Calya, seorang siswi yang terpikat pesona Rion—ketua OSIS tampan yang menyimpan rahasia kelam—mendapati hidupnya hancur saat kedua orang tuanya tiba-tiba menjodohkannya dengan Aksa. Aksa, si "cowok culun" yang tak sengaja ia makian di bus, ternyata adalah calon suaminya yang kini menjelma menjadi sosok menawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asma~~, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Calya bergegas melangkah ke kamar mandi sebelum Aksa bisa berkomentar. "Kamu duluan saja," ucapnya dari balik pintu. "Aku mau sikat gigi dulu."
Aksa hanya tersenyum maklum dan berjalan ke ruang tamu. Ia mengambil remote, menyalakan televisi, lalu duduk di sofa menunggu Calya. Tapi setelah beberapa menit, Calya tak kunjung datang. Aksa mulai curiga. Ia tahu tabiat Calya yang suka memberontak. Aksa pun berjalan kembali ke kamar, dan dugaannya benar. Calya sudah meringkuk di atas kasur, tertidur pulas.
Momen Tak Terduga
Aksa menatap Calya dengan gemas. Gadis itu benar-benar keras kepala. Ia mendekat, memandang wajah Calya yang tampak begitu damai dalam tidurnya. Aksa tersenyum, lalu merebahkan dirinya di samping Calya, menindih tubuh gadis itu dengan lembut.
Seketika, Calya tersentak kaget. Matanya langsung terbuka dan ia mendapati Aksa tepat di atasnya. Jantungnya berdebar kencang. "Aksa! Apa-apaan ini?! Minggir!" pekiknya, berusaha mendorong tubuh Aksa.
"Kamu nakal," bisik Aksa, mengabaikan perlawanan Calya. Ia menunduk, menatap Calya dengan intens. "Kenapa kamu kembali tidur?"
"Bukan urusanmu! Enak saja kamu mau ngatur-ngatur aku!" jawab Calya, wajahnya memerah.
Aksa tertawa kecil. Ia menundukkan wajahnya, bibirnya hampir menyentuh telinga Calya. "Apa kamu tidak sabar?" godanya. "Kamu mau malam pertama kita sekarang juga?"
Mendengar itu, mata Calya melotot. "AKSA!" teriaknya. Ia benar-benar marah. "Dasar mesum! Gila! Kamu sudah gila!"
Alih-alih mundur, Aksa malah semakin mendekat. Ia menangkup wajah Calya, memandanginya dalam-dalam. "Aku tidak gila," bisiknya, suaranya pelan dan seksi. "Aku hanya ingin membuatmu sadar, bahwa sekarang, aku adalah suamimu."
...----------------...
Calya memberontak. Ia mendorong-dorong tubuh Aksa dengan sekuat tenaga, tetapi Aksa tak bergeming. Pria itu seolah tak merasakan apa-apa, bahkan senyum di wajahnya semakin lebar. "Sudah, jangan memberontak," bisik Aksa, suaranya pelan, membuat Calya semakin gugup.
"Minggir, Aksa! Gue nggak suka!" pekik Calya, suaranya sedikit bergetar. Ia bisa merasakan napas Aksa yang hangat di wajahnya, membuat jantungnya berdebar tak karuan.
Aksa tidak menjawab. Ia perlahan mendekatkan wajahnya, lalu bibirnya menyentuh sudut bibir Calya. Ciuman itu singkat, tetapi cukup membuat Calya terkejut. "Ih Aksa, lo apa-apaan, sih?!" teriak Calya, tangannya langsung mendorong dada Aksa.
Namun, Aksa tidak menyerah. Ia kembali menunduk, kali ini bibirnya menyentuh bibir Calya. Ciumannya lembut, menuntut, membuat Calya yang tadinya menolak, kini malah terlena. Ia memejamkan mata, membalas ciuman Aksa.
Calya hampir kehabisan napas. Aksa melepaskan ciumannya, lalu bangkit, mengangkat tubuh Calya dan membawanya ke ruang tamu. Calya kaget. Ia melingkarkan tangannya di leher Aksa, membiarkan suaminya itu membawanya. Aksa mendudukkan Calya di pangkuannya.
"Aksa, gue nggak suka posisi ini," protes Calya, wajahnya masih memerah.
Aksa hanya tersenyum. "Kenapa? Kamu malu?"
"Ngga! Minggir, gue mau duduk di sofa!"
