Karena menyelamatkan pria yang terluka, kehidupan Aruna berubah, dan terjebak dunia mafia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dina Auliya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka Yang Tak Terlihat
Mobil hitam meluncur meninggalkan Villa Rosetta dengan kecepatan tinggi. Sirene samar terdengar dari kejauhan, meski semua orang tahu polisi tak akan pernah berani benar-benar masuk ke dalam urusan keluarga Mancini maupun King.
Di dalam mobil, keheningan begitu menyesakkan. Hanya terdengar napas Aruna yang tersengal, bercampur dengan bunyi mesin. Tubuhnya masih gemetar hebat. Gaun merahnya ternoda darah—bukan miliknya, tapi darah orang-orang yang roboh di jamuan tadi.
Leonardo duduk di sampingnya, masih dalam jas hitam berlumuran noda. Ia tampak tenang, terlalu tenang, seperti perang barusan hanyalah rutinitas biasa. Namun jemari tangannya menggenggam tangan Aruna erat, seolah ia takut wanita itu akan lenyap jika dilepaskan.
“Leo…” suara Aruna lirih, hampir tak terdengar. “Aku… aku tidak bisa menghapusnya dari kepalaku… darah… suara peluru… orang-orang yang mati begitu saja…”
Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, tubuhnya terguncang hebat.
---
Leonardo menoleh, menatapnya lama. Matanya yang biasanya dingin kini menyimpan sesuatu yang sulit ditebak—campuran marah, peduli, sekaligus rasa bersalah.
Ia meraih Aruna, memeluknya erat. “Dengar aku,” bisiknya tajam. “Kau masih hidup. Itu yang terpenting. Kau lihat ke mataku, Aruna.”
Aruna menolak, masih menutup wajah. Namun Leonardo mencengkeram dagunya dengan lembut tapi tegas, memaksanya menatap ke dalam mata kelamnya.
“Aku sudah terbiasa dengan darah. Tapi aku tidak akan membiarkanmu terbiasa. Kau tidak boleh ternoda oleh dunia ini. Kau harus tetap bersih, tetap milikku yang murni.”
Air mata Aruna mengalir makin deras. “Tapi aku sudah melihat semuanya… aku tidak bisa berpura-pura lagi, Leo. Dunia ini nyata, neraka ini nyata… dan aku ada di dalamnya bersamamu.”
Leonardo terdiam sesaat. Napasnya berat. Lalu ia menunduk, mencium air mata di pipi Aruna, seakan ingin menelan semua ketakutannya.
“Kau memang ada di dalam neraka ini bersamaku. Tapi ingat, Aruna—kau tidak akan pernah sendirian. Jika dunia ini neraka, maka aku adalah iblisnya, dan kau akan selalu jadi surgaku.”
---
Kata-kata itu menusuk jantung Aruna. Ada kehangatan, tapi juga ancaman. Obsesi.
Ia sadar, semakin hari, Leonardo tidak hanya melindunginya. Ia mengikatnya.
Mobil akhirnya berhenti di mansion pribadi Leonardo. Marco dan beberapa anak buah segera turun, memastikan keamanan. Leonardo membawa Aruna masuk ke dalam, mengabaikan tatapan semua orang.
Begitu sampai di kamar pribadinya, Leonardo menutup pintu, lalu menuntun Aruna duduk di ranjang besar dengan sprei hitam satin.
Aruna masih gemetar. Tangannya tak berhenti menggenggam gaunnya yang berlumuran darah.
Leonardo berlutut di depannya, sebuah tindakan langka dari pria yang biasanya tak pernah merendahkan diri. Ia mengambil tangan Aruna, membersihkan noda darah dengan kain lembut.
“Lihat ini…” katanya pelan, sambil mengusap jemari Aruna. “Darah mereka tidak pantas menodai kulitmu. Mereka mati karena mereka melawan. Tapi kau—kau hidup, karena aku memilih kau harus hidup.”
Aruna menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Apa hidupku benar-benar hanya karena pilihanmu, Leo? Atau karena aku hanya alat bagimu untuk merasa… manusia?”
Leonardo terdiam. Rahangnya menegang, matanya meredup. Pertanyaan itu menusuk lebih dalam dari peluru mana pun.
---
Beberapa detik yang hening terasa seperti berabad-abad. Akhirnya, Leonardo berdiri, berbalik menghadap jendela besar kamar yang menampilkan langit malam.
“Aku tidak pernah peduli pada hidup siapa pun sebelumnya,” suaranya berat, nyaris seperti gumaman. “Semua orang yang dekat denganku, cepat atau lambat, berakhir mati atau mengkhianati. Tapi kau berbeda, Aruna.”
Ia menoleh, matanya kembali menatapnya dengan intensitas mengerikan. “Aku tidak tahu apakah kau membuatku lebih manusia… atau lebih iblis. Tapi yang pasti, aku tidak bisa lagi membiarkanmu pergi.”
Aruna terdiam. Hatinya bergetar hebat, antara takut dan… terikat. Ia tahu ia harus menjauh, tapi tubuh dan jiwanya seakan ditarik magnet besar bernama Leonardo.
---
Malam itu, Aruna tertidur dengan susah payah di pelukan Leonardo. Namun tidurnya dipenuhi mimpi buruk—jeritan, tumpahan darah, tatapan kosong pria-pria yang mati di depan matanya.
Ia terbangun dengan keringat dingin, napas tersengal. Leonardo masih di sampingnya, memandanginya dengan mata terjaga.
“Kau mimpi buruk?” tanyanya lembut.
Aruna hanya bisa mengangguk. Air mata kembali mengalir.
Leonardo mengusap rambutnya, menenangkannya. “Biarkan aku yang menanggung semua mimpi burukmu. Kau hanya perlu tetap di sisiku. Itu saja.”
Aruna menatapnya lama, lalu berbisik pelan, “Tapi Leo… bagaimana jika suatu hari aku tidak sanggup lagi melihat darahmu?”
Leonardo tersenyum tipis, pahit. “Kalau hari itu datang, Aruna… maka lebih baik kau mencabut jiwaku daripada meninggalkanku.”
Ucapan itu membuat bulu kuduk Aruna meremang. Bukan hanya cinta—ini adalah obsesi. Dan kini, ia terjebak semakin dalam.