Pernikahan seharusnya membuka lembaran yang manis. Tapi tidak bagi Nayara, dia menyimpan rahasia kelam yang akhirnya merenggut kebahagiaannya.
Suaminya membencinya, rumah tangganya hampa, dan hatinya terus terjerat rasa bersalah.
Hingga suatu hari sumber masalahnya sendiri datang dan berdiri dihadapannya, laki-laki yang kini memperkenalkannya sebagai sopir pribadi.
“Sudah aku katakan bukan. Kamu milikku! Aku tidak akan segan mengejarmu jika kau berani meninggalkanku.”
Apakah Nayara akan mempertahankan rumah tangganya yang hampa atau kembali pada seseorang dimasa lalu meski luka yang ia torehkan masih menganga dihatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila_Anta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Melisha dan ayahnya lebih dulu tiba. Ini menandakan siapa yang lebih antusias dengan pertemuan ini. Disusul oleh ayahnya Dev yang kini duduk di kursi yang berhadapan dengan mereka.
Wanita itu selalu tampil cantik dan elegan seperti biasanya. Apalagi saat ini, momen yang spesial menurutnya. Bagaimana tidak? Hari ini adalah momen dimana kedua keluarga akan membahas soal pernikahannya dengan Dev yang begitu ia nantikan.
Mata Melisha berbinar saat melihat kedatangan Dev diarah pintu kedatangan pengunjung. Restoran berbintang akan menjadi saksi pertemukan penting mereka hari ini.
"Kamu sudah datang, sayang?" sapanya lembut.
"Heum," jawab Dev saat mendaratkan bokongnya.
Laki-laki itu selalu terlihat tampan dalam situasi apapun. Tidak heran gadis manapun tidak mungkin menolak akan pesonanya. Baik sekarang, ataupun saat di desa dulu.
"Apa nak Dev ingin memesan menu yang spesial atau biar kami yang pesankan?" tanya ayah Melisha menimpali.
"Terserah Anda. Lagian saya tidak akan lama," jawabnya dingin.
"Dev-" pak Wisnu terlihat menajamkan matanya. Ia rasa perkataan putranya sangat tidak sopan. Apalagi dihadapan calon mertuanya.
"Tidak papa Tuan. Kami mengerti, nak Dev pasti banyak sekali pekerjaan yang harus ia selesaikan," ucap ayah Melisha menengahi.
"Sayang, kapan kita membeli cincin pernikahan? Oh ya, aku juga ingin memesan gaun pernikahan yang spesial. Seharusnya dari sekarang kita sudah memesan nya 'kan om?" Melisha melihat situasi menegangkan dari kekasih dan calon mertuanya tersebut.
"Kamu benar, Nak. Setelah menetapkan tanggal pernikahan, kalian bisa memilih cincin dan gaun pengantin."
"Benarkah? Kamu harus menemaniku sayang?" Wanita itu tampak begitu antusias.
Dev menarik sudut bibirnya. Seolah pembicaraan itu merupakan sebuah lelucon belaka.
Semua orang terkesiap melihat reaksi Dev. "Saya pikir kalian salah paham disini," ucapnya lirih namun penuh penegasan.
Ketiganya mengerutkan kening mendengar penuturan Dev. "Saya menginginkan pertemuan ini bukan untuk membahas pernikahan."
"Apa maksud kamu, Dev?" Pak Wisnu sudah mencium gelagat yang tidak mengenakan.
Pemuda itu melepas cincin yang melingkar di jari manisnya dan menaruhnya di atas meja. "Kedatangan saya kesini untuk membatalkan pertunangan. Maaf, saya tidak lagi bersedia untuk melanjutkan hubungan ini."
Bagai disambar petir di siang bolong. Semua orang membulatkan mata dengan wajah yang memerah. "Nak, ini bukan main-main. Kamu tidak bisa melakukan hal ini pada kami?" Ayah Melisha berucap tajam.
"Kenapa? Kalian sendiri tau bahwa aku tidak pernah menginginkan hubungan ini sejak awal. Semua ini keinginan kalian, bukan?" Dev masih terlihat tenang.
"Sayang, kamu tidak bisa mengakhiri hubungan kita begitu saja. Kau tau kan aku begitu mencintaimu dan aku tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi. Kita harus secepatnya menikah." Melisha berusaha merengek meski dengan cara memaksa.
Pemuda itu menatap tajam. "Itulah sifatmu, Mel. Aku tidak akan pernah sanggup hidup dengan wanita yang selalu memaksakan kehendaknya sendiri. Selama ini aku benar-benar muak diatur oleh ayahku sendiri. Dan kamu, malah ikut-ikutan mengaturku. Bagaimana mungkin aku bisa melanjutkan hubungan ini," tuturnya.