Aksa tidak bergeming. Ia malah melingkarkan tangannya di pinggang Calya. "Bagaimana kalau kita mencoba untuk lebih dekat?" bisiknya, suaranya kini terdengar menggoda.
"Aksa, jangan macam-macam," desis Calya.
Aksa tidak menjawab. Ia hanya menatap Calya dalam-dalam. "Kenapa kamu terus menolakku, Calya? Apa kamu tidak merasakan apa-apa saat aku menciummu?"
Pertanyaan Aksa membuat Calya terdiam. Ia tidak bisa berbohong. Ia memang merasakan sesuatu. Sesuatu yang aneh, yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. "Gue... gue tidak tahu," jawabnya pelan.
"Jangan bohong," kata Aksa, suaranya kini terdengar serius. "Aku tahu, kamu merasakan hal yang sama denganku."
"Aksa, lo taukan gue benci sama lo," kata Calya, matanya berkaca-kaca.
Aksa tersenyum. "Aku tahu. Tapi, suatu saat nanti, kamu akan mencintaiku."
Calya tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya membiarkan Aksa memeluknya. Ia tidak tahu, apakah ia bisa mencintai Aksa. Tetapi, untuk sekarang, ia hanya ingin menikmati momen ini. Momen di mana ia merasa aman dan nyaman di dalam pelukan suaminya.
...----------------...
Di sisi lain kota, Dion duduk di kamarnya, matanya terpaku pada layar ponsel. Gambar Calya, gadis yang sebenarnya ia sukai, terpampang jelas di sana. Ia menghela napas panjang, penyesalan kini memenuhi hatinya.
"Apa selama ini gue salah?" gumamnya pelan. "Gue terlalu bodoh. Gue harus perbaikin semuanya."
Tangan Dion bergerak, mengetikkan pesan untuk Calya. "Cal, kita perlu bicara..." Namun, sebelum ia sempat mengirimnya, pintu kamarnya terbuka. Reina masuk dengan wajah curiga. Ia sudah beberapa hari ini merasa ada yang aneh dengan Dion. Pria itu semakin menjauhinya, dan kini ia tahu alasannya.
"Kamu lagi chat siapa?" tanya Reina, suaranya tajam. Ia mendekat, mencoba melihat layar ponsel Dion. Namun, Dion dengan cepat menyembunyikannya.
"Bukan siapa-siapa," jawab Dion singkat.
Reina tidak percaya. Ia memandang Dion dengan tatapan menyelidik. "Kamu berubah, Dion. Kamu menjauhi aku. Ini semua karena gadis itu, kan?" bisiknya, menunjuk foto Calya yang masih terpampang di layar ponsel Dion. "Si gadis jelek itu, kan?"
Dion menatap Reina, lalu kembali menatap foto Calya. Ia tidak menjawab, dan keheningan itu sudah cukup bagi Reina. Ia tahu, Dion tidak mencintainya. Dan ia juga tahu, ia harus melakukan sesuatu untuk merebut kembali hati Dion.
...----------------...
Calya mengerjap, mencoba membiasakan matanya dengan cahaya pagi yang masuk melalui celah gorden. Ia merasa ada beban di tubuhnya, dan saat ia menoleh ke samping, ia membelalak kaget. Aksa memeluknya erat, kepalanya bersandar di bahunya, seolah-olah ia sudah memeluknya sepanjang malam. Wajah Calya langsung memerah. Ia mencoba melepaskan diri, tetapi pelukan Aksa terlalu kuat.
"Aksa! Bangun!" bisiknya, suaranya sedikit panik.
Aksa menggeliat, lalu perlahan membuka matanya. Ia menatap Calya, lalu tersenyum.
"Pagi, istriku," sapanya, suaranya serak. Ia tidak melepaskan pelukannya, malah semakin mengeratkan.
Calya mendorong-dorong tubuh Aksa. "Aksa, lepaskan! Kenapa lo kenapa meluk gue?! Cepat menyingkir!"
Aksa tidak bergeming. Ia malah mendekatkan wajahnya, lalu mencium bibir Calya dengan lembut. "Itu untuk ucapan selamat pagi," katanya setelah melepaskan ciumannya.
"Aksa! gue ngga suka lo nyium gue tanpa izin!" teriak Calya.
"Kenapa? Kamu suka, kan?" goda Aksa. "Aku tahu kamu suka."
"Tidak! gue bilang ngga suka!"
Aksa kembali mencium Calya, kali ini sedikit lebih lama. "Itu untuk memberitahumu, aku tidak akan berhenti menciummu sampai kamu mencintaiku."
