Judul : The Fugazi Code : A psychopath's obsession Elric Dashiel adalah seorang psikopat yang mempunyai penyakit Dissociative Identity Disorder atau yang biasa disebut kepribadian ganda. Penyakit langka yang dialaminya itu terjadi karna trauma masa kecilnya yang penuh kegelapan, kesakitan dan darah. Karena masa kecil nya yang kelam tentu saja ia tak pernah diajarkan tentang salah atau benar menurut pandangan orang normal. Tidak pernah diajarkan tentang perasaan sedih atau senang. Sakit atau nyaman. Apa lagi tentang cinta, baik tentang cinta dari orang tua keanaknya, atau kelawan jenis. Ia terlalu mati rasa untuk mengerti tentang perasaan-perasaan aneh itu. Sampai ketika ia bertemu Hannah Zeeva. Seorang gadis yang ia culik dari salah seorang yang pernah berhutang pada gengnya. Gadis itu benar-benar membuat Elric yang sudah gila menjadi lebih gila. Ia mencintai gadis itu, lebih dari ia mecintai dirinya sendiri dengan segala keegoisannya. Ia tak peduli jika gadis itu tersiksa atau bahagia, suka atau tidak dengan kehadirannya. Yang ia tau, ia ingin selalu bersama gadis itu. Melindungi dan menjaganya dengan benteng pertahanan terkuatnya. Sayangnya Hannah tidak pernah menyukai setiap cara Elric yang selalu berkata akan menjaganya. Ia terlalu mengekang Hannah seolah-olah Hannah adalah peliharaannya. Bahkan Elric beberapa kali berusaha membunuh Jack. Satu-satu sahabat yang Hannah punya dan ia pecaya. Jackson yang selalu melindungi dan mencintai Hannah selayaknya orang normal, yang tentunya sangat berbeda dengan cara Elric mencintai Hannah. Bagaimana akhir kisah cinta segitiga yang rumit mereka? Bagaimana cara Hannah menghancurkan Aliansi besar Elric bermodal nekadnya? Baca selengkapnya cerita mereka yang penuh pertumpahan darah untuk lepas dari jeruji besi yang diciptakan oleh Elric Dashiel. ******** FYI guys, cerita ini sudah pernah ku publish di APK W. Dengan judul The Chiper | Shit Fugazi versi Fanfiction. Jadi bukan plagiat yaa.. Happy reading, End enjoyyy... Elric Dashiel as Park Chanyeol Hannah Zeeva as Lee Hana Jackson Hobbard as Seo Kangjun. Lucas Carver as Oh Sehun. Philip Hobbard as Lee Jinwook. Lucius Myron as Kim Jong In Miko Parker as Mino
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bymell, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Siksaan Elric (19+)
... Happyy Reading\~...
Hannah duduk di lantai kamar mandinya, punggung bersandar pada dinding yang dingin. Air matanya tak berhenti mengalir, membasahi pipi yang masih terasa perih. Tangannya memegang perban kecil yang Greta berikan, sementara wanita itu dengan lembut mengoleskan salep ke lebam di lengannya.
“Sayang… kau harus hati-hati dengan Tuan Dashiel,” suara Greta lirih, nyaris seperti gumaman. “Jangan memancing amarahnya lagi.”
Hannah tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil, meski dalam hatinya ia tahu, ia tak melakukan apa-apa pun, Elric akan selalu menemukan alasan untuk menyakitinya.
Setelah beberapa jam, rasa sakit di tubuhnya mulai mereda. Hannah berbaring di tempat tidur, memeluk bantal erat-erat, mencoba memejamkan mata. Kantuk mulai merayap, membawa pikirannya menjauh dari rasa sakit.
Tiba-tiba..
Klik.
Pintu kamarnya terbuka.
Hannah langsung terjaga, tubuhnya menegang. Elric berdiri di ambang pintu, tatapannya dingin seperti bayangan yang membeku. Tanpa sepatah katapun, ia melangkah masuk setelah menutup pintu di belakangnya.
Kasur bergoyang saat ia membaringkan tubuhnya di belakang Hannah. Gadis itu memunggunginya, berpura-pura tertidur. Tapi Elric meraih pinggang Hannah, menariknya untuk lebih dekat. Nafas Elric terasa di tengkuknya, panas dan mengancam.
