Ia adalah Sultan sebuah negeri besar bernama NURENDAH, namun lebih suka hidup sederhana di antara rakyat. Pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya membuat orang menertawakan, menghina, bahkan merendahkannya. Tidak ada yang tahu, di balik sosok sederhana itu tersembunyi rahasia besar—ia memiliki kekuatan tanpa batas, kekuatan setara dewa langit.
Namun, kekuatan itu terkunci. Bertahun-tahun lalu, ia pernah melanggar sumpah suci kepada leluhur langit, membuat seluruh tenaganya disegel. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah dengan menjalani kultivasi bertahap, melewati ujian jiwa, raga, dan iman. Setiap hinaan yang ia terima, setiap luka yang ia tahan, menjadi bagian dari jalan kultivasi yang perlahan membangkitkan kembali kekuatannya.
Rakyatnya menganggap ia bukan Sultan sejati. Para bangsawan meragukan tahtanya. Musuh-musuh menertawakannya. Namun ia tidak marah—ia tahu, saat waktunya tiba, seluruh negeri akan menyaksikan kebangkitan penguasa sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Setianusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Sunyi
Malam itu sunyi, begitu sunyi hingga setiap langkah Al Fariz di jalan setapak menuju makam leluhur terdengar nyaring, menembus gelapnya hutan kecil yang mengelilingi istana. Bulan pucat menggantung di langit, menyinari tanah basah oleh embun malam. Udara dingin menusuk kulitnya, tapi lebih dingin lagi adalah kesadaran bahwa ia kini benar-benar sendirian.
Rakyat yang dulu menatapnya dengan hormat kini berpaling. Pejabat yang seharusnya setia, sebagian telah tergoda oleh retorika pangeran palsu. Bahkan takdir seolah menahan tangan yang ingin menolongnya. Semua itu membuat dada Al Fariz sesak, hatinya terasa hampa.
Ia tiba di makam leluhur, tempat raja-raja Nurendah terdahulu dimakamkan dengan tatanan batu yang sederhana tapi megah, dihiasi ukiran leluhur yang penuh makna. Aroma dupa segar dan bunga malam menyelimuti udara. Di sinilah setiap sultan sebelumnya menerima nasihat dari bayangan leluhur mereka, dan kini, Al Fariz datang dengan hati yang rapuh namun penuh tekad.
Ia berlutut di depan makam, menundukkan kepala. Suara angin malam berbisik di antara pohon-pohon, membawa suara seolah penasihat leluhur menatapnya dari kegelapan.
Sendiri… semua orang berpaling. Bahkan dunia ini tampak menolak keberadaanku.
Ia menutup mata, menahan tangis yang berdesir di dada. Al Fariz menggenggam batu di dekat makam, seakan ingin merasakan kekuatan tanah leluhur mengalir ke dalam tubuhnya. Setiap tarikan napas adalah doa, setiap degup jantung adalah sumpah.
Jika aku harus berjalan sendirian… aku tetap akan berjalan. Aku akan mengembalikan Nurendah pada kejayaannya.
Suara batinnya menggema di hati, menembus kesunyian malam. Ia merasa seolah hanya bulan dan makam leluhur yang menjadi saksi sumpahnya, tapi itu cukup. Cukup untuk menyalakan bara yang hampir padam.
Al Fariz menatap ukiran di batu nisan, melihat wajah-wajah leluhur yang tegas dan berwibawa. Ia bisa merasakan jejak mereka, rasa tanggung jawab yang diwariskan. Setiap ukiran adalah pengingat bahwa Nurendah bukan sekadar tanah, tapi darah, perjuangan, dan kehormatan yang harus dijaga.
Aku akan menanggung semua hinaan, semua pengkhianatan. Aku akan menelan rasa sakit ini, dan dari sini, aku akan bangkit lebih kuat.
Ia menundukkan kepala lebih dalam, menekan hati yang ingin menangis, menahan emosi yang ingin meledak. Suara angin malam menimbulkan bayangan yang menari di batu nisan, seolah leluhur meneguhkan sumpahnya.
Al Fariz berbicara lirih, suaranya hanya untuk dirinya sendiri:
“Dengarlah aku, leluhur… Aku datang dengan luka, tapi aku datang dengan tekad. Aku bersumpah, meski dunia berpaling, aku tidak akan menyerah. Aku akan mengembalikan Nurendah kepada kejayaannya, dan aku akan melakukannya dengan caraku sendiri.”
Embun jatuh menetes ke wajahnya, dingin namun menyegarkan. Ia merasakan tubuhnya tegang, seperti setiap otot menyiapkan diri untuk perjalanan panjang yang harus ia lalui. Ini bukan hanya sumpah biasa—ini adalah pengikat jiwa dan raga, sumpah yang akan membentuk kekuatannya.