Melisha merengek meminta pembelaan pada ayahnya. Sedangkan pak Wisnu entah semerah apa wajahnya sejak tadi.
Rahangnya mengeras dengan urat leher yang menegang. "Jangan kurang ujar, Dev!" ucapnya tajam.
"Ini keputusanku, Ayah. Dan maaf, saya tidak bisa berlama-lama berada disini. Seperti yang anda katakan tuan. Masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan. Kalau begitu saya permisi." Dev bangun dari kursinya, menunduk hormat sebelum akhirnya dia benar-benar pergi dari sana.
Saking geramnya pak Wisnu tidak bisa berkata-kata. Bibirnya kelu karena amarah yang bersarang di dadanya.
"Bagaimana ini, Tuan?" Ayah Melisha meminta tanggapan sekaligus kepastian dari calon besannya yang mungkin sebentar lagi akan menjadi mantan.
"Saya akan mencoba membicarakan hal ini dengan putraku lebih dulu. Saya yakin, Dev akan menuruti semua keinginanku seperti biasanya. Kalau begitu saya juga pamit." Pak Wisnu pun pergi meninggal rekan bisnisnya yang sibuk menenangkan putrinya yang sudah menangis sejak tadi.
Di kediaman Mahendra.
Dev lebih dulu sampai di rumah sebelum akhirnya disusul oleh ayahnya yang berjalan tergesa karena amarah yang sudah tak terbendung.
"Anak kurang ajar!" sentak pak Wisnu menghampiri Dev yang akhirnya melayang bogem mentah di pipi.
Pemuda itu sempat terhuyung ke belakang mendapat serangan tiba-tiba dari ayahnya. Sontak saja perbuatan pak Wisnu membuat istri dan putrinya terkejut yang melihat kejadian tersebut.
"Ayah, ada apa ini?" cemas Nyonya Mira menghampiri suami dan anak sambung nya.
Miska mencoba membantu kakaknya. "Kak, ada apa ini? Kenapa ayah melakukan ini padamu?" Mengusap pipi yang memerah bahkan darah keluar dari sudut bibirnya.
"Dasar anak tidak tau diuntung! Kurang ajar sekali kau berani bersikap seperti itu, hah!" sergah pak Wisnu dengan suara menggelegar.
Dev terlihat santai. Ia mengusap bibirnya yang sobek dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Tahan, yah." Nyonya Mira mencoba menahan suaminya yang hendak menghajar Dev lagi.
"Anak kurang ajar seperti itu harus diberi pelajaran. Apa kamu tau, dia-" menunjuk wajah Dev dengan jari telunjuknya. "sudah berani melemparkan kotoran ke mukaku. Dengan entengnya dia berani mengakhiri hubungannya dengan putri Tuan Handoko."
Nyonya Mira dan putrinya hanya menarik nafas kasar. "Mama kira ada apa," ujarnya santai.
"Mah!" Pak Wisnu tiba habis pikir dengan reaksi istrinya tersebut. Bahkan wanita itu tidak terlihat panik sama sekali.
"Aku rasa, Dev sangat wajar mengakhiri hubungannya dengan gadis itu. Aku saja tidak suka dengan sikapnya apalagi Dev yang akan hidup bersamanya."
"Aku juga tidak suka." Miska ikut menimpali membuat amarah pak Wisnu semakin berkobar bak tersiram bensin.
"Apa-apaan kalian, hah! Kenapa kalian seolah membela anak kurang ajar ini," sentak pak Wisnu tidak terima.
Kedua wanita beda generasi itu hanya mengedikkan bahunya acuh. "Itu karena istri dan putri anda masih waras. Mereka tau mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus dibuang," timpal Dev merasa di atas angin.
"Kurang ajar!" geram pak Wisnu.
Matanya membulat saat melihat Dev pergi dari hadapannya. Pemuda itu menaiki tangga dan masuk ke kamarnya.
"Tunggu! Ayah belum selesai bicara, Dev!"
"Ayah mau kemana? Sebaiknya redamkan dulu amarah ayah. Aku tidak mau kalian membuat kekacauan di rumah ini," cegah Nyonya Mira.
"Aku tidak bisa membiarkan anak itu berulah. Dia harus menuruti semua keinginanku." Laki-laki paruh baya itu tetap melangkahkan kakinya menyusul Dev.
"Anak sama bapak sama saja. Sama-sama keras kepala," cicit Nyonya Mira.
"Untung aku enggak ya, mah." Miska bergelayut manja di lengan ibunya.
"Palamu!" jawabnya remeh.
Nyonya Mira meninggalkan putrinya yang mengerucutkan bibir. Gadis itu tidak terima dengan respon ibunya, ya walaupun itu memang fakta. Anak-anak dari pak Wisnu memang mempunyai sifat keras kepala dan beliau sudah terbiasa dengan hal itu.
"Mama!"