Tangan Elric menyusup di bawah kain pakain tidur Hannah, dingin dan berat, merayap perlahan di kulitnya. Hannah menggigit bibir, matanya terpejam rapat, mencoba menahan gemetar yang menjalar dari ujung kaki hingga kepala.
“Jangan pernah mencoba berulah, Hannah,” bisik Elric di telinganya. Suaranya rendah, tapi setiap kata menyayat seperti pisau. “Kau hanya milikku. Selamanya.”
Hannah tidak berani bergerak, atau berkata apapun. Ia hanya membiarkan malam kelam itu menyelimuti tubuhnya seperti badai yang tak bisa ia hentikan.
Dan di tengah rasa takut yang menjeratnya, ia tahu setiap napas yang ia hirup di rumah ini adalah napas yang dicuri dari kebebasan yang pernah ia miliki.
Elric mendekap tubuh Hannah lebih erat, gerakannya mengunci, membuat Hannah tak bisa bergerak. Tangis yang ia tahan akhirnya pecah tanpa suara, menetes di bantal sejak tadi.
Elric membelai pipi Hannah dengan lembut, namun sentuhan terasa seperti bara api yang membakar kulitnya. Hannah memejamkan mata, berusaha menahan diri untuk tidak berteriak. Ia merasa jijik dengan sentuhan Elric, tapi tidak berani menolaknya.
Dalam satu gerakan, Elric beralih menindih Hannah, kini Hannah berada dibawah kendali penuhnya.
"Buka matamu, Hannah," bisik Elric, suaranya memerintah. "Aku ingin kau melihatku."
Hannah membuka matanya perlahan, menatap Elric dengan tatapan kosong. Ia tidak ingin Elric melihat ketakutan dan kebencian yang ada di dalam dirinya agar Elric tidak semakin marah.
Elric tersenyum puas melihat Hannah menuruti perintahnya. Ia mendekatkan wajahnya, mencium bibirnya dengan kasar dan tanpa perasaan.
Hannah tidak membalas ciuman Elric, ia tidak melakukan perlawanan apapun, ia jijik dan muak. Hannah kini merasa dirinya telah kehilangan harga dirinya.
Elric terus menciumi dan membelai tubuh Hannah, membangkitkan sensasi yang membuat Hannah merasa semakin mual. Ia ingin memberontak, ingin berteriak, ingin melarikan diri. Namun, ia tahu bahwa ia tidak bisa melakukan apa-apa. Ia hanya bisa pasrah dan membiarkan semua itu terjadi.
"Kau milikku, Hannah," bisik Elric di telinganya, suaranya penuh obsesi.
Hannah tidak menjawab. Ia hanya bisa menangis dalam diam, meratapi nasibnya yang malang. Ia merasa seperti dirinya telah terperangkap dalam neraka yang tidak akan pernah berakhir.
Elric terus memeluk Hannah erat, seolah takut kehilangan dirinya. Hannah merasa sesak dalam pelukan Elric, namun ia tidak berani memberontak. Ia tahu bahwa jika ia melakukan itu, Elric akan semakin marah dan mungkin akan menyakitinya.
Elric mulai menciumi leher Hannah, membuat Hannah meremang jijik. Ia mencoba menahan diri untuk tidak mendesah, walau tidak mudah. Ia merasa sangat jijik dan ingin segera mengakhiri semua ini.
"Aku mencintaimu, Hannah," bisik Elric di telinganya, suaranya penuh nafsu. "Kau adalah segalanya bagiku."
Hannah tidak menjawab. Ia hanya bisa menangis dalam diam, ia merasa seperti dirinya telah kehilangan semua harapan dan impiannya.
Elric terus menciumi dan membelai tubuh Hannah, hingga akhirnya Elric berhasil menanggalkan pakaian Hannah satu persatu dengan gerakan memaksa. Entah sejak kapan pakaian mereka sudah terlempar dan berserakan dilantai.
Hannah sempat berteriak saat Elric memaksa memasukinya tanpa permisi. Tangisnya tak terbendung, dengan nafas terengah akhirnya Hannah hanya bisa pasrah menerima perlakuan Elric. Berbagai posisi telah dicoba, Hannah hanya bisa mendesah, kadang menjerit juka gerakan pinggulnya terlalu kasar dan cepat.
Setelah beberapa lama, tiba-tiba gerakan Elric semakin brutal, kasur mereka sampai berdecit, Hannah yang kini posisinya memunggungi Elric tak kuasa menahan dirinya, Hinggaa..
Jlebbb..