Di kejauhan, suara hutan malam terdengar; burung hantu bersuara, daun-daun berbisik oleh angin. Semua itu menjadi saksi sunyi bagi keteguhan hati Al Fariz. Ia menutup mata, merasakan setiap hembusan napas, setiap getaran tanah di bawah lututnya, dan setiap bisikan bayangan leluhur.
Tidak ada jalan mudah. Tidak ada teman sejati saat ini. Tapi aku tidak takut. Aku akan berjalan sendiri, jika harus.
Ia membuka mata, menatap bulan pucat di langit. Cahaya itu jatuh di wajahnya, membuat bayangan luka di punggungnya terlihat samar namun tegas. Al Fariz tersenyum tipis, sebuah senyum yang mengandung kesedihan sekaligus keberanian.
Dari malam sunyi ini, aku akan menemukan kekuatan. Dari kesepian ini, aku akan menumbuhkan keteguhan. Dari sumpah ini, Nurendah akan bangkit kembali.
Ia berdiri perlahan, tubuhnya masih terasa lelah, tapi aura baru muncul—keteguhan yang tak tergoyahkan. Angin malam mengibaskan jubahnya, seperti memberi hormat pada sumpah yang baru diikrarkan.
Al Fariz menatap horizon, tempat cahaya pertama fajar akan muncul. Ia tahu, besok adalah hari lain dengan tantangan baru, dengan intrik dan hinaan yang menunggu. Namun sumpah malam ini adalah pondasi yang tidak akan goyah.
Biarkan mereka berpaling hari ini. Biarkan mereka ragu. Tapi aku tahu, kekuatan yang lahir dari kesendirian ini akan membuat mereka menunduk saat waktunya tiba.
Ia berlutut sejenak lagi, menempelkan tangan di tanah di depan makam leluhur. Rasanya seperti menyerap kekuatan dari akar dan tanah, dari jejak leluhur yang telah menjaga Nurendah selama berabad-abad.
Aku akan mengubah rasa sakit menjadi kekuatan. Aku akan menjadikan hinaan sebagai bahan bakar. Aku akan menyalakan bara yang cukup untuk membakar keraguan, dan menyalakan cahaya bagi mereka yang masih setia.
Bulan pucat kini menyorot wajahnya dengan lebih terang. Al Fariz menutup mata, membiarkan air mata yang tertahan mengalir sebentar—air mata yang bukan tanda kelemahan, tapi pengakuan atas luka yang akan membentuk kekuatannya.
Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan udara malam masuk ke paru-parunya, masuk ke dalam darahnya, seolah memberi energi baru. Tubuhnya menegang, setiap otot siap menghadapi perjalanan yang panjang.
Sumpah ini bukan hanya untukku. Ini untuk rakyat, untuk leluhur, untuk Nurendah. Aku akan bertahan. Aku akan membuktikan bahwa seorang Sultan sejati tidak ditentukan oleh kata-kata, tapi oleh tekad, keberanian, dan tindakan.
Al Fariz berdiri, menatap makam leluhur sekali lagi. Suasana malam tetap sunyi, tapi aura keteguhan baru terpancar darinya. Sumpah yang diucapkan di hadapan makam bukan sekadar janji, tapi awal dari perjalanan yang akan mengubah segalanya.
Jalan ini panjang, tapi aku tidak takut. Setiap langkah adalah batu loncatan, setiap tantangan adalah ujian, dan setiap pengkhianatan adalah kesempatan untuk membuktikan siapa aku sebenarnya.
Al Fariz berjalan meninggalkan makam, langkahnya mantap meski tubuhnya masih terasa lelah. Bayangan pohon dan batu nisan menari mengikuti gerakannya, seolah memberi hormat pada tekad yang baru diikrarkan.
Aku berjalan sendiri malam ini, tapi tidak pernah benar-benar sendiri. Aku membawa sumpah, membawa darah leluhur, dan membawa Nurendah dalam hatiku. Saat waktunya tiba, dunia akan tahu: aku Sultan sejati, bukan sekadar bayangan.
Malam itu berakhir, tapi sumpahnya abadi. Dari sunyi, dari kesendirian, Al Fariz menemukan titik balik kekuatannya. Ia siap menghadapi intrik, hinaan, dan pengkhianatan berikutnya. Ia siap untuk Nurendah, siap untuk rakyatnya, siap menjadi Sultan yang sejati—dengan jalan yang hanya bisa ditempuh oleh hati yang tak tergoyahkan.