Seharusnya, dengan seorang Kakak Kaisar sebagai pendukung dan empat suami yang melayani, Chunhua menjadi pemenang dalam hidup. Namun, kenyataannya berbanding terbalik.
Tubuh barunya ini telah dirusak oleh racun sejak bertahun-tahun lalu dan telah ditakdirkan mati di bawah pedang salah satu suaminya, An Changyi.
Mati lagi?
Tidak, terima kasih!
Dia sudah pernah mati dua kali dan tidak ingin mati lagi!
Tapi, oh!
Kenapa An Changyi ini memiliki penampilan yang sama dengan orang yang membunuhnya di kehidupan lalu?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon miaomiao26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Hal Kecil
Kereta berhias peoni emas melaju perlahan di jalan ramai.
Matahari sudah setinggi tombak, sinarnya menyorot atap-atap kediaman bangsawan.
Dari balik jendela, Chunhua duduk anggun, wajahnya sama sekali tak menyingkap bahwa ia baru saja bermalam di Nan Hua Ting.
Sementara itu, senyum tipis menghiasi bibirnya, seolah dunia luar tak pernah mampu menodai keanggunannya.
Tiga puluh menit kemudian, kereta berhenti di depan gerbang megah Istana Putri.
Pelayan segera bergegas menurunkan tangga kecil, bersiap menyambut majikannya turun.
Dan begitu Chunhua melangkah keluar, matanya langsung tertuju pada tiga sosok pria yang sudah menunggunya di depan gerbang.
Jing Zimo berdiri paling depan, mengenakan jubah tipis berwarna merah delima, matanya berbinar nakal, senyum licik melengkung di bibirnya. Di sisi kanan berdiri pria berwajah lembut dengan sorot mata tenang, sementara di sisi kiri seorang pria yang wajah tampannya tak kalah memikat, tetapi rautnya dingin.
Untuk apa para selir Murong Chunhua menunggunya di gerbang?
Chunhua mengangkat alis halusnya—firasatnya langsung berteriak bahwa Jing Zimo pasti akan membuat masalah.
Benar saja.
Begitu kakinya menapak tanah, Jing Zimo segera melesat ke arahnya. Tanpa rasa malu, ia langsung bergelayut manja, memeluk Chunhua erat-erat di depan semua orang.
Tanpa ragu, Jing Zimo langsung meraih lengan Chunhua, bergelayut manja. “Yang Mulia, apakah kami bertiga tidak cukup? Atau Pria di Nan Hua Ting lebih memikat?”
Yu Hua menambahkan dengan nada lembut. “Apakah di rumah kita ini masih perlu ‘Hua’ lain?”
Lin Mo, dengan suara dingin, menimpali, “kalau memang menyukai Hua Zhen, bawa saja pulang. Setidaknya lebih baik daripada terus mencari rubah di luar.”
Jing Zimo semakin menjadi, semakin erat bergelayut di lengan Chunhua. “Yang Mulia,” bisiknya dengan suara manis yang dibuat-buat. “Apa bagusnya pria tua itu? Bukankah Mo’er jauh lebih baik?”
Sembilan dari sepuluh kemungkinan, Jing Zimo sengaja meninggikan suaranya.
Chunhua terdiam sejenak, lalu menoleh perlahan.
Pandangannya melintas ke kanan-kiri, menyapu sekitar.
Ia bisa merasakan beberapa tatapan mengintip dari balik dinding tinggi rumah bangsawan tetangga.
Memang tak ada kerumunan di jalan—siapa berani?—tetapi rasa ingin tahu tak bisa dikekang.
Mereka semua pasti sudah menunggu bahan gosip.
Senyum Chunhua melebar.
Ia menurunkan tangan, mengamit dagu Jing Zimo.
Wajahnya mendekat begitu dekat hingga seakan hendak menciumnya. “Apakah keributanmu belum cukup?” bisiknya.
Wajah Jing Zimo berseri, senyumnya semakin nakal. “Mohon Yang Mulia memaafkan, tapi akhir-akhir ini beredar kabar bahwa Nan Hua Ting adalah alat politik yang kamu kembangkan,” balasnya, sama-sama sengan bisikan lirih.