...----------------...
Calya memberontak, mendorong Aksa sekuat tenaga hingga pelukan itu terlepas. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia langsung berlari ke kamar mandi, membanting pintunya dengan keras. Suara bantingan itu menggema di seluruh apartemen, menunjukkan betapa marahnya Calya saat ini.
Ia mengunci pintu, lalu bersandar di sana, mengatur napasnya yang memburu. Hari ini mereka masih tidak sekolah. Calya tahu, ia harus menghabiskan seharian penuh di apartemen ini, berdua saja dengan Aksa. Pikiran itu membuat ubun-ubunnya terasa panas. Setelah menikah, Aksa benar-benar berani padanya. Pria itu seolah tak punya rasa takut lagi, berani menyentuhnya, memeluk, bahkan menciumnya tanpa izin.
Calya menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya memerah, rambutnya sedikit berantakan, dan bibirnya sedikit bengkak. Pemandangan itu membuatnya semakin marah. Ia benci melihat dirinya yang seperti ini. Bayangan Aksa yang mencium dan memeluknya terlintas di pikirannya, membuatnya bergidik jijik. "Dasar mesum!" desisnya, lalu menyalakan keran air dan mencuci wajahnya dengan kasar, seolah ingin menghapus jejak Aksa dari bibirnya.
Setelah selesai membersihkan diri, Calya keluar dari kamar mandi. Ia menemukan Aksa sedang duduk di sofa, membaca buku. Calya mengabaikannya, lalu berjalan ke dapur. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Ia tidak bisa memasak. Ia bahkan tidak tahu apa yang harus ia makan.
Aksa, yang menyadari kehadiran Calya, tersenyum. "Mau buat sarapan?" tanyanya.
Calya menoleh, lalu kembali menatap Aksa dengan sinis. "Gue ngga bisa masak," jawabnya ketus.
Aksa hanya mengangkat bahu. "Kalau begitu, aku yang akan masak."
"Tidak perlu," tolak Calya. "gue ngga lapar."
Aksa tersenyum, lalu bangkit dari sofa. "Aku tahu kamu lapar, Calya. Ayo, bantu aku masak."
Calya menolak, tetapi Aksa tidak menyerah. Aksa terus memaksa, membuat Calya akhirnya mengalah. Dengan wajah masam, Calya membantu Aksa membuat sarapan. Meskipun ia tidak bisa masak, ia tetap membantu. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ada perasaan aneh yang muncul di hatinya. Perasaan yang mengatakan, mungkin, hidupnya tidak akan seburuk yang ia bayangkan.
...----------------...
Calya, dengan wajah cemberut, berusaha fokus memotong sayuran. Gerakannya kaku dan canggung. Tiba-tiba, ia merasakan sepasang tangan melingkar di pinggangnya. Aksa memeluknya dari belakang, dagunya bersandar di bahu Calya.
"Ini bukan cara memotong yang benar, sayang," bisik Aksa, suaranya pelan dan dalam. "Tangannya harus begini.
Calya membeku, jantungnya berdebar kencang. Ia mencoba melepaskan diri, tetapi pelukan Aksa terlalu erat. "Aksa, apa-apaan sih?! Lepasin!" desisnya, suaranya bergetar.
Aksa mengabaikan protes Calya. Ia malah mengecup lembut leher Calya. Sentuhan itu membuat Calya merinding. Ia memejamkan mata, berusaha keras menolak sensasi yang membuat tubuhnya lemas.
"Jangan berani-berani lo nyentuh gue!" ancam Calya, suaranya sedikit serak.
Aksa malah tertawa pelan, lalu kembali mengecup leher Calya. "Kenapa? Kamu suka, kan?" godanya. "Aku tahu kamu suka."
Calya tidak bisa menahan amarahnya. "Tidak! gue ngga suka! gue benci sama lo tau ngga!" teriaknya. Ia mencoba membalikkan badannya, tetapi Aksa menahannya.
"Berhenti berbohong pada dirimu sendiri, Calya," bisik Aksa, lalu membalikkan tubuh Calya. Ia menangkup wajah Calya, memandanginya dalam-dalam. "Aku tahu, kamu merasakan hal yang sama denganku."
Tanpa menunggu jawaban, Aksa mencium Calya. Ciumannya lembut, tetapi menuntut, membuat Calya tak berdaya. Calya mencoba mendorong, tetapi ia malah terlena. Ia memejamkan mata, membiarkan Aksa menguasai dirinya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia hanya bisa pasrah.