Bram, playboy kelas kakap dari Bekasi, hidupnya hanya tentang pesta dan menaklukkan wanita. Sampai suatu malam, mimpi aneh mengubah segalanya. Ia terbangun dalam tubuh seorang wanita! Sialnya, ia harus belajar semua hal tentang menjadi wanita, sambil mencari cara untuk kembali ke wujud semula. Kekacauan, kebingungan, dan pelajaran berharga menanti Bram dalam petualangan paling gilanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zaenal 1992, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sinta Melamar, Rian Terpesona: Takdir Si Playboy di Kursi Wawancara
Setelah insiden penyelamatan Fahri dan pertemuan singkat dengan Rian, Sinta (Bram) kembali ke rumah Maya dengan perasaan campur aduk. Bukan hanya karena pengalaman menjadi pahlawan yang menguras energi, tetapi juga karena tatapan Rian yang mengaktifkan kembali "sensor playboy" lamanya.
Keesokan harinya, Sinta sedang membantu Maya menyiram tanaman di teras ketika ponsel Bram yang kini digunakannya berdering. Bukan panggilan, melainkan notifikasi chat WhatsApp.
Sinta mengambil ponselnya, wajahnya langsung tegang saat melihat nama kontak yang tertera: "Pak Bos - PT IT Jaya."
Pak Bos (WA, 09.15):
"Bram, ini sudah hari ke-8 kamu tidak masuk kerja tanpa kabar. Pihak HRD sudah mencoba menghubungi kamu dan keluargamu, namun tidak ada jawaban memuaskan. Kami terpaksa mengambil keputusan tegas. Mulai hari ini, kamu kami berhentikan secara tidak hormat. Surat resmi akan kami kirimkan ke alamat rumahmu. Segala hak dan kewajiban akan diurus sesuai prosedur. Selamat mencari pekerjaan baru."
Sinta (Bram) terdiam, menggenggam ponselnya erat. Selama ini, ia terlalu sibuk mengurus kutukan dan identitas barunya hingga lupa bahwa ia memiliki pekerjaan dan tanggungan.
"Ada apa, Bram? Kok mukanya pucat gitu?" tanya Maya, menyadari perubahan ekspresi di wajah Sinta.
Sinta menunjukkan pesan itu. Maya membacanya, lalu menghela napas panjang.
"Ya ampun, Bram. Kamu dipecat," kata Maya. "Itu artinya... kamu sekarang benar-benar tanpa penghasilan."
"Mampus gue, May," bisik Sinta, suaranya terdengar panik. "gue dipecat... eh, sumber penghasilan gue! Terus gue mau hidup dari mana? Gue nggak bisa terus-terusan numpang di sini."
Maya menepuk pundak Sinta. "Tenang, Bram. Rezeki nggak ke mana. Tapi ini memang jadi alarm buat kita. Kamu harus cari kerja. Dan kamu nggak bisa melamar sebagai Bram."
Sinta menatap Maya, menyadari implikasinya. "Lo bener. Gue harus melamar sebagai... Sinta."
Malam harinya, Sinta dan Maya berdiskusi serius mengenai pencarian kerja. Setelah menyaring beberapa lowongan di situs karier, Sinta menemukan posisi yang cocok.
"Oke, perusahaan ini kayaknya bagus, Bram. Tapi ingat," kata Maya, menunjuk Sinta dari atas ke bawah. "Kamu harus tampil total sebagai wanita karier untuk wawancara besok. Nggak ada lagi kaus gombrong dan celana training kayak cowok."
Sinta bergidik. "Dandan lagi, May? Rok lagi? Gue masih kaku banget jalannya."
"Nggak ada pilihan, Bram. Tubuhmu sekarang wanita. Kalau kamu tampil setengah-setengah, mereka nggak akan serius. Kamu harus buktikan Sinta itu profesional dan berkelas!" tegas Maya.
Keesokan paginya, Maya menjalankan misi transformasi. Ia memilihkan rok pensil hitam yang elegan dan blazer putih yang rapi. Rambut panjang bergelombang Sinta disanggul kecil agar terlihat profesional, dan make-up tipis diaplikasikan untuk menonjolkan mata birunya yang memikat.
Saat Sinta berdiri di depan cermin, ia harus mengakui bahwa Maya melakukan pekerjaan luar biasa. Sosok wanita cantik, cerdas, dan profesional terpancar dari dirinya. Namun, di balik penampilan itu, jantungnya berdebar kencang, diselimuti rasa canggung yang luar biasa.
"Gimana? Keren, kan?" tanya Maya bangga.
Sinta mengangguk, menelan ludah. "Keren sih, May. Tapi ini bener-bener kayak... bukan gue. Doain gue ya."
"Pasti! Ingat, kamu Sinta. Seorang wanita yang berani dan cerdas. Tunjukkan kemampuan Bram, tapi dengan pesona Sinta!"
