aku menunggunya tujuh belas tahun! Tujuh belas tahun! Dan dia cuma—” suaranya pecah, tubuhnya jatuh berlutut di tepi jalan.

Air matanya tumpah tanpa bisa ditahan.

Bagaimana mungkin ibunya bisa hidup tenang di tempat lain, sementara ia tumbuh dengan luka yang tak pernah sembuh?

Ayana perlahan mendekat, lalu berlutut di hadapannya. Ia menarik kepala Arkan ke pelukannya, membiarkannya menangis sepuasnya.

“Sudah... lepaskan saja. Kau tidak harus tahan semuanya sendiri,” bisiknya.

***

Pukul dua dini hari. Apartement Arkan.

Suara kunci pintu membuat Elira terbangun. Ia meraba sisi ranjang—dingin. Arkan baru pulang.

Ia keluar dari kamar, melihat Arkan berdiri di ruang tamu. Rambut berantakan, mata sembab.

“Arkan?” panggilnya cemas.

Arkan menatapnya, lalu tersenyum samar dan langsung memeluknya.

“Maaf, aku ganggu tidurmu?”

“Tidak. Tapi kenapa kau kelihatan... berbeda? Ada apa?”

Arkan tidak menjawab. Ia hanya memeluk lebih erat. Elira baru sadar, dada pria itu bergetar—ia menangis.

“Arkan, apa yang terjadi?” tanyanya panik.

“Aku lelah, Lira... Lelah sekali.” Suaranya serak.

Elira tak menjawab. Ia hanya mengusap punggungnya pelan.

Beberapa menit kemudian, Elira datang membawa dua gelas cokelat panas. Arkan meneguk sedikit, lalu menatapnya.

“Kau bagaimana?” tanyanya sambil mengusap pipinya.

“Aku baik,” jawab Elira. Ia menaruh gelas Arkan, lalu menyandarkan kepala di dadanya.

“Arkan... aku mau cerita sesuatu.”

Arkan mengangguk pelan.

“Wanita itu... bilang aku pengacau. Tidak berguna. Pengganggu.” Suaranya lirih. “Kau tahu? Kata-katanya persis seperti yang Ibu sering bilang dulu.”

Arkan menegakkan tubuh. “Ibumu?”

Elira mengangguk, suaranya mulai bergetar. “Ibu sering bilang aku bikin malu keluarga. Dia sering menyakitiku. Setiap kali Ayah dan Kakek pergi, dia akan usir semua pelayan, biar cuma kami berdua di rumah. Dan setiap kali itu juga, semuanya terjadi lagi.”

Air matanya jatuh. “Puncaknya waktu aku tujuh tahun.” Ia mengangkat poni, memperlihatkan bekas luka di dahinya. “Dia pecahkan vas bunga, goreskan ke kepalaku, lalu... terus memukul, menendang, sampai aku pingsan. Waktu aku sadar, dia udah...” suara Elira pecah, “udah bunuh diri di depan mataku.”

Arkan membeku. Tak sanggup bicara.

“Ibu benci aku karena merasa aku rebut perhatian Ayah. Konyol, kan?” Elira tersenyum getir di sela tangis.

Arkan menghapus air matanya. “Sudah, Lira. Jangan lanjut kalau terlalu berat.”

Elira menggeleng. “Karena kejadian itu... aku rusak, Arkan. Rahimku tidak bisa berfungsi lagi. Aku hancur...” Tangisnya pecah lagi.

Arkan memeluknya erat. “Tenang, aku di sini. Aku tidak akan kemana-mana.”

Elira menatapnya dengan mata merah. “Aku cuma takut... kau bakal menyesal.”

Arkan menggeleng. “Tidak akan. Aku sudah janji. Aku cinta padamu, Lira. Apapun yang terjadi.”

Elira menunduk, air mata masih mengalir. Tapi kali ini ia memeluknya balik, seolah tak ingin lepas.

Dalam hati, Arkan tahu—luka mereka sama dalamnya. Dua anak kecil yang sama-sama pernah dikhianati orang yang seharusnya mencintai mereka tanpa syarat.

Dan malam itu, keduanya hanya bisa saling menggenggam, mencoba menahan dunia yang pernah menghancurkan mereka.

1
QueenBwi
💜
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!