Elric menancapkan miliknya hingga pangkalnya sedalam mungkin didalam sana. Ia akhirnya mencapai klimaks. Hannah hanya bisa berbaring pasrah di bawahnya, dapat ia rasakan cairan hangat itu memenuhi rahimnya. Hannah benar-benar merasa jijik akan dirinya, ia menggigit bibirnya menahan isakan yang nyaris keluar dibibirnya.
Setelah selesai, Elric melepaskan pelukannya dan berbaring di samping Hannah. Ia tersenyum puas, seolah tidak menyadari penderitaan yang dialami Hannah.
"Kau sangat hebat, Hannah," kata Elric dengan nada memuji. "Aku sangat mencintaimu."
Hannah tidak menjawab. Ia hanya bisa memalingkan wajahnya, tidak ingin melihat Elric. Ia merasa jijik dengan dirinya sendiri, karena telah membiarkan Elric memperlakukannya seperti ini.
Keheningan menyelimuti kamar itu, hanya dipecah oleh isak tangis Hannah yang tertahan. Ia merasa seperti dirinya telah kehilangan segalanya, termasuk dirinya sendiri. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, yang ia tahu bahwa kehidupannya tidak akan pernah sama lagi.
*****
Sinar matahari pagi merayap masuk lewat celah tirai, memercikkan cahaya ke lantai kamar. Hannah terbangun perlahan, tubuhnya terasa berat, nyeri di setiap inci kulit. Selimut masih membungkus rapat tubuhnya, walau terasa seperti tali tak kasat mata yang mengikatnya.
Ia beringsut bangun, berjalan menuju kamar mandi dengan langkah pelan. Begitu lampu menyala, pantulan di cermin membuat napasnya tercekat.
Memar ungu, kebiruan, dan tanda merah bertebaran di leher, bahu, hingga pergelangan tangan. Ada bekas gigitan yang masih baru, beberapa kissmark yang terlalu dalam untuk bisa dihapus riasan tipis. Hannah menatap wajahnya. Mata bengkak, bibir pecah, dan tatapan kosong yang seolah tidak lagi mengenal dirinya sendiri.
Ia menarik napas panjang, menutup matanya sejenak sebelum mulai meraih concealer, bedak, dan syal panjang. Semua itu bukan untuk mempercantik diri, melainkan untuk menyamarkan bukti dari malam penuh neraka yang baru saja ia lewati.
\~\~\~
Kampus ramai seperti biasa. Mahasiswa bercanda, memanggil teman, dan membicarakan rencana akhir pekan. Hannah berjalan di antara mereka, merapatkan syal ke leher, langkahnya cepat seperti ingin menyelinap tak terlihat.
“Hannah!”
Suara itu membuat tubuhnya menegang. Jack berdiri beberapa meter di belakang, melambai sambil tersenyum. Ada kehangatan di suaranya, tapi bagi Hannah, itu seperti alarm bahaya yang memekakkan telinga.
Ia hanya menoleh sebentar, tersenyum tipis, lalu berkata, “Maaf, aku buru-buru,” ucapnya sebelum melangkah cepat menjauh.
Jack sempat memanggil lagi, tapi Hannah sudah menyeberang lorong, menghilang di antara kerumunan.
Sementara itu, di lantai dua gedung fakultas, sosok tak dikenal berdiri di balik kaca, memperhatikan semua nya. Matanya mengikuti Hannah yang bergegas pergi, lalu bergeser menatap Jack yang kebingungan. Tatapannya datar, tanpa emosi, tapi tajam seperti bilah yang siap memotong siapa pun yang terlalu dekat.
Ia tidak bergerak, tidak bersuara. Hanya mengamat dan menunggu dengan tenang.
\~\~\~
Jack sudah memperhatikan sejak pagi, cara Hannah menghindar, senyum yang terlalu tipis untuk disebut tulus, dan tatapannya yang selalu mencari jalan keluar. Semua itu membuat hatinya tidak tenang.
Saat jam istirahat, ia melihat Hannah berjalan sendiri menuju perpustakaan. Langkahnya tergesa, seperti sedang mengejar waktu. Jack menunggu momen tepat, dan ketika lorong yang ia lewati mulai sepi, ia bergerak cepat.
Dalam satu tarikan, ia menggenggam pergelangan Hannah dan menariknya ke arah tangga darurat. Hannah terkejut, sempat berusaha meronta. “Jack.. apa yang...”
...To be continue ...