Sinta tiba di kantor perusahaan start-up itu, yang memiliki desain interior modern dan minimalis. Setelah menunggu sebentar, ia dipanggil masuk ke ruang wawancara.
Sinta (Bram) melangkah masuk dengan anggun, berusaha keras menjaga langkahnya agar tidak terlihat kaku oleh rok span. Ia duduk di kursi, lalu mengangkat pandangannya untuk menyapa pewawancara.
Di seberang meja, duduklah seorang pria tampan dengan senyum ramah yang sangat ia kenali. Pria itu adalah Rian.
Rian, yang bertugas langsung mewawancarai pelamar kerja yang dianggap paling menjanjikan, sedang sibuk membaca berkas lamaran saat Sinta masuk.
"Selamat pagi, silakan duduk," sapa Rian tanpa mendongak. Ia masih fokus pada berkas di tangannya. "Saya Rian. Oke, Mbak, berdasarkan CV di sini, Anda... memiliki pengalaman kuat di bidang IT. Ini sangat menarik. Nama Anda... Sinta. Betul?"
"Betul, Pak Rian. Selamat pagi," jawab Sinta gugup. Ia berusaha agar intonasi suaranya tidak terlalu melengking.
Mendengar suara itu, Rian tiba-tiba mengangkat kepalanya. Matanya yang fokus pada berkas langsung terangkat dan bertemu dengan mata Sinta. Ekspresi Rian langsung berubah drastis—dari profesional menjadi syok luar biasa.
"Sinta?!" seru Rian, hampir menjatuhkan pena di tangannya. Ia menatap lekat-lekat wajah Sinta, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Ya Tuhan... ini benar-benar kamu?"
Sinta merasa darahnya berdesir kencang. Ia tahu, penyamarannya sudah pasti terancam, meskipun Rian hanya mengenalnya sebagai 'Sinta'.
"Maaf, Pak Rian, ada apa?" tanya Sinta, pura-pura bingung.
Rian berdiri dari kursinya, tubuhnya sedikit gemetar karena terkejut sekaligus bahagia. "Saya... Saya tidak menyangka! Saya bahkan tidak tahu kalau kamu melamar di sini! Saya sudah mencari kamu! Sejak kemarin, saya benar-benar mencari kamu!"
Ia menunjuk Sinta dengan telunjuk yang gemetar. "Kamu! Kamu wanita yang menyelamatkan keponakan saya, Fahri, di jalanan kemarin sore! Saya tidak salah, kan?"
Sinta menghela napas pasrah. Tidak ada gunanya menyangkal. "Iya, Pak Rian. Itu saya."
Rian kembali duduk, tapi wajahnya masih memancarkan kebahagiaan yang meluap-luap. Ia mengabaikan tumpukan berkas lamaran Sinta yang ada di mejanya.
"Ini... ini bukan kebetulan, Sinta. Ini takdir," bisik Rian, sedikit melupakan formalitas.
"Sejak kemarin, saya tidak bisa berhenti memikirkan kamu. Keberanianmu, ketulusanmu... Kamu adalah wanita yang istimewa, Sinta."
Ia mengambil salah satu kartu nama dari meja dan menyodorkannya ke Sinta.
"Saya sudah membuat keputusan," lanjut Rian, dengan nada yang penuh kepastian. "Kamu diterima. Silakan mulai bekerja Senin depan. Saya tidak peduli dengan CV, saya hanya percaya pada insting. Dan insting saya mengatakan, kamu adalah takdir yang saya cari."
Sinta (Bram) terpaku, Kartu nama Rian terasa dingin di tangannya. Ia datang ke sini untuk diwawancarai, menjual kemampuannya, dan menjelaskan pengalaman kerjanya yang mengesankan (sebagai Bram), tetapi Rian bahkan tidak menanyakan satu pun pertanyaan teknis. Ia dipecat dari pekerjaan lama, dan diterima di pekerjaan baru hanya karena ia menyelamatkan seorang anak... dalam wujud seorang wanita cantik, dan kini bertemu lagi dengan pemilik perusahaan secara tak terduga.
"Saya... saya diterima?" tanya Sinta, memastikan.
Rian mengangguk, senyumnya menawan. "Ya, Sinta. Kamu diterima. Sekarang, tugasmu bukan hanya bekerja di perusahaan, tapi juga menemani saya... untuk makan malam perdana kita malam ini."
Sinta mematung. Karma si playboy Bram memang sungguh berbelit. Dipecat Setelah menjadi wanita, dan langsung mendapat pekerjaan dan gebetan baru, juga karena menjadi wanita. Petualangan Sinta di dunia korporat, yang kini dihiasi oleh kejaran seorang bos yang terpesona, baru saja dimulai.