“Aku rela jadi debu… asal Ibu tetap hidup.”
Kevia rela ayahnya menikah lagi demi ibunya bisa tetap menjalani pengobatan. Ia pun rela diperlakukan seperti pembantu, direndahkan, diinjak, dianggap tak bernilai. Semua ia jalani demi sang ibu, wanita yang melahirkannya dan masih ingin ia bahagiakan suatu hari nanti.
Ardi, sang ayah, terpaksa menikahi wanita yang tak ia cintai demi menyelamatkan istri tercintanya, ibu dari putri semata wayangnya. Karena ia tak lagi mampu membiayai cuci darah sang istri, sementara waktu tak bisa ditunda.
Mereka hanya berharap: suatu hari Kevia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, membiayai pengobatan ibunya sendiri, dan mengakhiri penderitaan yang membuat mereka harus berlutut pada keadaan.
Agar Kevia tak harus lagi menjadi debu.
Agar Ardi tak perlu menjadi budak nafsu.
Tapi… akankah harapan itu terkabul?
Atau justru hanyut… dan menghilang seperti debu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Iri
Jam istirahat pertama tiba. Kelas mendadak ramai, bangku-bangku digeser, suara tawa dan obrolan bercampur dengan langkah kaki yang keluar-masuk kelas.
Kevia, yang baru sehari masuk, justru sudah tampak dikerumuni beberapa murid. Senyumnya tulus, ramah, tak canggung berkenalan. Sikapnya yang sederhana, tak sok akrab tapi hangat, membuat orang lain mudah merasa nyaman.
“Eh, kamu suka baca sastra juga?” tanya salah satu siswi dengan mata berbinar.
Kevia tersenyum kecil. “Iya, tapi aku sering pinjam di perpustakaan sekolah lama. Di rumah, aku nggak punya banyak buku.”
“Wah, nanti bareng aku ke perpus, ya!” sahut yang lain antusias.
Tawa kecil terdengar, obrolan ringan mengalir tanpa hambatan. Tak butuh waktu lama, Kevia sudah punya teman. Aura cerianya seolah memikat, meski di rumah ia lebih banyak diam, menunduk, dan menelan tekanan yang mencekik. Ibunya yang sakit, ekonomi yang dulu selalu sulit, dan kini… tinggal di rumah yang asing, bersama ibu tiri dan saudara tiri yang membuat napasnya pun berat.
Namun di sekolah, Kevia bisa bernapas sedikit lebih lega. Bisa menjadi dirinya.
Dari bangkunya, Riri memerhatikan semua itu dengan rahang mengeras. Jantungnya seperti dipukul-pukul rasa kesal. "Sial! Kenapa dia bisa cepat akrab? Kenapa semua orang malah suka padanya?"
Senyumnya miring, getir. Lalu, seolah menemukan celah, sebuah ide jahat melintas.
Ia bangkit dari kursinya, menepuk meja hingga obrolan terhenti sesaat.
“Hey, kau!” suaranya lantang, tajam menohok telinga. Jarinya menunjuk Kevia. Semua kepala menoleh, heran.
Kevia mendongak.
Riri melipat tangan di dada, wajahnya dibuat setengah bosan setengah menantang. “Cepat beliin aku es jeruk di kantin.”
Kelas mendadak hening. Beberapa teman saling pandang. Kevia menelan ludah.
Dengan langkah kecil ia maju, menerima selembar uang yang disodorkan Riri dengan tatapan merendahkan. Sejenak, Kevia menunduk, menarik napas dalam.
"Ini ternyata firasat burukku pindah ke sekolah ini…"
Namun wajahnya tetap datar, suaranya tenang meski hatinya tergores.
“Baik,” jawabnya singkat.
"Tak apa, Kevia. Kau harus kuat. Jangan sampai mereka lihat kau lemah." Ia menguatkan dirinya dalam hati, berbalik menuju pintu kelas.
Belum jauh ia melangkah, suara lain terdengar. Ani, teman dekat Riri, duduk di sampingnya dengan senyum sombong.
“Riri, kamu kenal sama anak baru itu?” tanyanya, dengan nada setengah mengejek.
Riri menoleh, lalu tersenyum penuh arti. “Tentu saja kenal. Ayahnya kerja pada ibuku. Dia, ayahnya, sama ibunya yang sakit-sakitan itu tinggal di rumahku. Ibuku tuh terlalu baik hingga mau menampung mereka.”