Chunhua memiringkan kepalanya. "Benarkah? Kenapa Putri ini merasa, kamu hanya ingin membuat masalah?"
Dari kejauhan, tanpa arah pandang yang jelas, orang-orang yang mengintip hanya akan melihat Putri Agung Fangsu mencium selir prianya di depan gerbang. Sebuah pemandangan yang tentu akan memantik api gosip.
Chunhua menarik diri perlahan, senyumnya dingin namun memesona. “Bukan aku yang tak ingin membawa Hua Zhen pulang,” katanya tenang, “hanya saja… dia yang menolak.”
Dengan langkah anggun, Chunhua melangkah masuk melewati gerbang istana putri, meninggalkan Jing Zimo, Yu Hua dan Lin Mo yang masih terdiam dengan raut berbeda—Jing Zimo puas, Yu Hua gelisah, dan Lin Mo merenung.
Sementara itu, dalam waktu kurang dari satu jam, di istana kekaisaran yang jaraknya tak seberapa jauh dari kediaman Chunhua, kabar tentang insiden di depan gerbang sudah sampai ke telinga kaisar.
Murong Xuan baru saja selesai menghadiri sidang pagi dan tengah berjalan menuju ruang belajar ketika seorang kasim membisikkan laporan.
“Yang Mulia,” suara kasim bergetar, “Putri Agung Fangsu… baru saja terlihat bermesraan dengan selir prianya di depan gerbang Istana Putri. Itu terjadi sesaat setelah beliau kembali dari Nan Hua Ting.”
Kaisar terhenti, menghela napas berat.
Wajahnya yang tampan dan penuh wibawa kini tertutup kelelahan. “Dekrit pernikahan baru saja dikirim kemarin…” gumamnya lirih. “Malamnya dia sudah pergi dan bermalam di rumah bordil… dan kini bermesraan di depan umum.”
Ia menutup mata sebentar, menahan amarah bercampur lelah. “Bukankah ini sama saja dengan merendahkan An Changyi? Apakah dia ingin menyinggung Rumah Jenderal?”
Dengan suara tegas, ia memerintahkan, “Panggil Putri Agung Fangsu. Suruh dia datang ke istana sekarang juga.”
Sementara itu, di rumah Jenderal An, kabar yang sama baru sampai sedikit lebih lambat.
Begitu mendengar, wajah Jenderal An memerah karena marah, nadinya hampir meledak.
Ia berdiri di tengah aula, memegang surat laporan yang baru tiba, tangannya gemetar.
“Putri Chunhua sendiri yang meminta pernikahan dengan Changyi…” serunya dengan suara bergetar, “tapi dengan perilaku seperti ini, bukankah dia sama saja sedang menginjak harga diri keluarga An di lumpur!”
Para bawahan di sekitarnya menunduk dalam-dalam, tak berani menambahkan satu kata pun. Jenderal An menggeram, hampir saja muntah darah karena amarah yang meluap.
Di sisi lain, di dalam istana putri yang mewah, Chunhua yang tidak tahu bahwa dia telah mengaduk seisi Ibu Kota sedang duduk santai di ruang pribadinya.
Dia baru saja mengganti jubah dengan pakaian yang lebih nyaman dan kini tengah menikmati teh hangat. Tiba-tiba ia bersin keras. “Hacih!”
Su Yin yang setia mendampingi segera menunduk khawatir. “Yang Mulia, apakah Anda masuk angin? Mungkin terkena hawa dingin semalam.”
Chunhua mengusap hidungnya, tertawa kecil. “Mungkin begitu. Angin malam Nan Hua Ting memang agak menusuk.”
"Saya akan memanggil tabib," putus Su Yin.
Chunhua mengangguk dan mengambil gulungan kertas kecil dari meja. "Panggil juga Jing Zimo."
Dia sama sekali tak menyadari bahwa di luar sana, gosip tentang dirinya sudah berlari lebih cepat dari angin.
Dari mulut pelayan rumah bangsawan sekitar, kabar itu menjalar, melompat dari satu telinga ke telinga lain.
Dari “Putri Agung baru pulang dari rumah bordil” berubah menjadi “Putri Agung mencium selirnya di depan umum.”
Dan dalam hitungan jam, seluruh ibu kota sudah tahu, termasuk An Changyi yang baru saja kembali.