Gelak kecil terdengar. Beberapa murid menoleh antara bingung dan terkejut.
Kevia berhenti sejenak di depan pintu, punggungnya terasa ditusuk dari belakang. Kata-kata Riri menelanjanginya di depan semua orang.
Namun ia tak berkata apapun. Tidak membela diri, tidak menatap balik. Hanya melanjutkan langkahnya keluar kelas.
Dari kejauhan, tubuhnya tampak tegak, tapi di balik senyum kecil yang ia tahan, dadanya sesak.
Tak lama kemudian Kevia kembali ke kelas dengan langkah ringan meski hatinya bergetar. Segelas es yang diminta Riri ia genggam erat agar tidak tumpah. Begitu tiba di bangkunya, ia meletakkan gelas itu di meja Riri.
“Ini… esnya,” ucapnya pelan.
Riri menoleh sekilas, lalu mendengus.
“Lama banget sih. Dasar lelet!” wajahnya ditekuk penuh kesal, seolah Kevia baru saja melakukan kesalahan besar.
Kevia menunduk sopan.
“Maaf, Kak… tadi antri,” ujarnya lembut, tetap menghormati.
Seisi kelas langsung terdiam sejenak. Saling pandang. Kata itu, “Kakak”, jatuh begitu alami dari bibir Kevia.
Mata Riri membelalak. Wajahnya langsung memerah, terbakar api amarah.
“Apa kamu barusan bilang? Kakak?” suaranya meninggi, menohok udara kelas yang mendadak hening.
Kevia menatapnya, bingung.
“I-iya…”
Riri tertawa pendek, getir, lalu menghantamkan telapak tangannya ke meja.
“Dengar baik-baik, orang miskin! Kamu nggak pantes manggil aku kakak! Jangan samakan aku denganmu! Kalau bicara sama aku, panggil aku nona! Mengerti?!”
Beberapa murid saling berbisik. Ada yang terkejut, ada yang menggelengkan kepala, ada pula yang menatap Kevia dengan mata penuh iba.
Riri belum selesai. Ia bangkit, mencondongkan tubuh, suaranya makin tajam.
“Semua yang kamu makan, semua yang kamu minum, fasilitas yang kamu pakai di rumahku, bahkan biaya berobat cuci darah ibumu yang penyakitan itu, semua dari uang mendiang ayahku! Jadi jangan pernah sok akrab sama aku!”
Kelas riuh rendah. Ada yang menutup mulut, ada yang melirik Kevia penuh simpati, sebagian lain justru memasang wajah sinis.
Kevia terdiam, menahan napas. Dadanya sakit mendengar ibunya disebut-sebut begitu kejam, tapi ia tetap menunduk, menahan air mata. Ia tidak ingin memberi hiburan bagi mereka yang menertawakannya.
“Baik, Non…” ucap Kevia akhirnya, suara lirihnya menggantung.
Dalam hati ia berbisik, "Tak apa Kevia, mengalah bukan berarti kalah.
Riri menyeringai puas, mendekat meski jelas terlihat enggan. Dengan tatapan jijik, ia berbisik di telinga Kevia.
“Awas saja kalau kau bilang ke siapa pun kalau ayahmu yang miskin itu menikah dengan ibuku.”
Setelah itu, ia mendorong bahu Kevia cukup keras hingga tubuhnya tersentak dan membentur pinggiran meja. Suara dentuman kecil membuat beberapa murid menoleh kaget.
“Jauh-jauh dari aku! Aku nggak mau ketularan miskin, apalagi penyakitan!” seru Riri sambil mengelap tangannya dengan tisu, lalu melemparkannya tepat ke dada Kevia.
Tisu itu jatuh ke lantai. Kevia membungkuk, memungutnya tanpa suara, lalu membuangnya ke tempat sampah di luar kelas.
Sesaat, ia menahan napas, punggungnya nyeri karena benturan tadi. Ingin sekali menangis, tapi ia paksa bibirnya tetap melengkung tipis.
Seorang murid bernama Yuni menyusul dengan wajah khawatir.
“Kevia, kamu nggak apa-apa? Tadi aku lihat kamu terbentur.”
Kevia menggeleng. “Nggak apa-apa, kok,” jawabnya dengan senyum tipis, meski matanya berkaca-kaca.
Yuni mendesah. “Riri emang begitu… sombong, sok cantik. Ya emang cantik sih, tapi banyak juga yang nggak suka sama dia.”
Kevia hanya tersenyum kecil, enggan menambah gosip. Ia tahu, setiap kata bisa jadi bumerang.
Dalam hatinya ia berbisik, "Sepertinya aku harus membiasakan diri dengan sikapnya. Aku harus kuat… demi Ibu. Sampai Ibu sembuh… aku harus kuat."
Dan senyum tipis itu, meski nyaris hancur, tetap bertahan di wajahnya.
***
Bel tanda pulang baru saja usai ketika mobil hitam berhenti di depan gerbang sekolah. Sebelum sopir keluarga Rima turun membukakan pintu bagian belakang, Riri sudah berdiri angkuh di sisi mobil, lalu menoleh pada Kevia yang berdiri di sampingnya.
“Buka pintu mobil untukku!” perintahnya datar, namun nadanya menusuk.
Kevia menunduk, tanpa banyak bicara. Tangannya kecilnya membuka pintu dengan sopan, menunggu sampai Riri duduk di dalam, lalu menutupnya kembali dengan hati-hati.
Baru saja Kevia hendak meraih tuas pintu mobil bagian depan, suara Riri melayang tajam.
“Kunci pintunya, Pak. Jalan!”
Sopir menoleh kaget.
“Tapi, Non Kevia masih di luar—”
“Orang miskin sepertinya nggak pantas satu mobil denganku!” potong Riri dengan senyum dingin. “Cepat jalan, atau mau aku bilang sama Ibu biar kamu dipecat?!”
Wajah sopir tegang. Ia menatap Kevia penuh rasa tidak enak.
“Maaf, Non…” ucapnya lirih, lalu menginjak pedal gas.
“Cepetan!” bentak Riri lagi. Mobil pun melaju, meninggalkan debu dan Kevia yang berdiri sendiri di pinggir jalan.
Gadis itu menghela napas panjang. Dadanya perih, namun bibirnya tetap melengkung tipis, berusaha tegar. "Tak apa, Kevia. Kamu sudah terbiasa. Kuatlah, demi Ibu."
Suara riang memecah lamunannya.
“Kevia!”
...🌸❤️🌸...
Next chapter...
Ardi menahan napas panjang, rahangnya mengeras. “Apa maksudmu? Kita sudah sepakat, hitam di atas putih—”
Rima langsung memotong, tertawa kecil penuh ejekan.
“Memang kenapa kalau ada hitam di atas putih? Kau akan menuntut aku? Dengan apa? Uang dari mana?” Tatapannya menusuk, menantang.
To be continued
tenang saja Kevia jika ada yang mengusikmu lagi Kevin tidak akan tinggal diam,,Kevin akan selalu menjadi garda terdepan untukmu..
rasain Riri dan Ani kamu harus tanggung jawab atas semua perbuatanmu
makanya jadi orang jangan jail dan berbuat jahat.
semangat kak lanjutkan makin seru aja...
Karena bila ketauan Riri, nasib Kemala & Kevia jadi taruhannya, disiksa di rumah tanpa ada yang berani menolong 🤨
Wali kelas akan menyelidiki dengan minta bantuan pak Anton untuk mengecek CCTV.
Di Aula suasana semakin panas semua menghujat Kevia.
Wali kelas datang meminta Kevia untuk berkata jujur apa benar mencuri uang kas dan alasannya apa.
Kevia menjawab dengan menceritakan secara runtut kenapa sampai dituduh mencuri uang dan bukti bisa berada di dalam tasnya.
Kita tunggu rekaman CCTV
lanjut kak Nana sehat dan sukses selalu 🤲
Kevin tentunya akan melindungi Kevia dengan diam²,,demi menyelamatkan dari amukan si anak ular betina,,good Kevin biar dua anak ular itu di kira kamu benci sama Kevia...padahal sebaliknya Kevin sangat peduli sama Kevia dan akan melindunginya...
sabar banget Kevia...
orang sabar di sayang Alloh..
menolong Kevia secara tidak langsung di depan 2 ulet bulu yang tidak sadar diri....mantap..
ayo mau di hukum apa nih jedua ulet bilu itu...
enaknya disruh ngapain ya...
bersihin kelas yang bau kali ya..kna seru tuh ngebayangin mereka berdua beraihin kelas sambil muntah2 ...
alhasil bersihin kelas plus muntahannya sendiri...
rasain tuh hukuman yang sangat setimpal Dan jnagan lupa hubungi kedua orang tuanya terus mereka berdua di skorsing selama 1 minggu....
cukup lah ya hukumannya.....
setuju ga ka....